YOGYA (KRjogja.com) -
Memperingati 51 tahun Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, puluhan
mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) DIY hari ini (15/08)
mengadakan unjuk rasa dengan melakukan jalan kaki di sepanjang Malioboro
dan berakhir di titik nol. Mahasiswa mendesak kepada Pemerintah RI,
Pemerintah Belanda, dan PBB untuk memberikan kebebasan dan hak
menentukan nasib sendiri.
Koordinator Aksi Wene Mendek menerangkan,New York Agreement adalah perjanjian yang ditandatangani antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah Papua Barat. Menurutnya, itu dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua. "Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua sampai sekarang," ujarnya.
Perjanjian itu menurutnya mengatur masa depan wilayah Papua Barat, dimana terdapat 29 pasal di dalamnya, diantaranya mengatur perihal penentuan nasib sendiri, yakni di pasal 14-21. Namun pemerintah RI yang diberi tanggung jawab mempersiapkan penentuan nasib rakyat Papua tidak menjalankan isi perjanjian itu.
"Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, pada 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik imperialis Amerika telah menandatangani kontrak pertamanya dengan Indonesia," tandasnya.
Akibatnya, hingga saat ini teror, intimidasi, penahanan, penembakan, dan pembunuhan menurutnya masih saja dialami rakyat Papua. Karena itu, pihaknya menuntut penarikan militer Indonesia (TNI dan Polri) dari seluruh Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan kemanusiaan. "Kami juga meminta penghentian eksploitasi semua perusahaan asing seperti Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari tanah Papua," tegasnya.
Koordinator Aksi Wene Mendek menerangkan,New York Agreement adalah perjanjian yang ditandatangani antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah Papua Barat. Menurutnya, itu dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua. "Padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua sampai sekarang," ujarnya.
Perjanjian itu menurutnya mengatur masa depan wilayah Papua Barat, dimana terdapat 29 pasal di dalamnya, diantaranya mengatur perihal penentuan nasib sendiri, yakni di pasal 14-21. Namun pemerintah RI yang diberi tanggung jawab mempersiapkan penentuan nasib rakyat Papua tidak menjalankan isi perjanjian itu.
"Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, pada 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik imperialis Amerika telah menandatangani kontrak pertamanya dengan Indonesia," tandasnya.
Akibatnya, hingga saat ini teror, intimidasi, penahanan, penembakan, dan pembunuhan menurutnya masih saja dialami rakyat Papua. Karena itu, pihaknya menuntut penarikan militer Indonesia (TNI dan Polri) dari seluruh Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan kemanusiaan. "Kami juga meminta penghentian eksploitasi semua perusahaan asing seperti Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari tanah Papua," tegasnya.
Massa melakukan jalan kaki dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju titik nol. Selain membawa berbagai spanduk dan tulisan, massa juga membagikan selebaran berisi tuntutan mereka untuk menentukan hak dan nasib mereka sendiri. (Den)
Sumber: http://krjogja.com
Blogger Comment
Facebook Comment