Nesta Gimbal |
KEKUASAN
INDONESIA DI PAPUA ILEGAL
Hubungan Sejarah
Indonesia dan Papua Barat, sangat berbeda dalam perjuagan masa laluTidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh
Indonesia
sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah.
Sementara
aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus
dipelajari
dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang
kemudian
dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian
status
politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia
saat ini.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah
antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan.
Pertama,
sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan
Indonesia
dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan
Papua Barat
oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan
Orde
Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi
Indonesia).
Sejarah
Hidup
Indonesia dan Papua Barat
membutikan bahwa, dalam
sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan
bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat
dari
kepemimpinan setiap suku,
yang telah mendiami di Papua
Barat sejak lebih dari 50.000 tahun
silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk
beberapa
daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di
beberapa
daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini
masih
terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai
contoh:
seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan
Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya
sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan
mata
bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat
jauh.
Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya
adalah
ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang
lainnya,
entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali
tidak
pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam.
Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya
yang
berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
ini dianggap
tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium
Dewan
Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami
tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun.
Moyang
kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang
dengan
keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa
Papua
tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa
Indonesia.
…Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda
dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan
Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa
antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan
sejarah
hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang
bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai
sejarah
hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali
tidak
obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat
sebagai
bagian dari wilayah Indonesia. Hal
semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme
Indonesia
bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua).
Hubungan
Sejarah
Perjuangan Indonesia dan
Perjuagan Papua
Barat membuktikan
bahwa, Indonesia
masa perjuangan
sampai dengan proklamasi kemerdekan
wilayah teritorial atau batas negara
Indonesia (Sabang sampai di Amboina)
dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland
Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat
dan
Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi
pemerintahan
Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang
kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta),
kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu
mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat
dikendalikan dari
Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari
Kepulauan
Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap
Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya
berbagai
organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi
politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei
1908),
Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia
(1913),
Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam
babakan
perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi
perjuangan ini,
rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini
dikarenakan musuh yang dihadapi waktu
itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh
bersama
dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka
sama sekali
tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena
Belanda
adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil
bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam
Sumpah
Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond,
Jong
Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan
kebulatan
tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak
pernah
satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda
tersebut.
Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu
bahasa,
dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang
terlibat
atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua
Barat
dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam
pertemuan
antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon
Vietnam,
tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa
Papua
adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah
bangsa Papua menentukan nasibnya
sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih
primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan
BPUPKI
bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah
Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang
masuk
dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”,
tidak
termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[i]
Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara
Indonesia yang
batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua
Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah
kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi.
Salah satu
Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua
Barat
masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan
wilayah
Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan
direalisasikan sejak
pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang
bertugas
mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan
sebagai
jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil
penelitian
itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan
lahirnya UU
No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu
ditetapkan
sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah
(Sultan
Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian
Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat
perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia
dan
Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh
kedua bela
pihak adalah:
Sebelum
penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah
menyatakan agar
Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan
Negara
Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi
di sini
Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum
wilayah
tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
Dalam
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23
Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo
wilayah
Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun
sesudah
tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah
kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan
perundingan
antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.[1]
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland
Niew
Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi
Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan
karena
bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam
konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan
di
Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan
dengan
surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T.
Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga
orang
anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki
status
Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam
kekuasaan
Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan
masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan
masalah
Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission
for
Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
Karena
dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953
pihak
Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak
mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi
daerah
sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan
Belanda
sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua
Barat.
Sejarah Perjuangan Papua
Barat, Ketika
Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu
antara
Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Baat untuk merdeka sebagai
negara
merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang
terdidik
lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool)
di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun
1944-1949
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw
Guinea
Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk
dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk
Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari),
A.K.
Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N.
Tanggahma
(Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian
wakil-wakil
dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan
H.F.W.
Gosewisch (mewakili Manokwari).
Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik
yang
cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite
Nasional
yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi
dengan 70
orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik
yang
isinya:
MANIVETO POLITIK
PAPUA BARAT
1.
Menetukan
nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan
lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan
bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan
bahwa bendera Bintang Kejora akan
dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung
Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora
tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat
persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi sOetelah persetujuan dari
Komite
Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di
Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera
Bintang
Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai
Tanahku
Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”.
Deklarasi
kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia.
Momen
inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan
de jure
sebagai sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat.
Alasan
Pencaplokan
Papua Barat oleh Indonesia oleh
Soekarno Walaupun
Papua Barat telah mendeklarasikan
diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu
hanya
berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno
mengeluarkan
Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1.
Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua”
buatan Belanda Kolonial
2.
Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat
Tanah Air Indonesia
3.
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna
mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi
dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno
sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat
mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima
Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke
wilayah
Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi
Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk
operasi
lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton,
Operasi
Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi
Rajawali,
Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show
of
Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase
eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak
orang
Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam
merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara
Kesatuan
Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam
pencaplokan
Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang
dipegang
oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua
Barat.
Keempat klaim itu adalah:
1.
Papua
Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan
Raja Ampat di daerah kepala burung,
Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari
Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai
bagian dari
daerah “Indonesia Bagian Timur”.
3. Papua
Barat diklaim sebagai bagian dari
negara bekas Hindia Belanda.
4. Soekarno
yang anti barat ingin menghalau
pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno
memiliki
ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat:
“Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah
oleh
Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa
pemerintah
Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda
untuk
sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan
dengan
aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada
19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan
mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.
Klaim
atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa
Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara
(1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan
sejarah
Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada
mencakup
sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa
batas
wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas
(Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah
lainnya
yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu
analisa
dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian
dari
Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan
Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi
prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya
sejarah tertulis.
Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan
Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof.
Dr.
Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama
pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah
yang luas
sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.
Pulau-pulau
di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh
14/15
ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu
disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin,
Tumasik,
Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman
Hayam
Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas
dari pada
Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut
sebagai
batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah
timur
kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku.
Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit.
Karena
itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
1.
Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan
antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan
Tidore
mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di
dalamnya
merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore
merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian
daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di
kepulauan
Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan
hubungan
dengan sultan Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan
Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts
melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya
kekuasaan
Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan
Tidore
tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest
(1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan
Tidore
di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah
kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen
Inggris,
bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary,
Karandefur,
Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala
Burung)
akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan
keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang
diklaim
oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan
Papua
seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan
keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak
menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan
Tidore.
Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat
dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’
berasal dari
mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari
telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak
pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang
sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada
laut
asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan
penjelajahan
sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri
sultan
Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap
kehadiran
kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada
tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia
Belanda
(Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir
barat-laut dan
barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore.
Hal ini
dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai
papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini
Tidore
sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara
seorang
yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada
tuan
tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan
Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk
mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda).
Ketika itu
banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore.
Menurut
C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi
menurut
bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau
penjelajah
asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke
Tidore.
Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat
oleh
Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan
suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada
tahun
1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka
Belanda
juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898
dengan
membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied)
Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan
dengan
ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan
Fakfak
berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan
kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus
Aditjondro
menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua
Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya
karena
kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk
Yotefa
mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda
belum
merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur,
Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu
mitos.
Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya
kira
tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat,
tidak
ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim
bahwa
Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua
Barat.
Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore.
2. Klaim
atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis penjajahan, Papua Barat
sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua
Barat
bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo,
Teluk
Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan
Papua
Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari
1936
dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah
teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk
Papua
Barat (Nederland Neiw Guinea).
Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat
dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi
pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan
dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah
menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai
Amboina
(Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari
Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja
Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki
penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu dengan yang
terjadi di
Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di
mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat
hanya 64
tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan
pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan
Belanda.
Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898
dengan
menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat
Papua
Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos
pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas
dari
lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan
Papua
Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplohk Papua
Barat.
Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.
Oleh karena itu kekuasan indonesia di papua barat harus diakhiri, sebab
indonesia tidak ada dasar hukum mengusai wilayah papua barat, Keberadan
Indonesia di papua Ilegal.
Utuk itu kepada Generasi Mudah Papua bahwa jangan pernah
terlena degan uang banyak dan gula-gula manis NKRI saat ini di papua,
terus berjuang untuk mengusir Penjajahan klonialisme NKKRi di Papua.
1.
Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia
Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari
pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika
pemerintah
Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik
Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan
jatuhnya
negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia
barat
sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro
Blok
Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya
perang
fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah
Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di
samping
menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden
Soekarno.
Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada
tahun
1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung
Robert
Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan
keinginan
Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha
menganeksasi
Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses
pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum
internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke
dalam
agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB
dibuatlah
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free
Choice”
(Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian
diterjemahkan
oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat
Rakyat)
yang dilaksanakan pada tahun 1969.
1.
Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement
(Perjanjian New York)[i]
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk
PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam
perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:
1.
New York
Agreement
(Perjanjin New York) adalah suatu
kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral.
Perjanjanjian New
York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun
di dalam
prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1
Mei 1963, bertepatan dengan Unites
Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau
Pemerintahan
Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia,
selanjutnya
pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah
besar di
seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia
dilanggar
secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal
XVIII ayat (d) New York Agreement
mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not
foreign
nationals to participate in the act of self determination to be carried
out in
accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti
penentuan
nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan
wanita
yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York
Agreement.
Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
1969
dilaksanakan dengan cara lokal
Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang
dewasa
laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk
memilih,
hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah
disiapkan
oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di
luar
negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak
diberi
kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror,
intimidasi dan pembunuhan dilakukan
oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA
1969
secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah
Surat
Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang
ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten
Merauke, isi
surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan
adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya
dilakukan
jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar
untuk
penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak
bahwa
anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA,
harus
berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota
yang
bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS
PEPERA.
…Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara
mutlak harus
kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem
172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke,
maka patut
diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan
ke
bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah
perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan
pemerintah
Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan
Bintang,
Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja
kedua
ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika
Serikat di
Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja
antara
Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini
terjadi
dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini
terjadi
kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969
dapat
dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak
sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local
Indonesia)
yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu
PEPERA
1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan,
dan
pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan
PEPERA
secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Berikut ini adalah jadwal
pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah
wakil/utusan yang memberikan pendapat.
2. Papua
Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan
kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama
oleh
OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini
hanya akan
dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua
Barat
dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Proklamasi
1
Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara
sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh
Indonesia pada tahun
1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia
mulai
memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat
yang
dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)
lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di
Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang
dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat
Papua
Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat.
Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem
sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai[vi]
sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai
Menteri
Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf
Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL,
dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL
Republik Papua Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai
sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan
dari
Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami
memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa
pada
hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan
menjadi
bebas dan merdeka (de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia
menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua
untuk
bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
(Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi
Negara
Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas
Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga
mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang
pegawai
negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani
apa yang
mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki
persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New
Guinea)
sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara
penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di
antara
penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak
yang
sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal
14
Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam
penggeledahan di
rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua
tahun
ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, diajukan ke
pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis
delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.
c. Gelombang
Pengungsian
dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah
Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan kesadaran
nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang
kenangannya
(untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling
bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal
Papua
Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus)
di pantai
Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap sedang
menunggu
perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua New
Guinea, ke
mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi
terlebih
dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Pembunuhan ini berawal dari sebuah “tawaran”
kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul
keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan.
Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir
dengan
meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April
1984.
Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November 1983,
Arnold
ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan
sesudahnya,
sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen
maupun
Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi
politik dan
kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri.
Arnol dibunuh karena ia juga dicurigai
menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota,
yang
memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh
OPM di
hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang
dosen
Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat,
Seth Jafet
Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. Selain itu,
Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang
dicurigai
membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka lepas dari
Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
\
Akibat kemelut politik, terutama karena
pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang pengungsian secara
besar-besaran
ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat
ditampung di
kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black
Water
dan Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan
UNHCR (United
Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.
d. Proklamasi
Melanesia
Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas
Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama
Negara
Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia.
Dia
Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera
Bintang
Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya
dia
dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun
1996
karena sakit ketika menjalani hukumannya.
Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang
hingga
kini melarikan diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara
Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah
Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara
Timur,
yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu
hanyalah
suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas
Melanesia
yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi
Tom
Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota
Jayapura
dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat peristiwa politik yang telah
disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi perjuangan rutin baik
secara
diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara
diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan
OPM di
berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye
yang
dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya.
Sementara secara gerilya misalnya terjadi
penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM,
terjadi
penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde
Baru di
Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan
militer lewat penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan
teror,
intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan,
pembakaran
fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya.
Selain itu
dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa
untuk
mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua
Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty
International yang
mengemukakan bahwa
telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh militer
Indonesia.
Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa telah
terjadi
Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer
Indonesia
yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua:
Application of
the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.” Selain
Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and
Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah
menerbitkan
sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang
berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State
Apparatus and
a Current Needs Assessment of the Papua People”
1.
Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era
Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja”[i]
Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia.
hal itu
terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa
Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi
rakyat
Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka.
Berikut
ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat
Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:[ii]
1.
Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting demonstrasi
Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu
tanggal 25
Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut
menuntut
pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala
pelanggaran
HAM di Papua Barat.
2. Surat
Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J.
Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat
dari
Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J.
Habibie
diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari
Roberth F.
Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat
Papua
adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi sebagai
berikut:
“Memprakarsai dialog yang langsung dan
beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut
perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai
status
politik kedua daerah”.
3. Aksi
Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua Barat
menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah
aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora
di
seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran
Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a. Pengibaran
Bendera Papua di Jayapura, tanggal
1 Juli 1998
b. Pengibaran
Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6
Juli 1998
c. Pengibaran
Bendera Papua di di Sorong,
tanggal 2 -3 Juli 1998
d. Pengibaran
Bendera Papua di Wamena, tanggal 7
Juli 1998
e. Pengibaran
Bendera Papua di Manokwari,
tanggal 2 Oktober 1998
f.
Aski
pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa kota di Papua seperti
Serui,
Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g. Demonstrasi
mahasiswa Papua dibawah komando
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi
demosntrasi
mahasiswa di Bali dan Sulawesi.
4. Pendirian
FORERI
Dengan melihat perkembangan aspirasi dan
perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat, tokoh
perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi
Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor
Elsham
Kotaraja Jayapura. Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi
yang
berkembang di masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau
kemungkinan
solusi lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam
masalah
kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia,
masalah
pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan
beberapa
masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai Sekretaris
Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa sukarelawan
dari mahasiswa
dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim
Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan kemerdekaan Papua
Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Pada tanggal 27 Juli
1998 Tim
Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI di hotel Matoa
Jayapura.
FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian Theys Hiyo
Eluay
mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog Internasional
mengenai
masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai memaparkan penderitaan
rakyat
Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi
1
Agustus 188
Dalam usaha untuk mengakomodir semua gerakan
kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di Papua Barat, maka Theys
Hiyo
Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD
Jayapura.
Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan
penyampaian
aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Beberapa
kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a. Menyamakan
persepsi politik, yakni rakyat
ingin “Papua Merdeka”.
b. Diusulkan
nama Irian Jaya diganti dengan nama
Papua.
c. Perlu
dilakukan Dialog Nasional antara rakyat
Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d. Theys
Hiyo Eluay mengundurkan diri dari
segala aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut
“Merah
Putih” yang disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai
“Pemimpin
Gerakan Papua Merdeka” ke depan.
7. Tim
Seratus (T-100)
Dalam pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan
Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada
tanggal
26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat dengan
tegas
menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat dari
kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi
pernyataan
politik bangsa Papua bahwa:
a. Kami
keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan
berdiri
sejajajar dengan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin
nilai-nilai
kemanusiaan yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia
disamping
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah
dapat
dibangun tanah dan bangsa Papua.
b. Segera
dibentuk pemerintahan peralihan
dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya
bulan
Maret 1999.
c. Sebagai
tindak lanjut politis adalah segera
diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua
Barat
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d. Kami
bangsa Papua Barat tidak ikut dalam
Pemilihan Umum 1999.
8. Musyawarah
Besar
Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah
Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah
langkah
strategis untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan
untuk
menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan demokrasi rakyat
Papua, Mubes juga mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda penting
sebagai
pilar-pilar (tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda itu
antara lain
tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan Konsolidasi
Komponen
Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini adalah membuat
kendaraan
politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang terdiri dari Panel dan
Presidium Dewan Papua.
9. Kongres
Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada
tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR)
Jayapura,
dengan tema kongres: Mari Kita
Meluruskan Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua Bertekat Menegakan
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran
dan Keadilan
Menuju Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi
yang diundang, selain itu dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang
tidak
diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
a. Presidium
Dewan Papua 31 orang.
b. Panel
Dewan Papua 400 orang.
c. Utusan
Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d. Utusan
Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e. Pengamat
50 orang
f.
Peninjau
Khusus 30 orang
g. Pers-Jurnalis
100 orang
h. Undangan
Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah
Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam empat bidang, yaitu Bidang
Ekonomi,
Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan), Bidang Budaya,
dan
Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan sebuah
Resolusi
Kongres Papua 2000[iii]
yang menegaskan kepada
Indonesia dan bangsa-bangsa di duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1
Desember
1961, menolak New York Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969,
mendesak
pengakuan kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran
HAM,
mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi Kongres 2000
rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua
untuk
melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan pengakuan
kemerdekaan Papua
Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan usaha dana
perjuangan,
Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan kepada Presidium
Dewan
Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada 1 Desember 2000.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat
Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah: Papua Barat harus keluar dari
Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat
sendiri.”
WEST
PAPUA DAN Penyelesaian Sengketa International
Ditinjau dari
konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai
ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau
kebijakan
yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan
mengenai
masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau
kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Penyelesaian
sengketa secara damai dijelaskan lebih
lanjut dalam pasal 33 Piagam PBB yang
mencantumkan beberapa cara damai dalam
menyelesaikansengketa,diantaranya :
a.
Negosiasi;
b.
Enquiry atau
penyelidikan;
c.
Mediasi;
d.
Konsiliasi
e.
Arbitrase
f.
Judicial Settlement atau Pengadilan;
g.
Organisasi-organisasi
atau
Badan-badan Regional.
1.
Dari tujuh penyelesaian sengketa
yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk
ke dalam penyelesaian sengketa
secara hukum adalah arbitrase dan Pengadilan. Sedangkan yang
termasuk ke
dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry;
mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good
offices
atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa
secaradiplomatik.
2. Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang
mutlak mengenai penyelesaian
sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat
saja
menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan
internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah
Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi,
ataupun cara
diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara
anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian
sengketa,
negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur
penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase
atau badan
peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan
lebih
melindungi kedaulatan mereka.
3. Masalah yang dapat diambil ke ICJ ( Mahkamah
International ) adalah suatu
masalah hukum international.
4. Kasus PEPERA 1969 dapat dikatakan sebagai
masalah International dan
merupakan suatu masalah hukum international. Karena pelaksanaan PEPERA
1969 itu
tercantum dalam Perjanjian New York 1962, dan ini merupakan suatu hukum international.
5. Kasus PEPERA 1969 pada Perjanjian New York
1962 dapat diajukan ke Mahkamah
International, untuk selanjutkan Mahkamah International akan menguji
kebenaran
pelaksanaan perjanjian tersebut.
6. Yang dapat mengajukan suatu Perkara ke
Mahkamah International adalah
Negara, untuk itu jika kasus PEPERA 1969 masuk ke Mahkamah
International, maka
harus didukung oleh salah satu negara.
Status
politik
Papua Barat dalam NKRI adalah masalah utama bangsa Papua Barat.
Statusnya,
belum final.
Trus, Bagaimana
menyelesaikannya?
Ada dua
cara
yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan secara internasional, yaitu
secara
damai atau bersahabat dan secara paksa. Tapi, setelah perang dunia ke-II
PBB
menyeruhkan tidak dengan
paksa.
Cara
penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum.
Secara
politik meliputi negosiasi, jasajasa baik, mediasi, konsiliasi,
penyelidikan,
dan penyelesaian dibawah naungan PBB. Sedangkan secara hukum dilakukan
melalui
lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama
Internasional).
Mahkama
Internasional
Mahkama
Internasional, International Court of Justice (ICJ) adalah badan
kehakiman PBB
yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ia berfungsi untuk menyelesaian
kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanganpertimbangan hukum
Internasional. Jadi, kalau masalah Papua Barat mau selesai, maka orang
Papua
Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai
wilayah yang
sedang bertikai. Jangan diam, bergerak dan beraksi.
Ketika Mahkamah Internasional mau bicara,
orang Papua Barat butuh Pengacara Internasional. Maka, saat ini kita
punya
Internasional Lawyers for West Papu ILWP. Ingat, ILWP adalah pengacara
Papua
Barat. Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan
proses hukum
internasional.
IPWP (Internasional
Parliamentarians for West Papua) atau
Parkumpulan Parlemen-Parlemen
untuk Papua
Barat.
IPWP
diluncurkan di London 15 Oktober 2008.
Anggota IPWP kini mencapai 68 orang. Dan, Internasional Lawyers for
West
Papua
(ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua
Barat.
ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh
Mrs.
Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional.
Anggota
ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang
selanjutnya
mendorong
ke
Majelis Umum PBB. Resolusi PBB Ada dua kemungkinan resolusi PBB.
Pertama, pengakuan Kemerdekaan Papua Barat.
Pengakuan
bagi
kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama
Internasional
bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1
Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541. Kedua,
Referendum.
Majelis
Umum dapat
memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat karena
Pepera
1969
yang
melahirkan
Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum.
Ada dua
cara
yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan secara internasional, yaitu
secara
damai atau bersahabat dan secara paksa. Tapi, setelah perang dunia ke-II
PBB
menyeruhkan tidak dengan
paksa.
Cara
penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum.
Secara
politik meliputi negosiasi, jasajasa baik, mediasi, konsiliasi,
penyelidikan,
dan penyelesaian dibawah naungan PBB. Sedangkan secara hukum dilakukan
melalui
lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama
Internasional).
Mahkama
Internasional, International Court of Justice (ICJ) adalah badan
kehakiman PBB yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda. Ia berfungsi untuk menyelesaian
kasus-kasus
internaasional sesuai dengan pertimbanganpertimbangan hukum
Internasional.
Jadi, kalau masalah Papua Barat mau selesai, maka orang Papua Barat
dengan
segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang
sedang
bertikai. Jangan diam, bergerak dan beraksi.
Ketika Mahkamah Internasional mau bicara,
orang Papua Barat butuh Pengacara Internasional. Maka, saat ini kita
punya
Internasional Lawyers for West Papu ILWP. Ingat, ILWP adalah pengacara
Papua
Barat. Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan
proses hukum
internasional.
Mahkama
Internasional
ILWP
: International Lawyers For
West Papua
ILWP
adalah sebuah lembaga Pengacara yang didalamnya
tergabung pengacara-pengacara International
yang memainkan peran advokasi hukum atau sebagai pengacara untuk
dapat menyiapkan draft-draft gugatan
hukum tentang Pelaksanaan PEPERA 1969 ke
ICJ atau lembaga Mahkamah International.
Draft-draft hukum yang dibuat
oleh ILWP ini akan dipakai oleh negara
yang mendukung West Papua
untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah
International.
ILWP
melaksanakan
tugas sebagai advokasi dan bantuan hukum untuk
menyukseskan “ Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat,
dengan
cara sebagai pengacara dalam gugatan masalah Papua ke Pengadilan
International Memperjuangkan keinginan masyarakat West
Papua yang mempunyai hak fundamental untuk menentukan nasib sendiri
dibawah
hukum international
Mempunyai komitmen untuk membantu masyarakat West Papua untuk dapat mengunakan hak kebebasan
kemerdekaan secara damai dalam penentuan nasib sendiri
Mempunyai komitmen untuk memperkuat hak kemerdekaan
fundamental orang
West Papua dibawah hukum international.
Mendesak Masyarakat International
dan PBB menjunjung tinggi hukum dan aturan international.
IPWP
: International
Parlementatians For West Papua
IPWP (Internasional
Parliamentarians for West Papua) atau
Parkumpulan Parlemen-Parlemen
untuk Papua Barat. IPWP
diluncurkan di London 15 Oktober 2008.
Anggota IPWP kini mencapai 68
orang.
IPWP
adalah sebuah lembaga international yang didalamnya terdapat
sejumlah anggota parlement negara
–negara yang memainkan peran politik
guna mendesak sejumlah negara untuk
mendukung Hak penentuan Nasib Sendiri
bangsa Papua Barat di PBB
IPWP
memperjuangkan “ Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua
Barat, dengan cara melobby sejumlah negara-negara untuk dapat mendukung
Agenda
Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua Barat ke PBB. Dan terus
mengkapanyekan keabsaan PBB
terhadap Pelaksanaan New York Agreement
1962 tentang Pelaksanaan PEPERA 1969
Memperjuangkan hak orang West Papua yang tidak dapat
dicabut untuk
menentukan nasib sendiri yang telah dilanggar oleh PEPERA 1969
Melobby pemerintah dan PBB untuk
dapat membawah West Papua untuk dapat melaksanakan hak kebebasaan
kemerdekaannya. Sehingga Orang West Papua
dapat melaksanakan demokrasinya untuk menentukan masa depan
mereka
sesuai dengan standar-standar hak asasi
manusia, prinsip-prinsip hukum Dan, Internasional Lawyers for
West
Papua
(ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua
Barat.
ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh
Mrs.
Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional.
Anggota
ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang
selanjutnya
mendorong
ke
Majelis Umum PBB. Resolusi PBB Ada dua kemungkinan resolusi PBB.
Pertama, pengakuan Kemerdekaan Papua Barat.
Pengakuan
bagi
kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama
Internasional
bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1
Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541. Kedua,
Referendum.
Majelis
Umum
dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat
karena
Pepera 1969
yang
melahirkan
Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum.
International Parliamentarians
for West Papua [IPWP]
MSG dan
PIF Kawasan Pasific
Selain
dua lembaga
internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan politik yang sudah
dan terus
dilakukan
yaitu
melalui
loby politik di kawasan pasifik, seperti: MSG (Melanesian Spearhead
Groups) dan
PIF (Pasific Islands Forum). MSG adalah sebuah group antar Negara-negara
Melanesia. Dalam pertemuan itu Negara-negara Melanesia membicarakan
isu-isu
penting serta kesepakatan kerja antar Negara -negara Melanesia ini. PIF
(Pasific Islands Forum) atau Forum Pulaupulau (negara-negara) pasifik
adalah
sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik.
Melalui
jalur
politik kita membuhtukan dukugan penuh dari Negara-negara Melanesia
serumpun
membawa masalah papua barat di tingkat internasional, Negara –negara
melanesia
sekitar 16 negara yang tergabung dalam MSG
dan FIM untuk mempersoalkan status wilayah papua barat dalam
sidang
majelis Umum PBB melalui Komisi 24 yang memiliki hak suara penuh adalah
PNG.
Untuk itu kita menempu jalur plitik membawa masalah papua di mayelis
umum PBB
maka ada sebuah Negara melanesia yang membawa masalah dan dipersoalkan
di
majelis umum PBB.
INTERVENSI NEGARA
ASING
PERTAMA,
Tiap
Negara ada
kode etik internasional untuk menghargai dan menghormati integritas dan
kedaulatan Negara lain. Negara tidak mendukung secara langsung tetapi
mendukung
penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak
Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Negara anggota PBB
berhak
mempersoalkan konflik Papua Barat dengan memaksa PBB mereview proses
memasukan
Papua Barat ke dalam Indonesia.
KEDUA, Intervensi
suatu
Negara kalau di Papua sangat darurat, yaitu kondisi yang memaksa
pihak-pihak
internasional intervensi demi penegakan prinsip-prinsip hukum dan HAM
internasional. Hal ini pun terjadi atas restu PBB, karena Indonesia
adalah
anggota PBB.
KETIGA, Komisi
Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk
memerdekakan
wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada
sekitar 16
wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh Marty
Natalegawa
yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia.
Sepertinya
tidak
strategis bila kasus Papua Barat dibawa lewat komisi ini.
KEEMPAT,
orang
Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat
berhak untuk menentukan nasip mereka sendiri.
Hal ini
didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di PBB, di mana Indonesia
merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan
meratifikainya.
KELIMA, Proses
internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin
menuju
pada target seperti yang tergambar di atas bila status politik
Papua Barat terus menjadi masalah yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan metode apa pun. Artinya,
Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency (darurat) agar
menjadi perhatian internasional, serta mendorongnya ke tahapan
penyelesaian.
KENAM, Indonesia
dan
Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi
wilayah
Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan bangsa
Papua
yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini. Mereka cap kita
teroris,
separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk tutupi kejahatan.
******************FREE
WEST PAPUA *********************************
0 komentar :
Posting Komentar