News
Loading...

Kemerdekaan Bangsa Papua Merupakan Kewajiban Hukum Negara Indonesia

 foto Ilustrasi :" jendelabastian.wordpress.com
Pendahuluan
Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban yuridis untuk melindungi HAM setiap warga negaranya tanpa memandang latar belakanag sosial, budaya, gender, dan pandangan politik. Dengan mengacu pada realitas wilayah papua yang masih dikoloni oleh Negara Indonesia dan penduduknya masih berstatus sebagai Warga Negara Indonesia maka Hak Asasi Manusia Warga Papua baik Ekonomi, Sosial, Budaya, Sipil, dan Politik merupakan Hak Konstitusi sesuai dengan UUD 1945.

Dalam konteknya pandangan Politik Bangsa Papua untuk melepaskana diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan Negara West Papua yang merdeka dan berdaulat diluar Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya dipandangan sebagai Hak Konstitusi Bangsa Papua dan dalam pemenuhannya wajib dihormati oleh Negara Indonesia, Warga Negara Indonesia (WNI), dan Aparat Negaranya baik Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan bahkan alat negaranya yaitu TNI dan POLRI.

Terkait Hak Politik Bangsa Papua diatas, secara tegas dan terbuka telah dijamin dalam pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pri kemanusiaan dan Pri keadilan”. Penegasan itu secara lugas telah menunjukan bahwasannya Negara Hukum Indonesia turut mengakui dan menjamin terimplementasinya prinsi-prinsi HAM secara internasional yang mulai disahkan secara internasional pada tanggal 10 Desember 1948 bersamaan dengan berdirinya Perserikan Bangsa Bangsa.

Reformasi 1998 telah memberikan ruang bagi penghargaan dan peghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Negara Indonesia secara praktis dengan diberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan, seperti :
1. UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
2. UU Nomor 39 Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia
3. UU nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi manusia
4. UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Ekonomi Sosial Budaya
5. UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Sipil dan Politik

Selain itu untuk menjamin HAM yang telah ditetapkan secara legal diatas dalam penegakan hukum, khusus bagi institusi kepolisian telah diberlakukan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dalam melaksanakanak Tugas-Tugas Kepolisian.

Dengan diberlakukannya beberapa peraturan perundang-undangan diatas secara jelas-jelas memberikan dasal legal bagi Perjuangan untuk Pemenuhan Hak Politik Bangsa Papua. Walaupun telah ada jaminan hukum terhadap Hak Politik bagi Bangsa Papua dan perjuangannya namun sampai sekarang masih saja terjadi pelanggaran HAM diatas ribuan pelanggaran HAM masa lalu yang belum mampu diselesaiakan oleh negara Indonesia, kondisi itu hanya memberikan gambaran buram dalam konteks pengharagaan dan perlindungan terhadap HAM secara internasional di dalam Negara Indonesia.

Dengan status Indonesia sebagai Negara Hukum, negara telah menetapkan Kepolisian Republik Indonesia petugas penegakan hukum. Dalam mengimplementasikan tugas pokok dan tanggungjawab Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) sangat jauh dari tugas pokoknya dan justru keberadaan mereka diseluruh wilayah papua menjadi ujung tombak pelanggaran HAM Berat, disamping itu banyak diantara mereka yang memanfaatkan jabatannya untuk menjalankan bisnis pribadi (ingat kasus Labora Sitorus) dan juga kelompok (perusahaan keluarga anggota polisi) diatas sekian jutaan rupiah yang terus diberikan perusahaan dan negara untuk menjamin kenyamanan beroperasi kegiatan tambang (Dana PAM) dan juga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (kolonialsime). Diatas kenyataan itu Negara Indonesia memanfaatkan peran legalnya di mata Internasional untuk mengarahkan TNI agar terus melakukan pelanggaran HAM Berat terhadap Bangsa Papua hingga kini orang papua mulai berkurang.

Berdasarkan kenyataan objektif itu maka secara bulat dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia secara struktural dan sistematik sudah, sedang, dan akan melakukan pelanggaran HAM Berat terhadap Bangsa Papua dan terus merapok Kekayaan Alam diatas Ulayat Bangsa Papua. Selain itu Indonesia sebagai negara hukum telah melakukan pelanggaran UUD 1945, dan beberapa UU diatas, artinya Negara Indonesia dan Aparat Penegak Hukumnya telah melakukan Pelanggaran Hukum dan HAM secara terang-terang. Melalui kenyataan itu, dengan jelas-jelas telah menunjukan bahwasannya status negara Indonesia adalah Negara Kekuasaan dalam konteks implementasi Hukum di Seluruh Wilayah Papua.

Indonesia Sebagai Negara Kekuasaan (Machtstaat) Di seluruh Wilayah Papua
Berdasarkan sikap dan tindakan Negara Indonesia sejak pertama kali mengkolonisasi wilayah Papua pada tahun 1963 – 2013, Negara Indonesia menutup ruang bagi penghargaan HAM Bangsa Papua khususnya Hak Politik atau Hak Untuk Menentukan Nasib Sebagai Suatu Bangsa Yang Merdeka Dan Berdaulat Dimuka Bumi Ini Yang Dijamin Dalam Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia.

Untuk membendung Hak Politik Bangsa Papua Negara Indonesia melakukan pendekatan militeristik yang struktural dan sisitematik dengan diberlakukan “Sistim Binominal” dimana Panglima Daerah Militer (PANGDAM) dan bawahannya di setiap wilayah masing-masing bertindak sebagai kepala pemerintah dan sekaligus sebagai komandang perang, melalui sistim itulah sekian operasi militer dibawah bingkai Daerah Operasi Militer (DOM) dilaksanakan sehingga ribuan Hak Hidup Manusia Papua dicabut begitu saja tanpa adanya pertanggungjawaban, disamping itu Negara Indonesia secara sepihak tanpa melibatkan Bangsa Papua melakukan Kontrak Karya dengan PT. Freeport Mc Morand And Gold Copper perusahaan milik pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 7 April 1967 dengan tujuan untuk merampok tanah ulayat dan kekayaan alam Bangsa Papua yang dilandasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1967 Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pokok Pokok Pertambangan pada saat status Politik Wilayah dan Bangsa Papua masih belum sah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu Negara Indonesia dengan kepentingan ekonomi politiknya atas Wilayah Papua yang kaya raya dan strategis secara geografis melakukan implementasi Perjanjian Internasional tentang New Yoor Agreemend yang keliru dalam pelaksanaan Pleibisit / Self Determincation / Tindakan Pilihan Bebas dimana secara aturan Internasional mewajibkan satu Orang Satu Suara / One Man One soud namun pada prakteknya diartikan dengan mengunakan Musyawara Untuk Mufakat yang terakomodir dalam Dewan Musyawara Penentuan Pendapat Rakyat atau yang istilahakan DEMUS PEPERA yang dilakukan pada tahun 1969.

Negara Indonesia melalui pendekatan pendidikan juga gencar menghilangkan Sistim Budaya Papua dan memaksa Orang Papua menerima Sejarah Nasional Indonesia yang mayoritas terjadi di Pulau Jawa sebagai Sejarah Politik Bangsa Papua, dan Indonesia memaksa orang papua untuk meyakini Ideologi Pancasila serta paham Bineka Tunggal Ika sebagai ideologi. Semua tindakan kebiadaban itu dirancang begitu baik dan diberlakukan secara stategis dan struktural melalui Sistim Kurikulum dan diajarkan dalam bentuk Mata Pelajaran Dan Mata Kuliah Kepada Pelajar Dan Mahasiswa Bangsa Papua. Selain itu secara terang-terang mereka manangkap dan bahkan membunuh Orang Papua yang masih memakai Pakaian Adat dan mengunting rambut dan jenggot secara paksa, disamping itu mereka membentuk Lembaga Masyarakat Adat dan menunjuk seseorang asli papua yang adalah kaki tanggan Negara Indonesia sebagai Tokoh Masyarakat Papua. Semua itu dilakukan Negara Indonesia untuk menghaguskan Struktur Sosial Budaya Bangsa Papua yang telah terbentuk beratus-ratus tahun lamanya.

Dengan dikolonisasikannya wilayah dan bangsa papua kedalam Negara Indonesia selanjutnya Negara Indonesia menerapkan Sistim Pemisahan Wilayah Atministrasi dalam bentuk Propinsi dan Kabupaten / Kota yang secara langsung memisahkan atau bahkan menghapuskan Batas-Batas Wilayah Ulayat Masyarakat Adat Papua yang telah diatur secarah rapih dan diketahui secara umum oleh Bangsa Papua. Diatas kenyataan itu Negara Indonesia mengunakan landasan Konstitusi Tentang “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagai legitimasi untuk menerapkan UU Nomor 5 Tahun 1950 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya Negara Indonesia mengkalim Tanah Ulayat Sebagai Tanah Negara dan memberikan hak pengolahan kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan sistim pemerintahan pada setiap wilayah pemerintahan Propinsi dan Kabupaten / Kota hingga ke tinggkat Pemerintahan Desa dan Rukun Tetangga / Rukun Warga yang hanya memberikan dasar legal untuk menerapkan Sistim Perampokan Tanah Secara Struktural Dan Masif Atas Hak Ulayat Bangsa Papua.

Melalui pendekatan itu juga telah banyak peristiwa pengusuran masyarakat Papua dari wilayah ulayatnya hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi politik Negara Indonesia dengan perusahan tambang dan/atau perusahaan kelapa sawit, dan disisi lain pemerintah mendatangkan masyarakat Jawa / Sumatra / Madura ke wilayah papua melalui Program Transmigrasi dengan tujuan untuk menghancurkan Sistim Budaya Papua dengan Harapan Semoga Ada Proses Akulturasi Yang Kemudian Melahirkan Suatu Budaya Baru Yang Kental Akan Budaya Kebinekaan Demi Menyuburkan Semangat Nasionalisme Indonesia Dalam Jiwa Bangsa Papua.

Sikap Negara Indonesia sebagai negara kekuasaan (machtstaat) semakin nampak kepermukaan pasca reformasi yang sekan-akan memberikan ruang kebebasan berekspresi kepada Pejuang Politik Bangsa Papua dibawah kendali Pemimpin Besar Bangsa Papua Dort Theis Hiyo Eluwai yang dibunuh secara sitematik dan sadis oleh Alat Negara Indonesi yaitu TNI dari satuan Komadan Pasukan Kusus (KOPASUS) sebagai kado TNI pada saat perayaan hari TNI tanggal 10 Nevember 2001 menjadi bukti Negara Indonesia kembali menjadi negara dengan STATUS NEGARA KEKUASAAN diatas sekian perudang-undangan yang lahir untuk menjamin HAM seperti yang disebutkan diatas.

Secara yuridis Negara Kekuasaan Indonesia mulai menunjukan wajah sebagai Negara Kekuasaan Atas Wilayah Dan Bangsa Papua terhitung sejak diberlakukannya UU Nomr 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, secara kongkrit terlihat dimana UU tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah pusat untuk mengatur beberapa hal diantaranya adalah :
• Bidang fiskal/keuangan
• Bidang hubungan luar negeri
• Bidang pertahanan keamanan
• Bidang bidang tertentu yang diatur dalam UU
Berdasarkan kebutuhan dan kebebasan suatu bangsa yang sedang hidup dibawah kolonialisme yang sarat akan penjajagan atas kemanusia dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, beberapa bidang diatas merupakan bagian pokok dari penguatan sistim Penjajahan dan Pengisapan Negara Indonesia atas Hak Asasi Manusia dalam konteks Hak Politik, Hak Sipil, Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Ulayat Bangsa Papua.

Berdasarkan kewenangan diataslah sekarang pemerintah pusat secara sepihak mengundang para kapitalis dan/atau investor dari berbagai belahan negara baik sebagai negara penindas dan juga negara yang tertindas untuk datang menanamkan sahamnnya di Negara Indonesia untuk melakukan perampokan masal atas tanah dan kekayaan alam di tanah papua, sebagai contohnya adalah kasus perampokan tanah oleh Negara Indonesia melalui perusahaan di Merauke dalam Proyek MIFEE dan lahirnya perusahan-perusahan dan Pelebaran Wilayah Perusahan Kelapa Sawit yang dimiliki oleh Kapitalis Internasional dan/atau Indonesia dan bahkan Kapitalis Papua yang sedang menjabat sebagai kepala daerah merupakan salah satu bentuk implementasi dari kewenangan negara dalam bidang hubungan luar negeri demi memenuhi kepentingan Bidang Fiskal, selain itu proses pembubaran Aksi Demonstrasi, Penangkapan dan Pemenjaraan beberapa aktifis dan Pejuang HAM Bangsa Papua dengan mengkriminalkan Pasal 106 KUHP tentang Makar, dan bahkan pembunuhan secara struktural dan stregesis dengan dalil OPM / GPK / Separatis dan bahkan kini oleh Mantan Ketua Detasemen 88 Tito Karnavian (KAPOLDA PAPUA) yang sedang menaikan isu terkait teroris menjadikan potret akan implementasi kewenangan dibidang pertahanan dan keamanan serta bidang-bidang tertentu yang diatur dalam UU.

Ditengah kondisi itu, Negara Indonesia dengan pandangan Keutuhan Negara Kesatuan Indonesia memanfaatkan hubungan bilateral dengan negara tetangga dan bahkan negara sahabat untuk bersama-sama membendung atau lebih tetapnya melanggar hukum Indonesia dan HAM Internasional dalam kontek Hak Politik Bangsa Papua dengan cara memanfaatkan fungsi ABRI untuk mengawasi wilayah perbatasan dan perairan yang dengan sendirinya membuka ruang bagi efektifitas implementasi Bisnis Militer dimana ABRI menjalankan Proyek Pertanian dan Perkebunan yang bekerjasama dengan Departemen Pertanian dan Departemen Perkebunan yang dilandasi dengan adanya hubungan kemitraan dengan perusahan-perusahaan pengolahannya hasil pertanian dan pekebunan sebagai penampung hasilnya yang semuannya dilaksanakan di wilayah perbatasan yang telah / sedang / akan merampok lagi tanah ulayat masyarakat setempat. Selain itu ABRI dalam semangat menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Indonesia diwilayah perairan kini seakan mendapatkan dasar legal baru dalam usaha pengawasan perairan wilayah-wilayah pesisir serta pulau-pulau terluar telah sukses membagun jalinan mesrah dengan nelayan-nelayan asing yang berkebangsaan Tailand, Jepang dan lain-lain yang masuk diwilayah ASEAN telah sukses mencuri sekian kekayaan bawah laut seperti Ikan Hiu, dan Ikan-ikan lainnya dan bahkan mengambil dan merusak terumbu karang akibat penggunaan pukat harimau dan bom untuk menangkap ikan dilaut, seperti yang terungkap dimana ada beberapa nelayan asing yang ditanggkap Polisi Adat Papua yang sedang menangkap ikan hiu untuk diambil siriknya di perairan raja empat papua.

Selain diwilayah perbatas dan perairan kini Indonesia dengan mengunakan Program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diketuai oleh seorang purnawirawan TNI yang memiliki sejarah hitam di Aceh pada waktu pra Perdemaian Helsinki dan Sesudah Perdamaian Helsinki yaitu Bambang DarmonoPapua untuk memudahkan tindakan pelanggaran HAM atas Bangsa Papua sembari membuka lagi ruang bagi hadirnya Kapitalisme baru yang akan menjajah dan menghisap Bangsa Papua dan merampok hak ulayat guna menyedot kekayaan alam Bangsa Papua.

Kini Negara Indonesia sedang berupaya mengodok UU OTSUS Plus sebagai solusi untuk mengantikan UU 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua yang akan berakhir pada tahun 2031, atau justru akan digunakan sebagai solusi kongrit untuk menjawab desak desus Perjuangan Politik Bangsa Papua yang kian hangat ditingkat internasional saat ini. Terlepas dari itu, isu Dialog Jakata Papua yang digodok oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Jarigan Damai Papua dibawah kordinator Muridan W.S dan Pastor Dr. Neles Tebai, Pr yang telah menyimpulkan 4 hal sebagai pokok persoalan dipapua yaitu :
1. Sejarah Politik Papua
2. Persoalan Pelanggaran HAM
3. Pemerataan Pembangunan
4. Kesejahteraan Rakyat Papua
Sebagai bahan utama perbincangan dalam Dialog Jakarta Papua, yang akan dimediatori oleh pihak ketiga netral sebagai perwujudan dari “Kosep Rekonsiliasi” yang dikembangkan oleh Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu dan Almarhuma Nelson Mandela untuk menghilangkan politik apartheit penjajah antara warga kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan.

Di tengah bawah bayang-bayang Kolonialisme Indonesia atas wilayah dan Bangsa Papua, dan diatas penindasan dan penghisapan Negara Indonesia atas Bangsa Papua dan kekayaan alamnya serta solusi pemecahan masalah papua dalam konteks Politik Kepentingan Indonesia dan Politik Pengembangan Ideologi Teologi Pembebasan serta pengembangan ilmu oleh intelektuan tukang Indonesia yang selalu bekjerja untuk menguatkan penindasan atas manusia di Tanah Papua dengan cara memberikan kajian ilmiah dari hasil penelitan-penelitian yang dibiayai oleh fanding milik negara soper power yang adalah pemilik dan pendukung sukses Sistim Imprealis yang terus menyuburkan kapitalisme diatas pengisapan kekayaan alam dan manusia Papua masih ada Generasi Muda Papua yang berpendidikan dan meyakini Nasionalisme Papua yang bersumber dari Adat Papua sebagai ideologis dan berdiri diatas prinsip-prinsip HAM Internasional secara objektif meyakini bahwa Papua Adalah Suatu Bangsa Tersendiri Dimuka Bumi Ini Selalu Memperjuangkan Pemenuhan Hak Politik Bangsa Papua Dengan Jalan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Yang Bermartabat Atas Nasib Politik Bangsa Papua.

Hak Menentukan Nasib Bangsa Papua Sebagai Solusi Demokratis

Dengan berdiri diatas solusi Penentuan Nasib Sendiri sebagai sarana efektif untuk menyelesaiakan Persoalan Politik Bangsa Papua yang telah terjadi sejak awal tahun 1960 – 2013 ini maka untuk mewujudkannya perlu langkah-langkah yang efektif dan juga sesuai dengan mekanisme internasional seperti yang dijamin dalam peraturan hukum yang beralaku secara internasional.

Terkait implementasi Penentuan Nasib Sendiri Di Tanah Papua sudah pernah dilakukan namun dalam pelaksanaannya sarat akan sandiwara politik kepentingan, baik oleh Amerika Serikat Atas Hak Pengolahan Kekeyaana Lama Di Tanah Papua dan juga Negara Indonesia yang ingin menguasai Wilayah Papua demi Menghidupkan Generasi Penerusnya Dengan Menjadikan Kekayaan Alam Papua Sebagai Lumbung Harapan Dan Hidup Indonesia Dimasa Depan sehingga dalam pelaksanaannya terlihat Proses Pengkebebirian Hak Politik Bangsa Papua dengan pendekatan militeristik yang dijamin dalam sistim binominal yang membungkam ruang demokrasi bagi bangsa papua.

Demi pemenuhan atas Negara Hukum Indonesia yang telah diatur dalam Konstitusinya serta peraturan perundang-undangan bawahannya yang telah ada untuk menjamin Hak Menentukan Nasib Sendiri Setiap Bangsa Didunia, dan melihan tindakana Penjajahan Negara Indonesia atas Wilayah dan Bangsa Papua yang tidak sesuai dengan Pri Kemanusiaan dan Keadilan maka untuk meneguhkan Negara Indonesia sebagai Negara Hukum dan memulihkan Martabat Negara Dan Bangsa Indonesia atas sikap dan tindakannya atas Wilayah Dan Bangsa Papua maka sangat bermartabat jika Negara Hukum Indonesia yang melaporkan kepada Dunia Internasional melalui Perserikatan Bangsa Bangsa untuk diadakan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua.

Selanjutnya untuk mewujudkan solusi yang bermartabat dan sesuai dengan Prisip Demokrasi dan HAM Internasional maka Perserikatan Bangsa Bangsa wajib membuka kembali Sidang Umum Tentang Laporan New York Agreemend 1969 yang telah terimplementasikan secara tidak maksimal dan penuh akan pelangaran Hukum Internasional dan bahkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Internasional agar penyelesaian status Politik Bangsa Papua tidak hanya menjadi isu internasional saja tetapi menjadi agenda internasional demi memperbaiki “Sejarah Hitam Perserikatan Bangsa Bangsa atas Nasib Politik Bangsa Papua di Muka Bumi”.

Dengan dijadikannya Agenda Internasional kemudian Perserikatan Bangsa Bangsa memberlakukan kembali “Status Quo Atas Seluruh Wilayah Papua” dan mengembalikan Semua Perangkat Negara Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di Tanah Papua dan memberlakukan kembali UNTEA dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa secara langsung demi mewujudkan pri kemanusiaan dan pri keadilan sembari memulihkan dan meletakan Perserikatan Bangsa Bangsa pada posisinya sesuai dengan semangat Deklarasi Internasional Tentang Pokok Pokok Hak Asasi Manusia.

Dengan bersandar pada kenyataan sejarah kebiadaban dan penuh penyumbatan ruang demokrasi atas dasar kepentingan ekonomi politik diatas, maka untuk mewujudkan situasi ruang demokratis yang bermartabat tanpa tekanan apapun dalam mengimplementasikan Hak Menentukan Nasib Sendiri maka Negara Indonesia wajib menarik seluruh alat keamanan negaranya yaitu TNI dan Polri baik oranik maupun non organik dari seluruh tanah papua.

Perserikatan Bangsa Bangsa melalui UNTEA yang baru selanjutnyan membentuk dan menciptakan ruang untuk diimplementasikan Self Determinacion / penentuan nasib sendiri atas Bangsa Papua sesuai dengan amanah New Yoork Agreemend dan merupakan prinsip demokrasi internasional dan pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia secara Internasional.

Kemerdekaan Bangsa Papua Adalah Pemenuhan Negara Hukum Indonesia
Dengan bersandar pada kenyataan kebangsaan Papua diatas, dan melihat kenyataan Negara Hukum Indonesia yang beralih status menjadi Negara Kekuasaan Indonesia atas sikap dan tindakannya di seluruh wilayah dan atas Bangsa Papua yang dikuatkan oleh kepentingan kapitalis dan kenyataan jeratan sistim imprealisme maka untuk mendapatkan solusi yang bermartabat atas Sengketa Politik Wilayah Dan Bangsa Papua sangat mustahil jika jika sistim militerisme Indonesia masih berkuasa di seluruh Tanah Papua mengingat peristiwa PEPERA tahun 1969 yang kini dijadikan legitimasi Indonesia atas Tanah Papua yang diselegaran dibawah bayang-bayang militerisme sehingga membangkitkan Jiwa Trauma Dalam Diri Bangsa Papua yang mendalam sehingga berujung pada penciptaan ruang demokrasi semu dan penuh akan muatan kepentingan politik Negara Indonesia.

Berdasarkan kenyataan itu maka Negara Indonesia dengan sendiri telah menunjukan sikap Anti Demokrasi, Anti HAM, dan bahkan telah bertindak melanggar UUD 1945 yang merupakan aturan Umumnya sendiri, selain itu Negara Indonesia telah melanggar peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan untuk menjamin HAM Bangsa Papua.

Berdasarkan dengan semangat pemenuhan HAM secara Internasional yang diadobsi Negara Indonesia dalam alinia pertama UUD 1945 yang menegaskan bahwasannya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri kedadilan. Selain itu dengan diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Ekonomi Sosial dan Budaya dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Sipil dan Politik, dimana dalam pasal 1 kedua undang-undang diatas menjamin “Hak Penentuan Nasib Sendiri Setiap Bangsa”. Dengan berlandaskan pada pembukaan UUD diatas dan melihat kenyataan dimana Bangsa Papua yang saat ini secara riel politik sedang dijajah oleh Negara Kekuasaan Indonesia mengharapkan agar Negara Indonesia wajib mematuhi UUD 1945 miliknya sendiri, agar Negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang beradab dan selanjutnya dapat mewujudkan Negara Indonesia sebaga Negara hukum bukannya Negara Kekuasaan.

Berdasarkan Hukum Indonesia dan HAM Internasional yang dianut oleh seluruh Warga Negara Indonesia dan masyarakat dunia maka untuk menyelamatkan Negara Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 maka sudah menjadi Hak Konstitusi setiap Warga Negara untuk melakukan tindakan membela bela Negara Hukum Indonesia secara bersama-sama dengan cara untuk wajib mewujudkan HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI BANGSA PAPUA UNTUK MERDEKA DAN BERDAULAT SECARA POLITIK DIATAS HAK ULAYATNYA atau justru secara kongrikt dan bulat menyatakan KEMERDEKAAN BAGI BANGSA PAPUA demi menyelamatkan Negara Indonesia yang berada dalam kondisi “Darurat Pelanggaran Hukum Dan Pelanggaran HAM Atas Wilayah Dan Bangsa Papua Diatas Kepentingan Kapitalisme Yang Subur Dalam Sistim Imprealisme Indonesia”.
Sumber Facebook : Pedalaman Gunung 

Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar