News
Loading...

DIALOG TIDAK AKAN MENYELESAIKAN PERSOALAN WEST PAPUA

Ledis Gombo Aktivis AMP Bandung ,saat aksi bersama kawan-kawan AMP Jogyakarta 14 Juli 2013" Penggugt PEPERA 19669 Ilegal dan Cacat Hukum di atas Tanah West Papua (Ilustrasi )
Oleh : Rinto Kogoya 

“Tulisan ini untuk mempertegas sikap  Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] yang menolak adanya gagasan untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan jalan Dialog, sehingga dasar kita menolak memiliki alasan yang logis dan rasional”

Saya lansung saja menguraikan kenapa secara organisasi, AMP dengan tegas menolak gagasan Dialog yang sedang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) maupun yang akhirnya diikuti oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe yang juga mengharapkan adanya dialog dengan pemerintah Pusat. Tapi menurut Lukas, kata dialog sebaiknya diubah dengan kata yang lebih halus.

Pertama, kenapa AMP menolak gagasan dialog yang didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dibawah kordinator Pater DR. Neles Tebay, Pr. Gagasan dialog ini muncul setelah sekian lama rakyat Papua berjuang untuk menuntut Kemerdekaan. Dan dianggap sebagai salah satu solusi penyelesaian persoalan Papua. Selain solusi demokratis lain yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi perlawanan di Papua seperti Hak Menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Referendum dan Pengakuan Kedaulatan oleh Indonesia.

Menurut JDP, konflik di Papua yang berkepanjangan disebabkan karena beberapa faktor persoalan mendasar, diantaranya; Sejarah Politik Papua yang Belum Tuntas tentang PEPERA 1969, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ketidakadilan Pembangun dan Marginalisasi. Berbeda dengan AMP yang melihat persoalan mendasar di Papua karena adanya ; Kolonialisme Indonesia, Imperialisme dan Militerisme. Tentu berbeda pula solusi yang diperjuangkan bagi penyelesaian persoalan Papua.

Menurut kami, apa yang dikemukan oleh JDP merupakan sebuah tesis atau disertasi doktoral yang coba dijadikan panduan penyelesaian persoalan, bukan merupakan sebuah hasil analisa yang tajam dan mendalam tentang Papua. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan JDP dalam melihat sejarah Papua hanya berpijak dari pelaksanaan PEPERA 1969 dan tidak secara menyeluruh dari tahun 1960an awal atau pertengahan atau tahun-tahun sebelumnya dimana proses awal Identitas Nasional Bangsa Papua itu lahir.

Selain sejarah politik Papua, pelanggaran HAM menjadi fokus persoalan bagi JDP. Sehingga persoalan HAM harus menjadi satu bagian yang didialogkan. Sebenarnya apa yang diharapkan oleh JDP? Untuk memperjuangkan HAM rakyat Papua? Saya ajukan satu pertanyaan, sudah berapa banyak para pelaku pelanggar HAM yang diadili oleh Pengadilan Indonesia dan hasilnya benar-benar memberikan rasa keadilan untuk rakyat Papua? Apalagi bagi Indonesia, mereka yang melakukan pelangaran HAM dianggap “Pahlawan”. Semua pengadilan terhadap pelaku pelanggar HAM di Papua hanya formalitas belaka diatas meja sidang, untuk menunjukan kalau Indonesai menghargai HAM rakyat Papua. Menurut kami, pelanggaran HAM merupakan efek dari sebuah pendudukan atau penjajahan yang dilakukan oleh Indonesia untuk mempertahankan hegemoninya atas Papua. Sehingga, untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM, rakyat Papua harus hidup merdeka dan bebas dari dari sebuah penjajahan yang sedang dilakukan oleh Indonesia.

Dua soal lain yaitu ketidakadilan pembangunan dan marjinalisasi juga menjadi fokus JDP dalam konsep dialog yang ditawarkan. Kembali kami pertegas, bahwa kolonial akan selalu mendominasi wilayah yang dikoloni baik secara ekonomi politik maupun sosial kebudayaan. Kolonial selalu menghambat laju perkembangan kemajuan disemua aspek kehidupan rakyat di wilayah yang dikoloni. Mengharapkan adanya kemajuan dalam pembangunan dan rakyat Papua tidak termarjinalkan adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil. 

Sehingga kembali ke penafsiran masing-masing, yaitu Papua itu bagian dari Indonesai atau wilayah yang dikoloni atau dijajah oleh Indonesia? Jika Papua bagian dari Indonesia, dan mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan, maka yang harus diperjuangkan adalah transformasi industri manufaktur kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) rakyat yang berpusat diwilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Sulawesi ke Papua. Lahir pertanyaan baru, apa hal itu mau dilakukan oleh Indonesia terutama kaum pemilik modalnya? Jelas itu sesuatu yang mustahil karena industri selalu membutuhkan pasar dan tenaga kerja, dan Papua bukan pasar yang menguntungkan dari sisi jumlah penduduk yang ada saat ini dibanding daerah lain di Indonesia apalagi kesediaan tenaga kerja.

Penjelasan diatas terkait konsep dialog yang ditawarkan oleh JDP yang dengan tegas ditolak oleh AMP. Selain penolakan atas konsep dialog, tidak adanya kesepahaman bersama antar organisasi perlawanan di Papua yang pro dialog dan kontra dialog akan menjadi bumerang bagi rakyat Papua. Bagaiman dengan sayap militer gerakan Kemerdekaan Papua TPN-PB yang dengan tegas menolak bentuk-bentuk kompromi seperti dialog? Saya kira Tim 100 pada tahun 1999 juga telah melakukan tahapan dialog dengan Indonesia, menghasilkan OTSUS yang oleh Indonesia dianggap sebagai solusi dan tidak bagi rakyat Papua yang menghendaki Kemerdekaan.

Kedua, kenapa AMP menolak dengan tegas gagasan dialog yang diusung oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe? Dari apa yang diutarakan oleh Lukas Enembe bahwa bukan kata dialog tapi diubah dengan kata yang lebih halus, maksudnya? Dan dialog yang dilakukan berkaitan dengan kesejahteraan. Hal ini menandakan bahwa Lukas ingin hadir sebagai sosok “Pahlawan Kesiangan” bagi rakyat Papua. Selain itu, menunjukan kalau Lukas tidak memahami mekanisme dalam birokrasi yang ia pimpin. Apa tidak ada cara lain untuk mengurus masalah kesejahteraan rakyat Papua? Seperti ; rapat konsultasi atau rapat kerja atau dengan kata yang lebih halus “diskusi” dengan birokrasi diatasnya yaitu pemerintah pusat untuk membahas bagaimana mengatasi masalah kesejahteraan di Papua.

Menurut kami, ada tidaknya dialog antara pemerintah provinsi Papua dan pemerintah pusat tidak akan mengubah eskalasi perlawanan rakyat di Papua. Karena, baik pemerintah provinsi Papua maupun pemerintah pusat adalah satu rangkaian birokrasi yang saat ini sedang menjajah Papua. 

Saya merasa penting untuk menjelaskan bagaimana kolonialisme Indonesia tetap berlangsung dan terjadi di Papua. Kolonialisme adalah “kebijakan dan praktek kekuatan dalam memperluas kontrol atas masyarakat lemah atau daerah”. Kolonialisme selalu memiliki sifat yang arogan dan ekspansionis. Tujuan utama kolonialisme adalah menguras sumber kekayaan, sedangkan kesejahteraan dan pendidikan rakyat daerah koloni, tidak diutamakan. Dari pengertian dan tujuannya jelas bahwa Papua sedang di jajah oleh Indonesia. Kolonialisme Indonesia berlangsung di Papua melalui mesin birokrasi, sistem politik yaitu pemilu dan penempatan militer (TNI-Polri). Birokrasi yang ada di Papua saat ini merupakan perpanjangan tangan atau pelaksana dari birokrasi pemerintah penjajah Indonesia. Birokrasi dan sistem politik seperti pemilu tujuannya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan politik Indonesia atas Papua. Sehingga, penting untuk memajukan kesadaran rakyat Papua tentang bagaimana Kolonialisme Indonesia itu berlangsung di Papua, untuk kemudian rakyat Papua dapat menentukan sikap politiknya.

Tentu AMP tidak hanya menolak, Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determination) bagi rakyat Papua merupakan solusi demokratis yang menurut kami dapat menyelesaikan persoalan Papua. Seperti apa yang dikatakan oleh Pdt. I.S. Kijne pada 25 Oktober 1925 di Wasior-Manokwari ”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. AMP juga memiliki keyakinan bahwa rakyat Papua dapat memimpin dirinya sendiri dan dapat menjalani hidup dengan  sejahtera, adil, demokratis dan bermartabat jika Papua Merdeka. 

Akhirnya, kami menyerukan kepada seluruh organisasi perlawanan Papua untuk menghilangkan ego dan faksisme dan bersama-sama memperjuangkan Kemerdekaan Sejati Rakyat Papua untuk hari depan Papua yang lebih baik. 

Salam!


Penulis adalah Rinto Kogoya Mantan Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat AMP [Ketum KPP AMP]
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment