News
Loading...

POTRET BURAM PERPOLITIK DI TANAH PAPUA

Oleh: Emanuel Gobai SH

Egoisme butakan otak Politikus Birokrat di Tanah Papua lahirkan lakon sandiwara politik tumbalkan; Alam, Budaya, dan Manusia Papua, sembari menyuburkan Istitusi tertentu.

Banyak cerita yang dapat diukur untuk menggambarkan peta perpolitikkan di Tanah Papua. Berdasarkan dinamika Perpolitikan yang sudah terjadi disana, dampaknya telah menelan sekian korban baik harta, berda, waktu, dan bahkan nyawa. Ending dari pada itu semua yang dapat dipetik dan disimpulkan adalah “telah terjadi proses pembelajaran politik yang keliru dan cenderung mengorbankan sesama masyarakat Papua”, atau dapat disimpulkan “implementasi perpolitikan yang keliru”.

Sampai sekarang penyebab semua itu belum mampu diucapkan, disimpulkan, dan ditetapkan oleh politikus, akademisi, tokoh masyarakat, pemuda, dan lain sebagainya. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa telah mengetahui akar penyebab konflik politik yang terjadi dalam perpolitikan, namun jika dikaji pernyataan tahu oleh pihak-pihak yang mengaku tahu itu hanyalah bagian dari ucapan kosong yang bertujuan untuk menggertak atau menetralkan kondisi dirinya yang sebenarnya memang mereka tidak memahaminya sama sekali. Hal itu dapat diukur dengan ketidakmampuan orang papua (pelaku perpolitikan) mengelola konfik yang terjadi pasca diimplementasikan perpolitikan di seluruh Tanah Papua, dan memetak siapa pihak yang akan diuntungkan dan dirugikan didalamnya sebagai rekomendasi pada pesta demokrasi selanjutnya.

Jika diamati skema perpolitikan yang terbangun selama ini, cenderung menunjukan sikap kekanak-kanakan namun karena dipoles dengan alasan ilmiah, dan berlandaskan aturan formal sehingga terkesan logis dan rasional, namun bagaimanapun juga esensinya tetap kekanak-kanankan sebab tidak menerima kekalahan dan cenderung mempertontonkan sikap menguntungkan diri sendiri alias egoisme. Sikap-sikap itulah yang telah mengorbankan sekian ratus jiwa manusia Papua, sekian ratus rupiah kerugian materi yang telah dikumpulkan oleh rakyat papua secara susah payah, dan korban dibidang lainnya.

Perhatikan kasus-kasus penundaan Pemilu Kepala Daerah (PILKADA) baik Propinsi, Kabupaten, Kota yang telah menelan dana, menelantarkan pembangunan disegala sektor, meraup hutang politik, menghancurkan tatanan sosial masyarakat papua, dan bahkan mengorbankan nyawa manusia papua semua itu merupakan bukti konkrit kebobrokan para pelaku perpolitikan di Tanah Papua.

Para pihak-pihak yang dipercayakan untuk menjalankan pesta demokrasi di Tanah Papua yang telah tergoda dengan kucuran dana segar yang tidak tahu asal-usulnya juga mengambil peran penting dalam bencana kemanusia yang dihasilkan oleh PEMILUKADA tersebut. Jauh dari pada itu Institusi Kemanan Pemerintah Indonesia (TNI/POLRI) yang bertugas dalam hal manjamin keamanan didalamnya yang tidak berperan penting dalam menciptakan kestabilan dan keamanan bagi jalannya pesta demokrasi disana padahal telah dibayar dengan sekian miliaran rupiah pada setiap putaran PEMILU (Eksekuti dan Legislatif) baik yang gagal dan suskes seakan membiarkan bencana kemanusia itu terjadi, kondisi itu hanya membangun kesan tersendiri pada institusi keamanan (TNI/POLRI) bahwa ; “karena mereka (TNI/POLRI) telah memiliki lahan subur sehingga mengiinginkan lahan itu terus subur agar dirinya pun turut subur dengan hujan duit sebagai pemupuknya”
Pernyataan intelektual tukang Indonesia menangapi PILGUB Papua 2012 dengan pandangannya bahwa “Pilgub Pertarungan Pantai & Gunung.

Namun, itu Positif” dalam Bintang Papua (19/12) terkesan memberikan pandagan yang keliru dan memiliki tujuan tertentu sebab pernyataannya sangat kental muatan profokatifnya serta melaluinya rentan berdampak pada konflik horisontal karena mutan filosofis pernyataan tersebut adalah “membagi masyarakat papua kedalam dua golongan masyarakat yaitu gunung dan pantai” disamping itu pandangan tersebut sangat tidak objektif pula sebab yang menjadi kandidat (cagub dan cawagub) tidak seperti yang dikatakan, yang terpraktekkan justru terbalik karena kadidatnya campuran. Sikap intelektual tukang itu mesti dipertanyaakan ? Herannya lagi kok bisa dijadikan opini public melalui media disana ? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada kaitannya dengan kepentingan institusi tertentu diatas ?

Dari perjalanan perpolitikan yang telah bersimbah darah dan memakan korban materil telah mampu mengantarkan seorang pemimpin yang korup dan pro terhadap pemilik modal baik yang menyuplai dana pada saat yang bersangkutan mencalonkan diri, dan kontrak kerja baru yang disahkan setelah menjabat sebagai pemimpin. 

Ditengah kondisi perpolitikan seperti itu alam, rakyat, dan budaya Papua benar-benar menjadi tumbal atas semua ke-buta-an dan ke-tuli-an eksekutif dan legislatif papua. Apa penyebab ke-tuli-an dan ke-buta-an eksekutif papua itu yang menjadi pertanyaan kemudian apakah karena egoismenya ? Ataukah karena kebodohannya ? Ataukah karena ditodong senjata ? Ataukah karena sistim ? Dan atauhkah karena apa ? Dan apa ? Dan apa ? Dan apa ? Dan masih banyak lagi ?

Sekian ribu Pertanyaan yang belum terjawab itu, apakah secara pribadi politikus Papua yang egoisme itu memahami dan mengerti ataukah malahan buta terhadap pertanyaan itu.

Secara umum karakter Politikus Birokrat Papua yaitu Berkarakter duitan yang tinggi, dan tidak memiliki jiwa kemanusiaan perhatikan sikap kekanak-kanakan mereka yang bahkan tidak mampu membedakan tempat pertarungan politik, sampai-sampai hubungan kekeluargaan atau hubungan darah yang telah terbangun sekian tahun lamanya dengan gampang mereka hancurkan, bahkan melaluinya mereka mampu meninggalkan istri-istri bahkan suami-suami dan sukses menjadikan anak-anak Papua hasil buah cintanya menjadi anak terlantar seakan terlahir tanpa orang tua diatas Tanah Papua yang kaya raya.

Lebih parah lagi ketika orang Papua dijadikan target pelanggaran HAM Berat oleh APARAT KEAMANAN INDONESIA (dibunuh, disiksa, diintrogasi, diteror, diperkosa, dipenjarakan tanpa dasar hukum, dikejar-kejar bagaikan pencuri ditas tanah sendiri, dll), menjadi korban IMS dan AIDS, tergusur karena kehadiran perusahan-perusahaan raksasa (PT. Freeport Indonesia, Britis Petroleon, Mecko Papua, Pengalengan Ikan, Kelapa Sawit, dll), Penghanguskan budaya sebagai jatidiri orang Papua, dan lain sebagainya terjadi didepan mata dan telinga Eksekutif dan Legislative Papua. Namun, mereka hanya memilih diam, dengar, dan mendapatkan duit diruang kerja-kerja mereka atau bahkan menerima di Jakarta atau di luar negeri. 

Banyak diantara mereka terkadang memanfaatkan kondisi itu menjadi tempat empuk untuk berkampanye politik demi mendapatkan perhatian masyarakat Papua agar kepentingan politik mereka tercapai yaitu mereka menjabat sebagai Eksekuti atau Legislatif diperiode berikutnya diatas darah korban jiwa manusia papua, dengan cara membuat Tim Pencari Fakta (TPF) dan melakukan penyelidikan kelapangan yang beujung pada pembayaran kepala (bahkan berujung tanpa hasil/solusi), serta menjadikan situasi itu sebagai materi/bahan kampenye politik pada massa kampanye PEMILUKADA dan PEMILULEG, dan lain sebagainya sesuai dengan keratifitas mereka mengunkapnya demi terpenuhinya kepentingannya diatas.

Mungkin diantara para birokrat (Eksekutif, Legislatif, dan MRP) sedikit menepuk dada dengan dikeluarkannya “PERDASUS tentang Kepala Daerah diseluruh tanah papua adalah Orang Papua Asli” mungkin benar sikapnya, namun amat disayangkan karena melaluinya justru terkesan menciptakan ruang bagi “perkelahian antara politikus-politikus asli Papua dalam pesta demokrasi daerah” untuk meloloskan kepentingan NKRI dan hutang politik (hutang partai dan pengusaha) yang dikantonginya masing-masing. Dari kenyataan pesta demokrasi dipapua selama ini yang selalu menuai konflik horizontal antara pendukung calon masing-masing. Akhirnya benar bahwa orang Papua sendiri (politikus birokrat) yang sedang mendukung program pemusnahan orang papua dengan cara membuka dan/atau menciptakan ruang untuk mencabut hak hidup (nyawa) orang papua diatas tanah papua.

Disamping itu Politikus Birokrat Papua mungkin sedikit mampu menunjukan taringnnya sesuai dengan pernyataan ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Papua baru-baru ini, dimana pihaknya telah mengusulkan 7 (tujuh) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) dan satu Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) untuk disahkan, dalam pembahasan Raperdasi dan Raperdasus pada sidang paripurna DPRP. Yakni:
1. Raperdasi Penyelenggara Ketenaga Kerjaan,  2. Raperdasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Tahun 2012-2032, 3. Raperdasi Organisasi dan Tata Kerja RS Jiwa Daerah Abepura,  4. Raperdasi Penyelenggaraan Pendidikan (revisi),  5. Raperdasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga,  6. Raperdasi Perlindungan Penyandang Disabilitas dan  7. Raperdasi Organisasi Tata Kerja Sekertariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Papua. 8. Raperdasus Pelayanan Pendidikan Bagi Komunita Adat Daerah Terpencil (dianggap layak menjadi Perdasus).

Dari ketujuh Raperdasi dan satu Raperdasus yang dianggap layak diatas memang sangat penting dan bermanfaan bagi orang papua sehingga wajib diberikan penghargaan, hanya saja mengapa baru sekarang baru dibuat ? Bukankah OTSUS Papua sudah lama ?

Dengan melihat sekian korban jiwa, kekayaan alam, dan budaya Papua dengan modus operandinya masing-masing dimana pada tahun 2012 yang sangat tinggi jumlahnya, seperti : maraknya konflik pilkada, penembakan aktifis Papua (Mako Tabuni, Hubertus Mabel, dll), pencurian kekayaan alam papua secara gila-gilaan (perpanjangan kortak BP di Inggris dan kehadiran perusahan tambang baru), pudarnya bahasa dan budaya asli Papua. 

Semua peristiwa itu terjadi didepan mata kita sekalian, terlebih khususnya Politikus Birokrat Papua yang sudah berlangsung sejak dahulu, sekarang, dan mungkin nanti. Pertanyaan selanjutnya adalah sudahkah para pembuat kebijakan di Papua memikirkan hal-hal diatas, atukah mereka lebih berpikir untuk melindungi, dan menjalankan program NKRI di Tanah Papua dengan cara membuat PERDASI dan/atau PERDASUS yang berpihak pada NKRI tanpa melihat, memikirkan, dan melindungi Manusia Papua, Alam Papua, dan Budaya Papua dari bencana kemanusiaan, bencana alam buatan manusia, serta arus globalisasi diseluruh Tanah Papua. 

Situasi itu telah terjadi begitu lama di Tanah Papua sejak 1 Mey 1963 – sekarang, namun masih belum terungkap ke permukaan jiwa masyarakat Papua karena sekian banyak program politik Negara Indonesia yang diterapkan disana, dimulai dari penerapan sistim sentralisasi dengan senjata Satus DOM (Daerah Operasi Militer), Otonomi Daerah, Otonomi Khusus, Pemekaran (propinsi, kabupaten, kota), UP4B yang masih dihujani kritikan, dan beberapa sistim yang sedang digodok pemerintah Indonesia saat ini melalui pertemua ilmiah di beberapa Perguruan Tinggi di Pulau Jawa, seperti : UGM, UI, dan lain-lain untuk memberikan rekomendasi akademisi.

Jika disimpulkan maka semua kebijakan itu hanya terkesan menciptakan tatanan hidup masyarakat Papua yang bersandar kepada Uang, dengan cara memanjakan masyarakat papua dengan uang. Program Politik Pemekaran dan Otonomu Khusus oleh Negara Indonesia di tanah Papua benar-benar memuluskan aliran uang hingga pelosok-pelosok tanah papua dan terlebih khusus ke setiap manusia Papua sehingga pandangan masyarakat papua secara umum tertutup untuk melihat TINDAKAN KEBIADABAN EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF PAPUA.

Jika dibandingkan dengan Para Intelektual Pertama Papua Angkatan 60-an (Nikolas Youwe, Markus Kaisepo, dkk) mereka benar-benar teladan yang baik dan mampu menanamkan benih semagat “Perpolitikan Ke-Papua-an” yang benar terhadap generasi papua selanjutnya. Hasil yang dicapainyapun mampu mewakili Sekian Ribu Pendapat Rakyat Papua, padahal jika mau dilihat secara objektif mereka mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang sederhana dan dapat dikatakan terbelakang namun mereka mampu memberikan “Pandangan Idiologis Yang Brilian Bagi Kita Generasi Biru Papua”.

Dari sikap Politikus Birokrat Papua dalam melihat, mendengar, dan menerima uang tanpa melalukan upaya apapun demi perlindungan alam, manusia, dan budaya yang sedang digiring oleh pemerintah Indonesia keambang kepunahan yang telah, sedang, akan dipraktekkan diseluruh Tanah Papua dan dengan dinamika perpolitikan di Tanah Papua yang berujung pada memperkaya istitusi tertentu dan menciptakan konflik horizontal, serta sekian Pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua, telah menunjukan kepada Publik Rakyat Dan Alam Raya Papua bahwa PARA POLITIKUS BIROKRAT PAPUA (Eksekuti, Legislatif, dan Majelis Rakyat Papua) adalah salah satu AKTOR PELAKU PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP MANUSIA PAPUA, selain TNI/POLRI dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. 

Puisi: “UNTUKMU POLITIKUS BIROKRAT PAPUA”

Kami tidak butuh 
ungkapan bela sungkawamu birokrat, 
kami tidak butuh 
kritikan pedismu legislatif

kritikan dan rasa berkabungmu 
tak akan hidupkan kami kembali
lindungilah orang papua 
dengan tugasmu birokrat

Ukirlah jasamu legislator 
Tentang Perlindungan Hak Hidup Orang Papua
Tentang Perlindungan Hak Ulayat Orang Papua
Tentang Perlidungan dan Pelestarian Budaya Papua

Agar kami Dapat menggenggam kebebasan hidup
Sembari Nikmati Mentari pagi 
Diatas Bumi Cederawasi 
Tanpa tekanan kekerasan 
Dibalik Perangkap sistim Penjajahan 

Nyawa Rakyat Papua 
diujung Sengsara 
Mandulnya Legirlator Papua
Seakan menyuburkan Pembantaian 

Dari Puncak Kepunahan Kami Berseru
Hai MRP Apakah Kau Buta
Dimana suaramu
Disini Anak Adat Papua 
Terperangkap Laras M 16

Sang Penyambung Lidah Rakyat Papua 
Ngoceh kala HAM Berat Terjadi
Namun sayang hanyalah kata
Yang kian berlalu

Mengapa Eksekuti Papua Membisu
Saat Timah Panas Aparat Keamanan 
Menembus tubuh rakyat Papua
Saudara kandungmu sendiri 
“Kritikanmu Adalah Pelitaku”
Oleh: Emanuel Gobai SH, Penulis adalah Senioritas Yang tinggal di Yogyakarta
====================================

Sumber:http://taringpapua-news.blogspot.com/
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar