Ilustrasi Perempuan West Papua |
Oleh: Alm. Imanuel Goubo Goo*
Kata
gender banyak diperbincangkan bahkan telah masuk dalam perbendarahan
kata di setiap diskusi bahkan konsep ini telah aplikasikan dalam bentuk
tulisan dalam koran, poster dan buku. Apa sebenarnya pengertian gender
dan mengapa gender banyak didiskusikan bahkan harus menjadi wawasan
dalam kegiatan pembangunan.
Gender adalah ciri atau sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun
perempuan yang dikonstuksional secara sosial dan kultural (Faqih
Mensoer, 1996). Gender bukanlah perempuan. Gender berkaitan dengan peran
apa saja yang dianggap wajar bagi laki-laki dan peran apa yang
dianggap wajar bagi perempuan. Karakteristik yang dianggap khas
perempuan dan laki-laki tersebut merupakan hal-hal yang telah ditanamkan
melalui sosialisasi. Maka dengan adanya konstruksi sosial dan budaya
maka mestinya jender dapat berubah, diubah atau dipertukarkan.
Berbeda dengan pengertian jenis kelamin (seks), yang adalah merupakan
kategori perempuan atau laki-laki yang dibawa sejak lahir, sering di
sebut sebagai ketentuan ilahi atau kodarat sehingga tidak dapat di
pertukarkan satu dengan yang lainnya.
Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terbentuk
melalui sosialisasi, diperkuat dan dikembagakan baik secara sosial,
kultural, maupun ajaran keagamaan, bahkan oleh negara sehingga sering
dianggap bahwa ketentuan gender tersebut tidak dapat di rubah karena
diannggap sebagai ketentuan sewajarnya (T.O. Iromi)
Masalah Perempuan dalam Budaya Papua
- Pembagian Peran Gender
…
Pagi hari, ketika matahari belum terbit, ibu-ibu sambil
menggendong/menyusui anak, sibuk memasak ubi/betatas atau keladi di
dapur. Ibu-ibu sibuk memberi makanan ternak (babi dan ayam) dan
mengeluarkannya dari kandang. Sementara itu laki-laki masih hangat
diperaduannya atau ada yang sudah bangun membuat perapian untuk
menghangatkan tubuhnya sambil bercerita.
Selanjutnya, kaum ibu bersiap-siap untuk pergi ke kebun. Kala matahari
condong ke Barat, ibu-ibu pulang menggendong anak dan memikul hasil
kebun untuk dikomsumsi keluarga, untuk makanan babi, maupun untuk
dijual ke pasar. Karena sekarang ibu-ibu juga harus mencari uang untuk
membayar sekolah anak-anak ataupun membeli keperluan rumah tangga.
Lalu ke mana laki-laki di saat kaum perempuan berangkat ke kebun? Ada
sebagiaan laki-laki pergi ke kota dari pedalaman, ada yang pergi ke
kantor desa untuk mengurus “masalah/perkara” atau ada juga yang pergi ke
kebun disaat sedang pembukaan lahan baru.
::::
Masyarakat Papua umumnya telah menetapkan karakteristik laki-laki dan
perempuan (gender) berdasarkan nilai-nilai budaya yang dianut, termasuk
di dalamnya adalah peran apa yang harus dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan, serta sumber daya apa saja yang dapat dijangkau dan dikontrol
oleh laki-laki dan perempuan.
Pada zaman dahulu, peran tradisional laki-laki dan perempuan dikatakan
cukup seimbang. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang
sama beratnya. Laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan politik
(perang, membuat negosiasi dengan musuh, menggelar perdamaian), menjaga
keamanan kampung, mengawal/menjaga perempuan di kebun, mengurus upacara
adat, menyiapkan ladang baru, dan mencari kayu bakar, berburu,
berdagang. Perempuan bertanggung jawab terhadap pencariaan makan di
kebun, menyiapkan makanan bagi keluarga, mengurus ternak babi, mengurus
anak-anak dan pekerjaan rumah tangga serta membantu laki-laki dalam
menyiapkan upacara adat.
Saat ini, setelah adanya akulturasi (kontak budaya) dengan dunia luar,
peran-peran tersebut berubah. Sebagian besar peran laki-laki berkurang
atau hilang, seperti urusan perang, menjaga keamanan, dengan adanya
teknologi baru yang diperkenalkan. Dengan demikian saat ini laki-laki
memiliki banyak waktu luang.
Dengan demikian, di satu sisi laki-laki bertangan kosong karena
perannya berkurang/hilang. Di sisi lain perempuan memiliki beban kerja
yang cukup berat. Laki-laki dikatakan pada kondisi yang sedang
“kebingungan” untuk mengisi kekosongan perannya. Bahkan bisa dikatakan
laki-laki Papua dari daerah pegunungan, saat ini sedang berada pada
tahap kehilangan identitas (mempertanyakan keberadaan dirinya). Dapat
dibilang bahwa pada saat ini telah terjadi ketimpangan/ketidakadilan
dalam pembagiaan peran antara laki-laki dan perempuan yang berada pada
posisi yang berbeban berat.
- Profil Akses dan Kontrol
Pembedaan gender dalam masyarakat Papua sangat dipengaruhi oleh budaya
patriarki. Patriarki merupakan kekuasaan bapak (kaum lelaki) yang
mendominasi, mensubordinasikan, dan mendiskriminasikan kaum perempuan.
Segala bidang terpusat pada laki-laki, perempuan memiliki peran untuk
mengurus pangan, ternak, anak, dan pekerjaan rumah tangga (urusan
domestik). Sedangkan segala urusan publik berada di kaum lelaki.
Perempuaan kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat.
Perempuan menghasilkan hampir 80% kegiatan produktif (pertanian dan
peternakan), namun kontrol terhadap hasil tersebut ada di tangan
laki-laki. Kondisi ini sama, baik sebelum ada kontak dengan dunia luar
maupun saat ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa kini dominasi/tekanan
laki-laki terhadap perempuan lebih kuat sebagai kompensasi dari keadaan
lelaki yang sedang kehilangan identitas diri.
- Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Ketimpangan Gender
Ada dua faktor penyebab terjadinya ketimpangan gender, yakni pertama, budaya masyarakat sendiri dan kedua, kontak dengan dunia luar. Penyebab pertama, antara lain: (a) budaya
patriarki, yakni segala bidang kehidupan terpusat pada kekuasaan
laki-laki; (b) budaya denda, yakni segala persoalan dalam masyarakat
harus diselesaikan dengan pembayaran denda uang/babi. Kaum perempuan
dituntut untuk dapat menghasilkan banyak uang/babi untuk
keluarga/kerabatnya; (c) sistem pembayaran mas kawin, yakni laki-laki
membayar mas kawin terhadap pihak perempuan yang disertai dengan
sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perempuan tersebut; (c)
sistem keluarga besar, yakni seorang perempuan tidak hanya milik suami
atau anaknya tetapi juga kaum kerabatnya, sehingga kaum perempuan pun
juga harus memberikan/memperhatikan kaum kerabatnya; (d) keterpisahan
hidup perempuaan dan laki-laki, yakni dalam pemisahan tempat tidur dan
kelakuan saling menghindar antara laki-laki dan perempuaan. Karena takut
akan bahaya yang disebabkan oleh kaum perempuaan, laki-laki harus
melindungi dirinya dengan tabu-tabu; (e) pandangan atau nilai bahwa
perempuan adalah lambang kesuburan, yakni hal ini sering dimanfaatkan
kaum lelaki untuk memperoleh harta lebih banyak dan kebun yang luas dan
melimpah; dan (f) tabu, yakni laki-laki dianggap tidak pantas
mengerjakan tugas yang selama ini dianggap sebagai tugas perempuan dan
lainnya.
Penyebab kedua adalah kontak dengan budaya luar, antara lain: (a) pendekatan,
yakni pendekatan dalam pengenalan religi baru yang cenderung
mengganti/membuang unsur-unsur agama asli; (b) sistem politik, yakni
saat ini laki-laki tidak perlu setiap saat dengan tombak/anak panah
untuk perang/menjaga keamanan kampung; (c) perubahan sistem ekonomi dari
tribal ke ekonomi pasar, yakni banyak produk yang ditawarkan, kebutuhan
menjadi meningkat dan kaum perempuan harus bekerja lebih keras lagi
untuk bersaing dalam sistem ekonomi ini untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya; dan (d) teknologi baru, yakni adanya teknologi yang
diperkenalkan, yang cenderung menolak laki-laki.
Masalah Kesehatan Perempuan Papua
- Gizi Perempuan dan Anak
Perempuan Papua bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan produktif,
reproduktif dan mendukung suami dalam peran-peran sosial. Peran
produktif yang harus dilakukan memahami hampir seluruh waktunya setiap
hari. Karena situasi tersebut masyarakat Papua (pegunungan/pedalaman)
memiliki pola makan dengan frekuensi hanya 2 kali sehari saja, kerena
ibu sebagai penyedia makanan sepanjang hari berada di kebun.
Di samping itu diskriminasi/pembedaan gender yang ada menyebabkan
terjadinya pola distribusi makanan yang tidak seimbang di mana perempuan
selau mendapat jatah makanan yang sedikit dibandingkan laki-laki,
sekalipun perempuan harus mengeluarkan energi yang banyak untuk bekerja.
Sebagian besar perempuan dan anak-anak mengalami kekurangan gizi
kronis.
- Penyakit Menular Seksual (PMS)
PMS ditemukan semakin meningkat. Kira-kira 80% mengidap jenis penyakit kelamin seperti syphilis, gonorrhoe, klamida dan
lainnya. Beberapa informasi dari lapangan juga ditemukan bahwa
sebenarnya banyak orang yang menderita penyakit tersebut namun banyak di
antara mereka yang tidak mau berobat di rumah sakit/puskesmas,
melainkan datang secara pribadi ke petugas yang dikenal atau membeli
obat sehingga tidak tercatat secara resmi.
- Dampak Program KB
Ada kegelisahan masyarakat Papua berkaitan dengan alat kontrasepsi.
Perempuan belum memahami bahwa program KB ini lebih mengarah pada upaya
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat terlanjur mamahami bahwa program KB
sama dengan pembatasan jumlah anak, padalah berkaitan dengan kasus di
atas, masyarakat sedang berpikir bagaimana cara meningkatkan kesuburan.
Oleh sebab itu dewasa ini ditemuakn beberapa kasus perpecahan rumah
tangga yang disebabkan oleh karena istri ikut program KB tanpa
sepengetahuan suami. Atau, karena kecewa setelah 3 tahun ikut KB tetapi
selanjutnya tidak bisa mendapat keturunan, padahal perempuan itu masih
dalam usia produktif.
- Masalah Aborsi
Di Papua setiap tahun terjadi sekitar 11.000 tindakan aborsi/tindakan
pembunuhan terhadap janin. Dari jumlah itu, 5.000 dilakukan paramedis,
2.000 oleh dukun, aborsi ala spontan 1.000 kasus dan aborsi dengan
bantuan obat-obatan 3.000 kasus. Dari 11.000 kasus aborsi 56% sekitar
6.160 kasus dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa (baca tabloid Suara
Perempuan edisi No. 4 Tahun I 13-26 September 2005).
- Kekerasan Laki-laki Terhadap Perempuan
Kasus kekerasan terhadap istri masih banyak terjadi bahkan semakin
meningkat. Adat seharusnya telah mengatur perlindungan herhadap
perempuan dengan diberlakukannya denda bila terjadi seseorang
mengeluarkan dara akibat pukulan. Namun perlindungan adat itu sudah
tidak mempan lagi untuk kasus kekerasan suami terhadap istri.
- Menemukan Masa Remaja Selah Berkeluarga
Kasus perkawinan pada usia muda yang kini masih terjadi, telah
menimbulkan berbagai masalah dalam keluarga. Pertumbuhan anak perempuan
meloncat dari anak-anak ke dunia rumah tangga, sehingga mereka akan
menemukan masa remajanya di kala sudah berkeluarga. Banyak di antara
mereka yang menyadari bahwa mereka memiliki pasangan yang tidak cocok
(karena pilihan orang tua atau pilihan sendiri) di kemudia hari. Hal ini
menimbulkan persoalan perpecahan keluarga seperti perceraian, perempuan
tersebut akan lari dengan laki-laki lain atau sebaliknya.
- Industri Seks Tersembunyi
Trend seks tersembunyi alias terselubung semakin berkembang di Nabire
dan Papua pada umumnya. Yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak
perempuan hingga remaja putri, baik siswa sekolah maupun tidak. Banyak
ditemukan bahwa di antara mereka sebagian besar adalah masyarakat yang
migrasi dari desa ke kota, baik untuk keperluan melanjutkan sekolah
ataupun untuk bekerja. Kegiatan seks komersial secara tersembunyi
tersebut juga ditemukan telah mulai menyebar di beberapa daerah
pedalaman yang telah dijamah oleh industri-industri perkayuan, gaharu,
proyek-proyek jalan trans, daerah pendulangan emas dan lain-lain. Hal
ini merupakan salah satu dampak negatif proses pembangunan yang mau
tidak mau pasti terjadi. Persoalannya adalah bagaimana
mengantisipasinya.
- Seks Bebas dan Kekerasan Seksual
Pesta dansa (kewa) yang semakin digemari anak-anak muda, menjadi pemicu
bagi kegiatan seks yang menjadi sarana penularan PMS (penyakit menular
seksual). Bahkan acara tersebut acapkali digunakan sebagai transaksi
seksual.
Akhir-akhir ini juga banyak ditemukan kasus kekerasan seksual (kegiatan
seks tanpa persetujuan/pemerkosaan) terhadap perempuan yang dilakukan
oleh pemuda yang sedang mabuk.
- Akses Perempuan Terhadap Kesehatan
Perempuan mempunyai kesehatan reproduksi yang khusus dan unik kerena
perempuan lebih rentan terhadap kondisi-kondisi tertentu. Ada penyakit
yang lebih sulit dideteksi untuk perempuan. Kesehatan perempuan
mempunyai dampak lansung terhadap kesehatan dan keberlangsungan anak,
namun kesehatan perempuan sering terabaikan dan kurang memiliki akses ke
pelayanan kesehatan sebab kesehariannya menanggung beban kerja yang
berat.
Kesimpulan
Persoalan diskriminasi, subordinasi, dominasi dan apapun namanya dari
lelaki terhadap perempuan ini menanggung beban yang berat sebelah ketika
itu bila kita menimbang. Ketidakadilan sosial inilah yang harus
diperangi dan diubah. Perubahan itu tidak bisa datang dari kamu
laki-laki. Ketidakadilan sosial dapat dibongkar secara sungguh-sungguh
oleh pihak perempuan sendiri, sebab pihak yang diuntungkan (kaum lelaki)
tentu tidak akan berminat mengurangi dominasinya yang terus didapatkan
bahkan sedapat mungkin dilipatgandakan.Emansipasi perempuan Papua harus
bangkit melawan semua ketidakadilan gender.
Oleh: Alm. Imanuel Goubo Goo*) Penulis selama masih hidup adalah Koresponden Tablid Suara Perempuan Papua sekaligus koresponden, Selangkah Wilayah Nabire.
Sumber:http://majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar