Oleh : Ernest Pugiye
Sadar atau
tidak sadar, Gereja Papua tidak pernah terlepas dari fenomena manusia dan
kemanusiaan. Salah satu sisi Gereja semakin dipandang sebagai sosok pendamai
dalam realitas kepahitan hidup di Papua.
Dan, di lain sisi, Gereja hadir sebagai pembisu setia, bahkan mengiakan tindakan kejahatan pemerintah RI atas umat Tuhan Papua dengan segala kekayaan ilmu pengetahuan dan filsafat-teologi klasiknya dalam mewartakan misi-Nya di Papua.
Dan, di lain sisi, Gereja hadir sebagai pembisu setia, bahkan mengiakan tindakan kejahatan pemerintah RI atas umat Tuhan Papua dengan segala kekayaan ilmu pengetahuan dan filsafat-teologi klasiknya dalam mewartakan misi-Nya di Papua.
Seolah-olah Anda
menampakkan diri sebagai Gereja langit dalam berbagai seluk-beluk
kehidupan di Papua. Sementara umat-Nya digantung konyol di salib NKRI. Karena
itu, Gereja Papua semakin tidak bebas dari pelanggaran HAM di Papua.
Ketidakpengertian
Sejarah membuktikan,
Gereja Papua adalah Gereja menderita/tersalib.Gereja Papua itu semakin tidak
bebas dari salib yang berat dan segala bentuk penderintaan.Ada beberapa bentuk
penderitan yang dipikul oleh Gereja Papua yakni pembunuhan, penindasan,
penjajahan dan pembiaran eksistensi Papua dalam segala aspek kehidupan.
Keempat salib Gereja
Papua itu adalah struktur dosa yang dikembangkan oleh para pemimpin Gereja,
pemerintah RI.Sebenarnya, Gereja Papua itu lebih menderita tersalib dari Salib
Yesus yang berkulit Putih yang diwartakan hirarki Gereja selama ini.Kita lagi
bingung dengan Yesus asing ini.
Kondisi dosa dan
salib Papua itu dapat menjadi makanan harian bagi Gereja Papua justru karena
ketidakpengertian.Saya sadar bahwa ketidakpengertian itu adalah penyebab
warisan yang semakin menggentalkan di Papua.Ketidakpengertian terletak pada
konsep misi klasik dari dunia Barat.
Api warisan itu
semakin menjadi jelas ketika para pemimpin Gereja merealisasikan misi-Nya. Misi
yang direalisasikan itu bukan dari Allah, dari Yesus, melainkan dari manusia,
dari mereka-mereka itu sendiri. Kesemuanya itu hanyalah sebagai hasil
spektulasi mereka atas realitas bayangan yang bernuansa menindas, mematikan dan
tidak menghargai martabat manusia sebagai apa adanya.
Mereka tidak tahu apa
yang dibilang Sang Pengada dari realitas hidup sekarang, meskipun sudah
mencari-Nya dalam menjajaki dunia ini. Itu tandanya, Allah masih tetap tersembunyi
kepada orang pandai dan bijak ini.Karena anda hanya terkurung dalam dunia
hitam.Jadi, wajar hanya jika mereka mewartakan diri dan dunia mereka sendiri
kepada umat Allah di Papua.
Kondisi ini,
sebenarnya mau memperlihatkan juga bahwa mereka menolak diri dan eksistensi
Gereja Papua. Penolakannya berakar dari martabat manusia asli Papua sebagai
anak-anak Allah.
Buktinya, anda
bersama pemerintah RI menindas, membunuh, membantai dan membiarkan umat Allah
Papua secara tidak adil.Inilah yang semakin nampak selama ini dalam segala
dimensi kehidupan orang Papua.
Tujuanya hanya demi
mempertahankan integritas kepentingan politik dan ekonomi di Papua. Hal ini
dicerna secara sedemikian rupa, sehingga dapat dijadikan sebagai kebaikan
bersama. Padahal kebaikan jenis ini mengandung bauh kematian yang tak putus
datang karena ada kotak kepentingan itu. Banyak rakyat dan alam Papua mati
secara tidak adil hanya demi tujuan mereka itu. Bahkan hubungan kita sebagai
manusia pun putus secara total dalam realitas ini.
Sikap Gereja
Situasi hidup yang
sedemikian, memang menuntut Gereja di Papua untuk tidak boleh tinggal diam
dalam menuntaskan berbagai masalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kemanusiaan di Papua. Gereja dalam dirinya mengandung tugas luhur secara abadi.
Gereja
yang demikian itu adalah komunitas atau persekutuan umat Allah pada satu pihak,
dan di pihak lain, Gereja juga memunyai pemimpin yang memang dipercayai dan
dipilih oleh Allah secara penuh.
Mereka dipilih Allah
melalui Gereja-Nya untuk menjadi corong Allah.Tegasnya, mereka dan kita adalah
utusan Allah Papua dalam diri Yesus Papua untuk mewartakan kabar sukacita demi
keselamatan manusia dan menghadirkan "tahun rahmat-Nya".
Konkretnya, Gereja
sejatinya sebagai komunitas Allah yang diutus oleh-Nya untuk memberitakan
kebebasan, kebenaran dan Kerajaan-Nya bagi rakyat asli Papua yang menderita,
terganggung di Salib buatan NKRI.
Demikian pula dengan
pergumulan dan harapan terdalam dari semua warga Papua bahwa segala salib
manusia dan kemanusiaan yang terus-menerus dilakukan oleh kaum berkuasa atas
orang dan alam Papua harus segera diakhiri dan dituntaskan oleh Gereja sendiri
sebagai utusan-Nya. Kesemuanya itu harus diselesaikan dalam terang Injil
Tuhan. Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja harus dapat digunakan sebagai sumber
aspirasi dan inspirasi demi solidaritas dan kebebasan Gereja Papua.
Namun untuk
menuntaskan segenap pelanggaran HAM itu harus ada persatuan secara menyeluruh
dalam terang Allah. Persatuan menyeluruh ini, di gereja katolik, harus
digerakkan oleh lima uskup dari lima Keuskupan Papua. Kelima uskup harus
bersatu lebih duluan dalam kesatuan yang mesra dengan Allah untuk menyuarakan
pelanggaran HAM di Papua.
Kesatuan yang mesra
akan bisa terjadi ketika ada tindakan eksis dari bawah, realitas salib Gereja
Papua ini. Inilah diharapkan juga oleh warga Papua, baik yang ada dalam
kekuasaan Gereja maupun mereka yang berjuang kebanaran, kebaikan di hutan
belantara Papua.
Karena suara kelima
uskup itu suara kebenaran sejati sampai melebih emas dan perak Papua.Itu suara
Allah. Jika mereka sudah bersatu dalam satu visi-misi kemanusiaan-kebebasan,
maka umatnya juga akan lebih mudah untuk melibatkan diri di dalamnya.
Bahkan
semua orang pun tentu akan bergabung dalam proyek karya keselamatan Allah bagi
Gereja Papua. Jika tidak demikian, sejauh itulah Gereja Papua akan terus
tersalib.
Ernest Pugiye adalah Mahasiswa
STFT Fajar Timur Abepura-Papua.
Sumber : http://majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar