Oleh : Peuu Mabiipai
Posisi. Rezim Orde Baru Soeharto tidak saja berdiri di atas kematian
ratusan ribu orang tak berdosa yang dibantai selama bulan-bulan terakhir
tahun 1965 hingga 1966, melainkan juga represi terhadap kekuatan
politik yang telah dibangun dan dimenangkan oleh kaum perempuan. Dan
kekuatan tersebut lah yang oleh Orba dikaitkan dengan metafora
penyimpangan seksual serta kebejatan moral.
Kampanye Suharto
setelah kudeta 1 Oktober tak saja bertujuan untuk menghapus jejak
komunisme di Indonesia dan membonceng keresahan massa terhadap
kebijakan Sukarno yang menuntutnya turun, melainkan juga bertujuan
menciptakan pembenaran ideologi bagi berdirinya Orde Baru. Pembenaran
tersebut berdasarkan pada seruan untuk ‘stabilitas nasional’ di bawah
kuasa militer, yang menghendaki politik seksual perempuan subordinat dan
mayoritas laki-laki tumbuh berkembang mendominasi jajaran elit pejabat
dan pimpinan militer untuk menjarah kekayaan negeri. Hingga saat ini
analisa berdirinya negara Orde Baru masih mengabaikan elemen-elemen
seksual yang penting bagi konfigurasi politik Indonesia saat itu hingga
kini.
Pagi hari, 1 Oktober 1965, Headline surat kabar Angkatan
Bersenjata menyatakan Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September) yang dibuat
seolah-olah sebagai bonekanya Komunis, terlibat dalam suatu plot
kejahatan. Tujuannya adalah PKI, yang menurut skenario tentara, hendak
merebut seluruh kekuasaan dan mendirikan suatu kediktatoran berdosa
serta atheis. Pada saat yang sama, cerita-cerita tersebar bahwa Komunis
telah menyiapkan daftar-kematian yang panjang, menyiapkan lubang untuk
membuang mayat-mayat dan sedang merencanakan penyiksaan para korbannya.
Dan secara spesifik, peran sebenarnya dari anggota-anggota Gerwani,
organisasi perempuan yang bersekutu dengan PKI, didistorsi.
Anggota-anggota Gerwani dituding menari telanjang di depan
perwira-perwira yang ditahan sebelum mereka dikebiri dan dibuang ke
dalam lubang. Setelah itu, mereka dikatakan terlibat pesta seks dengan
anggota-anggota PKI.
Padahal mantan pengurus DPP Gerwani,
seperti Umi Sardjono, melukiskan bagaimana para perempuan yang disuruh
menari telanjang di penjara Bukit Duri itu adalah perempuan-perempuan
yang dipaksa melacur, yang kemudian ditangkap hingga dijadikan bagian
dari skenario busuk tentara. Mereka difoto, dan foto-foto itulah yang
kemudian disebar di koran Angkatan Bersenjata, Berita Yudha dan dikutip
koran-koran lainnya. Setiap hari, hingga bertahun-tahun lamanya.
Fantasi semacam ini merupakan satu contoh perencanaan yang berfungsi
untuk memobilisasi laki-laki dalam perburuan hantu yang disebut Komunis.
Dan entah bagaimana awal mulanya, seketika perempuan-perempuan Gerwani
menjadi durjana yang ditangkap paksa, disiksa, diperkosa, dipenjara
semena-mena, hingga binasa. Dengan melukiskan kejadian kudeta dan
pembunuhan para jenderal tersebut sebagai ancaman bagi dua pilar
otoritas: yakni patriarki dan agama, tentara berhasil memobilisasi
dukungan massa.
Di tempat paling timur, di masa kini, perempuan
diperbatasan Papua-Papua New Guinea dipacari tentara Indonesia,
diperkosa, dan ditinggalkan dengan anak-anak tanpa ayah. Tindakan ini
telah menghancurkan masa depan perempuan dua kali: dihancurkan
kemanusiaannya oleh tindakan perkosaan itu sendiri, serta dikucilkan
dari masyarakat akibat tubuhnya yang dianggap tak lagi sakral, sekaligus
dihilangkannya identitas anak-anak yang tak diinginkan tersebut. Inilah
penundukan politik yang sistematis dilakukan di banyak areal konflik di
Papua sebagai mekanisme untuk menghancurkan—bila tidak
memusnahkan—masyarakat asli Papua.
Tentara Kroasia membangun
kamp –kamp konsentrasi tempat dimana tawanan-tawanan perempuan Bosnia
ditahan bertahun-tahun, diperkosa, hingga melahirkan anak-anak non
Bosnia. Tujuannya satu: menghancurkan generasi Bosnia. Di dalam
penjara-penjara Israel, perempuan-perempuan Palestina diperkosa, dipaksa
melahirkan anak-anak non Palestina. Di Jakarta, pada kerusuhan Mei
1998, sebanyak 92 perempuan Tionghoa diperkosa atas dasar sebaran
prasangka sistematis anti-cina.
Di Aceh dan ratusan kota di
Indonesia tubuh perempuan diatur dalam pasal-pasal peraturan daerah,
dirazia, dipermalukan, ditertawakan, demi ukuran moralitas masyarakat
secara keseluruhan. Diberbagai tempat di seluruh penjuru masyarakat,
perempuan terus dijadikan objek seksual, diperjualbelikan, dilecehkan,
diperkosa, tanpa berani atau boleh bicara, semata-mata karena itu salah
mereka.
Dan kita dengan gampangnya mengatakan itu semua bukan
persoalan politik, atau bukan hal mendesak untuk dicarikan jalan
keadilannya?
Melawan sekarang, bukan nanti
Sejak awal
peradaban manusia berkelas, tubuh perempuan sudah dijadikan barang
dagangan, alat pertukaran, dan alat politik. Dimasa masyarakat kapitalis
saat ini tubuh perempuan lebih lanjut dijadikan sasaran kontrol,
eksploitasi, kerja pengabdian tanpa hak, demi akumulasi. Sehingga sampai
detik ini tubuh perempuan adalah arena bagi semua tindak kekerasan,
lapangan pertempuran dari berbagai dominasi kecuali dirinya sendiri:
dominasi relasi kuasa laki-laki dalam patriarki serta dominasi militer.
Dominasi tersebut bisa bertahan karena menjadikan tubuh perempuan
sebagai domain yang pertama diserang, diatur, dikontrol, dijadikan
objek, ditundukkan, hingga dihancurkan.
Dan jika sekarang kita
bicara perlawanan, maka basis material, atau landasan objektif untuk
membangun perlawanan tersebut, sudah tersedia. Melawan kontrol sekaligus
komodifikasi atas tubuh perempuan itulah yang menjadi agenda
perjuangan. Bagaimana agar perempuan menunjukkan dirinya sebagai
perempuan, yang sanggup mengatakan tidak pada setiap tindak kekerasan
atas tubuh dan jiwanya, membangun iklim politik yang membebaskan dan
memanusiakan.
Atas dasar inilah perempuan memiliki kebutuhan
paling besar melawan militer dan politik tentara atas dasar
kepentingannya secara langsung: yaitu kedaulatan tubuhnya, terlebih di
daerah-daerah konflik seperti Papua. Seperti perjuangan memenuhi
kebutuhan perut, perjuangan mempertahankan kedaulatan tubuh juga tak
kalah mendesaknya. Seperti perut yang lapar dan upah yang murah membuat
kaum buruh marah dan harus berpolitik, maka tubuh yang diperkosa dan
diperdagangkan juga membuat kaum perempuan harus marah dan harus
berpolitik.
Ketika perut lapar, upah murah, dan tubuh dijadikan
sasaran kejahatan, maka perjuangan perempuan pun harus menjadi lebih
militan; menolak terus menerus dijadikan korban.
oleh: Peuu Mabiipai
About suarakolaitaga
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
0 komentar :
Posting Komentar