Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian
Warinussy. Foto: tabloidjubi.com
|
Manokwari, -- Direktur
Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan
Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy menilai para pembantu Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah menjatuhkan martabat seorang Presiden
sebagai Kepala Negara dengan menjiplak Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Darussalam untuk dijadikan sebuah draft
Undang Undang Pemerintahan Papua.
"Sebagai salah seorang Advokat Senior
di Tanah Papua, saya benar-benar merasa geli dan heran dengan adanya tindakan
sekelompok orang di sekitar jajaran pembantu Presiden Republik Indonesia
DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang nyata-nyata ceroboh dan bertindak
inkonstitusional dalam upaya meloloskan sebuah draft Undang-undang Pemerintahan
Papua yang dijplak atau copy paste dari Undang-undang Pemerintahan Aceh
Darussalam," kata Christian melalui keterangan tertulis yang dikirimkan kepada majalahselangkah, Jumat, (20/09/13).
Peraih Penghargaan Internasional di
Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada itu menilai, tindakan oknum-oknum
tersebut selain sangat memalukan secara keilmuwan hukum, tetapi juga telah
menjatuhkan martabat seorang Presiden sebagai Kepala Negara yang mungkin
bermaksud baik dalam upaya memperbaiki pola kebijakan negara terhadap orang
Papua. Namun sayang sekali tidak cukup ditunjang oleh penasihat ahli yang
minimal mengetahui standar prosedural dan mekanisme pembuatan sebuah produk
hukum.
"Sebenarnya
jika kita mengkaji secara
baik pasal demi pasal dan bab demi bab dari Undang Undang Nomor 21 tahun
2001
serta konsideransnya, maka seyogyanya para oknum plagiat dis ekitar
Bapak
Presiden itu mau sedikit meluangkan waktunya untuk membaca risalah
pembuatan Undang-undang Otsus Papua yang sungguh monumental dan memiliki
histori yang
khas itu lebih dahulu," jelas Anggota
Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua itu.
Sehingga, kata dia, dengan adanya
pemahaman yang sungguh akan latar belakang sosial-politik dari pada dibuat dan
dilahirkannya Undang-Undang Otsus Papua, maka akan sangat membantu sekali untuk
merumuskan langkah-langkah perubahan berdasarkan amanat pasal 77 Undang-Undang
Otsus Papua tersebut.
"Bagaimanapun rencana perubahan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 77 tersebut haruslah mengacu pada hasil evaluasi yang melibatkan
semua pihak yang berkepentingan baik masyarakat Papua, pemerintah daerah,
pemerintah pusat, pelaku bisnis/investor, LSM, perguruan tinggi serta
kelompok-kelompok resisten bahkan TNI dan POLRI," katanya.
Dengan begitu, lanjut dia, dapat
diperoleh pokok-pokok masalah apa saja yang masih kurang dalam aplikasi dan
realisasi amanat Undang-Undang tersebut dan bagaimana merancang strategi dan
taktik guna memperbaikinya di masa mendatang. Termasuk pula dalam hal apakah
perlu peningkatan status Otonomi Khusus Papua menjadi daerah berpemerintahan
sendiri? Ataukah sebuah otoritas khusus yang luas dan bertanggung-jawab? Ataukah
sebuah cikal bakal federasi misalnya?
Sekretaris Komisi Perdamaian, HAM,
Keadilan dan Keutuhan Ciptaan Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari mengatakan, langkah tersebut sangat
inkonstitusional dan menjadi tidak laku lagi. Karena lembaga representasi
rakyat semacam Majelis Rakyat Papua (MRP) jelas-jelas sudah menyatakan bahwa
solusi atas soal Papua, termasuk kegagalan Otsus itu sendiri hanya bisa
dilalui dengan diselenggarakannya Dialog Papua-Indonesia.
Sehingga, tegas Yan, tentu upaya
segelintir oknum tersebut di atas menjadi sangat tidak tepat,
inskonstitusional, tapi juga membuat persoalan Papua makin runyam ke
depan. (MS)
Sumber : http://majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar