Ilustrasi |
Oleh, Topilus B. Tebai
Mimpiku satu sejak aku
lahir, kira-kira 200 tahun yang lalu: menguasai dunia. Cikal bakal kelahiranku
sebenarnya jauh sebelum itu. Ini barangkali tak penting untuk diurai. Yang
terpenting, kini, aku menjadi penguasa dunia.
Barangkali anda bertanya, "Siapa
kau yang bermimpi setinggi langit menguasai dunia?" Panggil aku kapital. Dan... itu nama populerku.
Awalnya, kupengaruhi dunia dengan teoriku, bahwa tanpa
akumulasi kapital, kesejahteraan
yang diimpikan dunia hanya mimpi. Ketika teoriku diamini dunia, lalu aku
berpikir, bagaimana aku menciptakan sebuah mesin penyedot
uang. Aku rintis mesinnya, dan kunamai dia, Bank. Dengan mesin ini, kusedot
semua uang yang berkeliaran tak tentu arah.
Uang yang disedot bank aku buka pintu hanya bagi
mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman dari bank, yakni siapa saja,
perorangan atau badan usaha yang mampu dan menjanjikan untuk mengembalikan uang
sedotanku dengan bunga yang kutentukan. Dan aku tahu, hanya anak-anakku, kaum kapitalis, merekalah yang akan datang meminjam untuk membuat perusahaan mereka menjadi lebih besar lagi.
Aku belum merasa cukup. Aku cari cara lain. Targetku menguasai
dunia masih di awan-awan.
Aku renovasi mesin penyedot uangku yang
lama, bank, kemudian kunamai dia, Pasar Modal. Dengan pasar ini,
anak-anakku kapitalis cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat, dengan pemberian deviden.
Kau pasti bertanya, "Siapakah yang memanfaatkan
keberadaan pasar modal ini?" Dengan persyaratan untuk menjadi pelaku pasar, lagi-lagi hanya anak-anakku, perusahaan
besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa
mereka? Kaum kapitalis!
Aku masih belum puas. Aku terus memutar otak mencari
cara baru. Akh, daripada pikir banyak, pikirku, lebih baik kumakan saja
perusahaan-perusahaan kecil yang kadang menjadi duri dalam pencapaian impianku,
menguasai dunia.
Jika di suatu wilayah banyak terdapat toko milik
pengusaha kecil, cukup aku bangun sebuah mall yang besar. Dengan itu, kutarik pembeli,
dan toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya. Aman kan? Kugunakan dua mesin
penyedot uangku, perbankan dan pasar modal, mendukung usahaku yang
ketiga ini.
Selain aku, banyak perusahaan lain. Dan aku pikir, aku
harus mampu memenangkan persaingan pasar. Aku tahu, persaingan pasar hanya
dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga
yang paling murah. Aku kemudian memutar otak.
Daripada pusing, kugunakan saja cara simple: kuasai bahan baku. Di mana-mana, perusahaan
pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dan
sebagainya kusebar bagai jamur. Mereka saling melengkapi, terus mencari tempat
penghasil bahan baku, dan jaringan
kekuasaanku makin luas. Aku masih mengadalkan dua mesinku, perbankan dan pasar modal, sebagai alat bantu. Serasi. Kerja yang
profesional!
Ketika itu, satu masalah muncul. Setiap bangsa punya negara.
Mereka punya aturan. Bagaimana aku menyamar?
Gampang. Aku berusaha mencaplok perusahaan milik
negara yang umumnya menguasai sektor-sektor publik, seperti telekomunikasi,
transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan,
energi, dan yang lainnya.
Setelah menyusup masuk, memasang kuda-kuda, segera
kudorong lahirnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan lahirnya UU baru ini,
kucaplok BUMN. Aku masih tetap gunakan dua mesin pembantu setiaku, perbankan dan pasar modal.
Karena telah masuk dalam sistem, aku pikir, lebih baik
aku masuk di dalamnya. Aku coba masuk ke sektor
kekuasaan itu sendiri. Pikirku, diriku dan anak-anakku, kaum kapitalis,
harus menjadi penguasa,
sekaligus sebagai pengusaha.
Biaya kampanye? Ahahahaa .., jangan kuatir. Aku raja
modal. Aku adalah Kapital. Kugunakan dua mesin pembantuku, perbankan dan pasar
modal, mendukung aksiku.
Pulau-pulau kukuasai. Satu masalah lagi muncul. Namun aku
masih rasional. Masalahnya, bila aku hanya memasarkannya dalam wilayah
kekuasaanku, maka aku semakin kehabisan konsumen. Aku malah tersenyum
menghadapi masalah ini. Impianku menguasai dunia tinggal selangkah, malah kusadari itu ketika masalah ini mendekat.
Aku
coba ekspansi pasar di negara-negara miskin dan
berkembang yang padat penduduknya. Caranya adalah dengan menciptakan organisasi
perdagangan dunia yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas
dunia, sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa
halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).
Enak bukan?
Dengan taktikku yang satu, aku menguasai setengah dunia.
Negara-negara berdaulat menjadi daerah jajahanku. Dua mesinku, perbankan dan pasar modal, mereka masih tetap kuandalkan.
Kini, aku mulai berpikir,
bagaimana membuka anak perusahaan di
negara-negara yang menjadi obyek eksporku.
Dengan langsung berproduksi di daerah-daerah
jajahanku, biaya produksi murah. Transportasi benifit. Harta jual rendah. Akhirnya
kukuasai konsumen di derah-daerah jajahan. Dua mesinku, perbankan dan pasar
modal, mereka berperan besar dalamnya.
Aku
belum puas. Aku ingin menguasai dunia, dan capaianku saat ini kurasa masih
belum cukup. Aku mulai lagi memeras otak.
Dengan memakai boneka-boneka milikku di kursi
birokrasi masing-masing jajahanku, kubuat Undang-Undang yang memberi ruang
penanaman modal asing.
Dengan undang-undang ini, aku tancapkan cakar-cakarku
di daerah-daerah penghasil bahan baku. Kukuasai, kuhisap, sampai pada urat
syarafnya yang terdalam. Aku ingin menguasai dunia.
Saat ini, aku berproduksi
dalam negeri-negeri jajahanku. Masalah besarku saat ini, bahan baku produksiku
mahal. Tapi ini segera kuatasi. Aku segera menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya, sehingga harga bahan baku
menjadi makin rendah.
Caranya, kubuat mesin baru, dan kunamai dia, Pasar Valuta Asing (valas). Jika
negara-negara jajahanku sudah membuka Pasar Valasnya, aku mulai masuk,
mempermainkan nilai kurs mata uang lokal sesuai kehendakku. Akhirnya juga,
harga bahan baku bertekuk lutut menyembahku.
Aku semakin dekat meraih mimpiku: menguasai dunia.
Saat
ini, pengeluaran terbesarku adalah upah bagi tenaga kerja yang tetap tinggi.
Ini membuat impianku kian jauh untuk kugenggam. Dengan cepat, kutemukan caranya. Aku coba merambat ke ranah pendidikan,
dengan bantuan boneka-boneka milikku di kursi birokrasi, aku
melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara jajahanku tersebut.
Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi,
berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi. Itu
artinya biaya pendidikan mahal. Di sana, aku akan hadir sebagai seorang
pahlawan, dengan membuka sekolah-sekolah kejuruan, SMK, dan sekolah sejenisnya dengan mengutamakan
penguasaan teknik dan skill daripada pengetahuan umum dan perkembangan dunia.
Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak
melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji
rendah. Aku sudah dengan sendirinya menjadi pahlawan, juga menciptakan
kantong-kantong gudang pekerja di perusahaan-perusahaanku yang tersebar di
seluruh dunia.
Kini aku sudah semakin
dekat menggenggam dunia. Aku menguasai dunia. Aku penguasa dunia.
Ada satu hal teramat penting yang kini aku risaukan.
Konsumenku di negara-negara jajahanku akan miskin absolut, dan pada titik
tertentu, daya beli mereka akan semakin menurun, kemiskinan merajalela, dan
akal busukku menguasai dunia akan dicium banyak pihak, dan itu artinya, masa
depanku terancam.
Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka
aku kembangembangkan Non Government
Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk
melakukan pengembangan masyarakat (community
development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa
mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri
kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walau skala kecil),
agar tetap memiliki penghasilan.
Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat,
maka diperlukan dukungan dana. Aku dengan giat mendukung kegiatan NGO ini. Taktikku ini juga sekaligus
membuat nukaku putih bersih di dalam pandangan para terpelajar dan aktivis di
negara-negara terjajah.
Dengan ini, aku peroleh 3 keuntungan sekaligus: masyarakat
akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah terjajah mereka
dan yang terpenting, negara jajahanku tidak akan menjadi negara industri besar
untuk selamanya. Dia konsumen abadiku, jajahan abadiku.
Tak kupungkiri, bahwa semua strategiku akan melahirkan
krisis ekonomi di daerah-daerah jajahanku. ternyata juga, sangat sederhana mencari
solusinya. Aku cukup cukup memaksa pemerintah untuk memberi rakyat, konsumen
abadiku itu, stimulus ekonomi. Dananya tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara mereka.
Pendapatan mereka dari rakyat melalui pembayaran pajak
yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.
Inilah aku, Sang Kapitalis Dunia. Aku menguasai dunia.
Dunia dalam genggamanku. Dengan kondisiku saat ini, aku nyaris mampu dengan
mudah berbuat apa saja, sekehendakku.
Aku penguasa dunia!
Oleh, Topilus B. Tebai
Sumber : www.majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar