PT Freeport Indonesia (Foto: Ist) |
Seperti dikutip dari cnnindonesia.com, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, R. Sukhyar mengatakan Non-Ferrous China Company (NFC) adalah investor yang bakal digandeng pemerintah daerah Mimika, Papua, untuk membangun smelter tersebut. (Baca: AMP Kembali Demo Desak Freeport “Angkat Kaki” dari Tanah Papua)
Sukhyar menegaskan, jika NFC ingin terlibat dalam proyek smelter, perusahaan Tiongkok itu harus memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus.
“Jadi kewenangannya ada di bawah kementerian ESDM. Yang pasti mereka bukan IUI (Izin Usaha Industri),” ujar Sukhyar di Jakarta, Senin (2/3/2015) kemarin.
Sukhyar menerangkan, proyek smelter tembaga di Papua akan memiliki kapasitas daya serap konsentrat 900 ribu ton per tahun. Rencananya, pasokan konsentratnya sendiri berasal dari hasil pertambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia di daerah Mimika.
Diperkirakan, smelter yang sedianya akan dibangun pada 2019 mendatang tersebut akan menelan biaya investasi mencapai US$ 1 miliar atau berkisar Rp 12,5 triliun.
"Karena someday produksi konsentrat PT Freeport bisa sampai 3 juta sampai 3,8 juta ton per tahun jadi selain ke PT Smelting dan smelter perusahaan di Gresik, sebagian konsentrat juga akan dikirim ke smelter Papua," tutur Sukhyar.
NFC merupakan perusahaan industri pertambangan asal Tiongkok yang menggunakan teknologi Kanada di dalam pembangunan smelter di sejumlah negara.
Dalam pengerjaan smelter di Papua, NFC akan menggandeng salah satu bank investasi di Amerika Serikat, sebagai penyandang dana pembangunan.
Setelah proyek selesai, kepemilikan smelter akan dilimpahkan ke bank tersebut. Adapun pembangunan smelter di Papua membutuhkan waktu sampai 52 bulan dan digarap di atas lahan seluas 650 hektare di kawasan industri Mimika.
MIKAEL KUDIAI
Sumber : www.suarapapua.com
Blogger Comment
Facebook Comment