Ilustrasi : Budaya Moni Kab Intan Jaya - Papua |
Oleh : Krismas Bagau
Papua
adalah salah satu wilayah yang terluas di wilayah dan terletak dibagian
ufuk timur ditengah pulau Papua. Di Pulau Papua ini berbatasan dengan
Negara Papua Nugini. Kabupaten Intan jaya adalah salah satu kabupaten
yang merupakan pemekaran dari kabupaten induk yaitu; Kabupaten Paniai,
Propinsi Papua. Pemekaran “berawal dari Kabupaten Dati II Paniai (dulu
di Nabire), kemudian pindah ke Kabupaten Paniai Enarotali, hingga
Menentukan Kabupaten sendiri”. Dengan kehadiran Kabupaten Intan Jaya
banyak pergeseran terhadap budaya dan adat secara pelan dan itu pasti.
Dalam situasi demikian manusia Migani diperhadapkan pada harapan dan
kenyataan, perubahan pergeseran pradigma pun pula semakin terkikis
terhadap budaya dan adat yang sebenarnya. Orang moni berbicara bisnis
Kulit Bia terus berlanjut hingga kini sebagai bagian dari eksitensi
orang moni. Kulit bia ini digunakan sebagai alat transaksi dalam
kehidupan orang Moni yang terus ada dan dipergunakan dalam politik
tradisional.
Dengan melihat begitu banyak perubahan pergeseran
politik tradisional secara dratis dan signifikan terhadap budaya dan
adat istiadat yang menjadi kebiasan orang Moni/Migani tentang bisnis
Kulit bia. Kebiasan itu mengalami perubahan pergeseran karena adanya
perkembangan perubahan pola pikir orang Moni/Migani. Namun, dalam
perjalanan sejarah tampaklah pergeseran terus menerus di alami.
Perkembangan ekonomi dalam rangka kebudayaan, meliputi bisnis kuli bia
amat kental dalam melaksanakan krhidupan harian. Manusia moni untuk
memenuhi kebutuhan hidup orang moni tentu saja melakukan bisnis Kulit
Bia.
Pranan kulit bia sering di identik dengan perkembangan
zaman adalah politik paraktis sekarang. Untuk lebih memahami lebih jahu
untuk melihat peranan kulit bia dalam penyelesaian beberapa dimensi
Sejak dahulu hingga saat ini kulit bia masih dapat digunakan oleh suku
moni sebagai alat pembayaran maskawin dan kulit bia itu sendiri dapat
dimanfaatkan oleh suku moni untuk keperluan hidupnya. Kulit bia tidak
hanya digunakan oleh suku moni sebagai alat pembayaran ala kuno selain
uang yang digunakan sebagai alat pembayaran ala modern. Tidak diketahui
secara pasti tentang asal-usul kulit bia yang sudah sedang dan akan
digunakan oleh suku moni tersebut. Karena kulit bia hanya terdapat di
daerah pesisir pantai. Anehnya dipengunungan terdapat kulit bia yang tak
terhitung jumlahnya.
Kulit bia yang dimaksud itu pun ada
keterbatasannya. Dan juga dalam budaya orang migani kulit bia itu
sendiri ada tingkatan dan juga ada nama tersendiri. Yakni nam-nama kulit
bia itu yang lebih besar nilainya beda juga dengan kulit bia yang tak
ada nilai sama-sekali.
Sistem pembayaran dalam suku moni
selalu dipatokan dengan cara pembayaran ibu dari anak perempuan yang
hendak mau diminta atau dituntut maskawin.
Sistem di atas sudah
dianggap sudah menjadi ketentuan umum yang berlaku dalam kehidupan
budaya suku migani atau suku moni. Cara membayarnya itu ikut sesuai
dengan “tubuh manusia’ bukan beli manusianya tetapi cara membayarnya
hampir mirip dengan tubuh manusia. Pertama yang harus dibayar adalah
“Indo”. Indo dianggap sebagai kepala. Yang kedua yang harus dibayar
adalah “Hondo”. Hondo dianggap sebagai leher. Dan yang berikut adalah
“saje”. Yang dimaksud dengan saje disini adalah bagian terkecil dari
inti maskawin itu. Kemudian ditambah dengan “Wogo”. Wogo yang
dimaksudkan disini adalah babi. Jadi babi juga digunakan untuk membayar
maskawin. Bayar dengan babi pun tergantung pada pembayaran awal.
Pembayaran awal yang saya maksudkan adalah disamakan dengan ketentuan
dari ibu si anak perempuan.
Tingkatan nilai kulit bia yang
digunakan untuk menbayar itu pun tergantung pada ketentuan dari pihak
perempuan. Sampai saat ini dalam kehidupan suku moni tingkat nilai kulit
bia mencapai dua belas (12) tingkat. Dua belas tingkat sama sama dengan
nilai uang seratus juta dan seterusnya sampai tingkat yang paling
rendah dengan senilai Rp.100.000 dan lainnya dapat disesuaikan dengan
ketentuan dan kesepakatan.
Orang Moni/Migani yang memiliki kulit bia
banyak gampang sekali menindas kau lemah dengan cara monopoli kekayan
orang lemah dengan janji-janji palsu. Jika janjinya tidak terpenuhi
berarti akan terjadi perang dengan orang yang pernah membuat perjanjian
palsu untuk menganti rugi. Jika hal tersebut tidak terpenuhi berarti
akan muncul perang. Perang adalah salah satu cara yang paling terbaik
untuk mencari solusi untuk menyelesaikannya. Dibahwa ini akan
menjelaskan nama-nama kulit bia sebagai alat bartel dalam berbagai
situasi sampai sekarang digunakan untuk mengatasi persoalan.
Orang Moni-Migani mengangap kulit bia sebagai kebun (Indo). Kulit bia
sebagai kebun dan dianggap sebagai alat transaksi dalam perdangan
termasuk pembayaran maskawin. Orang yang memiliki kulit bia sebagai
salah satu benda budaya yang dapat mengerakkan orang Moni/Migani untuk
berjuang dan bersaing mengumpulkan uang sebagai harta kekayan. Kulit bia
digunakan dalam berbagai kesempatan untuk transaksi dan bisa pula usaha
barter.
Orang Moni/Migani yang memiliki kulit bia banyak
sekali menindas kau lemah dengan cara monopoli kekayan orang lemah
dengan janji-janji palsu. Jika janjinya tidak terpenuhi berarti akan
terjadi perang dengan orang yang pernah membuat perjanjian palsu untuk
menganti rugi. Jika hal tersebut tidak terpenuhi berarti akan muncul
perang. Perang adalah salah satu cara yang paling terbaik untuk mencari
solusi untuk menyelesaikannya. Dibahwa ini akan menjelaskan nama-nama
kulit bia sebagai alat bartel dalam berbagai situasi sampai sekarang
digunakan untuk mengatasi persoalan.
Dibahwa ini beberapa
contoh kulit bia (alat barter) yang berputar di Kabupaten Intan Jaya
yang kini masih mekakukandi kalangan kepala suku (sonowi). Nilai harga
kulit bia dan nama kulit bia yang di sepakati dalam MUSPAS (Musyawarah
pastorlar) yang di tulis oleh Pastor Domokikus Hodo. Pr. Keuskupan
Timika adalah sebagai berikut:
No Nama kulit bia Nilai harga
kulit bia
1 Mbujubaga, nangabaga, jupabokote 100.000.000
2 Pogowindu, mayatabenoa 90.000.000
3 Waudungagatau, anambomanabo, kugumenambi, wagulusolomo 80.000.000
4 Kobosoju, tambulage, jomboimu 70.000.000
5 Sanisege, kaebaga, jubasaba 60.000.000
6 Ogombagela, mbalugela, sugupakitatuji 50.000.000
7 Jengemaga, pogupayu, kibaskibabaga 45.000.000
8 Jigitaga,wawogotaga, dagabukebe, mambasiguh, iabagawiabaga 40.000.000
9 Imbanemega,dinebaga 30.000.000
1 Taulibagamundabaga, sugalapawanibaga 25.000.000
Nungaibobaga, kendeabaga, gilipetaga, kigibigamebiga,mungasegebaga. 15.000.000
1 Degendogagaibaga, sugalapawanibaga, 10.000.000
1 Begebolalibaga, megalagagetambulage 5.000.000
1 Hujibagapunibaga, bulapagehologenoga 2.000.000
1 Tujimaga,mbagimetau, wagubagasobaga 1.500.000
1 Iwijo, mbagimetau, wagubagasogabaga 1.000.000
1 Duagojametau,segebaga 500.000
1 Mugule-agale 100.000
1 Kesene-obone 50.000
Masih ada banyak nama kulit bia lain lagi yang tersusun sampai
sekecil-kecilnya, dan sudah tidak terpakai lagi atau sebaliknya ada
peningkatan nilai uang dari nama-nama kulit bia yang sudah disebut di
atas. Kemudian sebagian dari keseluruhan dan keseluruhan dari sebagian
belum dapat tercantum. Kulit bia diatas yang selalu digunakan sampai
saat ini terus berputar untuk melakukan transaksi. Dengan demikian kulit
bia sebagai salah satu alat transaksi yang dapat menyelesaikan
persoalan kehidupan masyarakat pada umumnya.
Persoalan yang di
hadapi ketika bisnis kulit bia diperlakukan. Orang moni memandang
manusia dari kelas kehidupan. Para kepala suku dalam melakukan
lobing/muna-muna sering meyepelekan hak orang lain. Hal ini merupakan
tindakan tidak menghargai manusia sebagai sesama saudaranya tetapi
dihambakan dan dibudakkan oleh para zonowi. Umpamanya: hamba dikerjakan
di lading/kebunnya dengan alasan, akan mengkawinkan dengan prempuan ini
dan itu atau akan membayar harta maskawin ibu/ibunya sampai selesai
dengan kulit bia maka sebagai tembusannya balas budinya nanti pihak
laki-laki akan dibayarkan maskawin tersebut, turuti semua apa yang
diperintahkan semua kepadanya. Ini sebuah janji dan janji ini kadang
ditepati dan kadang tidak ditepati tergantung orang yang hatinya
sungguh-sungguh mau membayar harta maskawinnya.
Faham tuan dan
hamba seperti yang disebutkan diatas tentang kulit bia menyihir manusia
Migani. Sehingga muncurlah konsep sonowi, mbogowi, kogo dan deba. Kita
dapat melihat secara terperinci terhadap masing-masing makna sebagai
berikut:
1. zonowi adalah kepala suku yang memiliki istri
(poligami), kulit bia banyak, ternak banyak, tanah sebagai hak
ulayatnya memiliki beberapa hektar.
2. Mbogowi adalah hapir selever dengan zonowi tetapi kulit bia dan harta kekayaannya sedikit.
3. Kogo adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dalam arti kekayaan yang dimiliki..
4. Deba adalah orang yang tidak bisa dengar tetapi hanya berbicara dengan bahsa isyarat.
Dengan demikian pemahaman konsep seperti di atas terjadi kepemimpinan
dan penguasan dalam pola kehidupan yang sudah tertata rapih. Pembedaan
itu terjadi dan terus terjadi karena adanya sebab maka ada akibat atau
ada akibat maka ada sebab terjadinya pembedaan zonowi, mbogowi, kogo dan
deba. Perbedaan itu terlihat dari hal kekayaan yang dihimpun dan
termasuk binis kulit bia berhasil dan memiliki beberapa tingkatan yang
berbeda-beda dalam jumlah yang banyak.
Posisi sonowi atau
pemimpin tidak sepenuhnya diwariskan, namun sebagian diwariskan dan
sebagian dirahi sendiri. Ayah sonowi tentu akan membina para putra yang
dianggap berpotensi namun hal ini tidak menjamin keberhasilan
penerusnya. Kemampuan pribadi amat dituntut untuk memperoleh posisi
ini, apa bila seseorang memiliki kekuatan kulit bia yang melampau batas
artinya bahwa kekuatan lebih banyak yang dimiliki dan memliki kekuatan
supranatural, hal itu juga dianggap sebagai nilai tambah. Namun putra
tertua menjadi pemimpin, maka ia akan diuntungkan. Sementara putra yang
lain akan berjuang sendiri untuk mencapai kehidupan sonowi. Hal ini
yang menjadi sonowi tidak selamanya berada dalam satu garis keturunan
tetapi tergantung kepada usahanya dan kerja keraslah untuk mencapai
sonowi. Dalam budaya Moni-Migani sonowi sama artinya dengan kepala suku
yang menjadi pemimpin untuk menguasai dan memimpin. Memimpin terlihat
dari sudaut kekepmimpinan yang dianggap menjadi sonowi.
Dalam
budaya dan adat masyarakat Moni-Migani sebelum Gereja dan Pemerintah
masuk di daerah Moni-Migani sudah mengenal kepemimpinan. Dalam
kepemimpinan kita sering terlihat bagaimana memerintah dan diperintah
terutama kepada kogo dan deba menjadi budak pekerja kebun mereka.
Bagaimana bisa kita bayangkan diperbudak oleh yang berkuasa seperti
diangap sebagai “kuda tunggangan” pekerja kasar, budak dalam rumah
tangga. Seperti bangsa firaun membudak orang mesir. “Menurut P. Pigors
mengatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses saling mendorong
melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan indivindu, mengontrol daya
manusia dalam mengejar tujuan bersama”. Sebuah pemahaman tentang
zonowi, mbogowi, kogo dan deba menjadi budak pekerja dan masih berlaku
sampai saat ini walaupun tidak semua zonowi melakukannya.
Untuk
dan demi pemahaman tentang kepemimpinan yang berlaku dalam kepala suku
ini dihapus dapat menunjukkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan
kebaikkan terhadap kogo dan deba ini. Sesama manusia diobjekkan tetapi
manusia Moni/Migani tidak sadaar akan hal itu, maka hal ini tidak perlu
ada lagi dan tidak perlu dipertahankan . Sebab seorang pemimpin
mempunyai pengaruh yang mengayomi tetapi dalam pranannya menjadi salah
karena cara pengaturanya menjadi otoriter. Kogo dan dewa selalu tuntut
dan taat pada pemimpin sebagai kepala suku. Seorang pemimpin selalu
percaya untuk mengatur kehidupan yang ada dalam budaya. Seorang pemimpin
seharusnya menjadi fasilitator yang baik dalam mengarakan sekaligus
mendukung, menghargai, menghormati dan mendengarkan apa yang menjadi
kebutuhan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan
memahami kehidupan Moni/Migani mengenal beberapa tingkatan kehidupan
mulai dari sonowi sampai deba. Perbedaan nama menimbulkan juga tingkatan
kelas ekonomi, politik, budaya dan bisnis kulit bia. Dalam perbedaan
tersebut budaya eropa juga lahir dari budaya dan adatnya. Budaya dan
adatnya sebagai identitas diri yang harus dipertahankan dan dilestarikan
sehingga pendirian dalam menghadap situasi baru tetap kuat, esis dan
tidaak digagungu gugat sehinga mampu menaklukan budaya lain. ”Para
antropolog mendefenisikan budaya dan adat berkaitan erat dengan manusia.
Seluruh cara berpikir dan bertindak manusia. Manusia moderen
dipenggaruhi oleh akibat dorongan dari falsafah hidup mendorong manusia
mempertahankan dan memperjuangkan budayanya untuk dapat
dipertahankan”. Budaya dan adat sebagai sejarah kehidupan manusia yang
dapat diwariskan dari generasi sampai generasi hingga sampai saat ini.
Antorpolog Papua, Dr. J. Masoben mengkelompokan bahwa suku-suku yang
hidup di dataran tinggi Papua itu menganut system kepemimpinan big man
sangat berbeda dari sistem “kepala suku” namun secara harapiah big man
artinya laki-laki besar, dalam konteks antropologi, istilah ini memiliki
makna yang amat luas . Dalam budaya Moni/Migani big man tidak
memandang sebagai laki-laki besar, fisik kuat dll tetapi kepala suku
dipandang sebagai sonowi orang yang bisa menyelesaikan persoalan dalam
yang dihadapi warga setempat.
Setiap daerah di Papua cara
memandang kepala suku berbeda-beda sub-suku (klan) big man di daerah
kepala burung (artinya, Aifat dikenal dengan istilah bobot, orang Muyu
menyebutnya Kawab, orang Mee menyebutnya Tonowi, sedangkan orang
Moni/Migani menyebutnya Sonowi. Untuk mencapai atau mendapat nama
sonowi tidak di nobatkan atau dilantik seperti dalam pemerintahan,
tetapi dalam budaya dan adat menyebut kepala suku hanya melalui sebuah
perjuangan keras untuk dan mendapat kekayaan. Untuk menduduki jabatan
pun turun temurun dilihat dari aspek kekayaannya yang diperoleh dari
hasil keringatnya yaitu: Dari hasil usaha ternak, diperoleh juga dari
hasil maskawin adik prempuanya yang menjadi haknya berupa kulit bia
yang tingkatanya sampai dengan nilai kulit bia Ogombagela, Mbalugela,
Kibaskibabaga, Sugupakitatuji, sampai Jigitaga, Wawogotaga, Dawabukebe,
Mambasigugu, Iabagawiabaga, dengan nilai uang (lima puluh juta sampai
dengan empat puluh juta).
Kepala suku dalam budaya Moni/Migani
dapat diukur dengan kekayaan nilai uang diatas dan kekayaan lainnya
seperti ternak yang banyak membuat memberi nama kepala suku. Jika tidak
demikian berarti dia bukan kepala suku tetapi disebut dengan nama Kogo.
Orang sonowi atau orang kaya sama relevansinya dalam budaya
Moni/Migani. Sonowi dalam pratek hidupnya sangat berperang dari sisi
kehidupan. Dalam kehidupan sonowi itu bisa dapat menyelesaikan masalah
dengan membayarkan sejumlah kigi (kulit bia) dan wogo ( Babi ) untuk
mengatasi masalah sesama yang dihadapi. Masalah yang dihadapi dalam arti
perang suku, pencurian, perampokan, perzinaan, pembunuhan, perampokan,
penghinaan.
Dengan demikian orang moni/migani melihat
kehidupanya sejak awal sebelum bisnis modern dalam perkembangan realitas
hidup ini. Orang moni sudah melakukan bisnis kulit bia yang menjadi
alat teranslaksi keuangan berupa kulit bia. Kulit bia ini amat bermanfat
dan digunakan dalam berbagai kesempatan dalam kehidupan dulu, sekarang
dan terus di berlakukannya. Generasi penerus melihat kulit bia sekarang
sebagai alat puska yang harus diwariskan turun temurun untuk dapat
dipertahankan. Dipertahankan karena leluhur orang moni sebelum adanya
perkembangan transaksi dapat dilakukan dengan kulit bia. Hal ini membuat
kulit bia terus digunakan berbagai kesempatan hingga kini
catatan kaki:
1. Belau, Arnold. Budaya membayar maskawin dan cara pandang serta peran sonowi atau big man dalam adat suku moni atau migani.
2.Membuka miteri tabir tentang budaya dan adat suku Moni/Migani, Krismas Domongaukiba Bagau.hln,74-75.
3.Dataran Tinggi Papua, Kal Muller, DW. Books, 2009, hln 2001.
4.Materi kulia STFT,Fajar Timur, 2010.
Penulis adalah Krismas Bagau yang sedang mengenyam pendidikan di salah satu kampus sospol Yogyakarta
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar