News
Loading...

Penentuan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua

Mahasiswa Papua saat pembacaan Pernyataan Sikap. Foto: BT.
Yogyakarta, -- "Penentuan Nasib Sendiri, Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua," begitu  kata mahasiswa Papua memprotes perjanjian New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962, dan  mendukung dibukanya Free West Papua Campaign di Belanda pada hari ini, mahasiswa Papua di Yogyakarta, dikoordinir Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) turun jalan, hari ini, Kamis (15/8/13), di Malioboro. 

Aksi demo ini adalah salah satu dari serangkaian kegiatan yang digagas AMP komite kota Yogyakarta, diantaranya malam Panggung Seni pada Rabu malam di Malioboro.


Pantauan www.majalahselangkah.com, masa aksi awalnya berkumpul di Jl. Abu Bakar Ali, di utara Malioboro. Kemudian, massa jalan kaki menuju titik Nol KM. Para mahasiswa terlihat menghias tubuh dengan tiga warna; Merah, Putih, dan Biru, tiga warga bendera negara Papua, Bintang Kejora.


"New York Agreement itu cacat hukum, dan  tidak bisa diterima. Orang Papua yang menjadi subyek masalah tidak dilibatkan untuk duduk bersama, membicarakan masa depan mereka. Orang Papua tidak dilibatkan," teriak salah satu mahasiswa Papua yang berorasi.


Mahasiswa memprotes isi New York Agreement, pasal 14-21 yang mengatur tentang penentuan nasib sendiri bangsa Papua yang didasarkan pada praktek Internasional, yakni One Man One Vote, satu orang satu suara. Indonesia yang mendapat kewenangan untuk mempersiapkan PEPERA tidak menjalankan ketentuan itu, dan menggantinya dengan 'Musyawarah,' dimana kurang lebih 800.000 orang Papua kala itu hanya diwaliki oleh 1.025 orang, itu pun ada bukan orang papua yang ikut jadi pemilih dalam PEPERA.


Mahasiswa juga menyoroti perjanjian kontrak karya PT.Freeport yang dibuat tahun 1967, jauh sebelum Papua menentukan arahnya (Papua masih dalam status Quo, atau tanpa kepemilikan). Mahasiswa Papua menilai, perjanjian New York Agreement  yang dibuat tanpa melibatkan orang Papua sebagai subyek dari permasalahan, itu merupakan dasar masalah, setelah aneksasi West Papua oleh RI melalui Tiga Komando Rakyat (Trikora) oleh Ir. Soekarno di Alun-Alun Utara Yogyakarta, 19 Desember 1961, 18 hari setelah Negara Papua dibentuk.


Atas dasar ini, AMP mengeluarkan 3 sikap politik. Pertama, mendesak semua pihak yang terkait untuk mengakui dan memberikan hak  bagi orang Papua  untuk menentukan nasib sendiri sebagai satu-satunya solusi demokatis bagi rakyat Papua. Dua, meminta semua pihak untuk segera mendesak, menghentikan perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara imperialis, seperti Freeport, BP, LNG Tangguh, Mecdo, Corindo, dan yang lainnya di seluruh tanah Papua. Tiga, AMP minta TNI Polri untuk segara  tarik diri dari seluruh tanah Papua, karena merekalah  biang segala kekerasan di tanah Papua.


Aksi diakhiri dengan doa, setelah pembacaan pernyataan sikap. Ratusan mahasiswa Papua pun akhirnya membubarkan diri.


Sementara di Solo, polisi langsung memalang rumah tempat tinggal mahasiswa Papua di Solo yang tengah bersiap untuk menggelar demo, pagi ini, Kamis (15/8/13) sebelum demo dibuat, sehingga demo batal. Majalahselangkah.com belum mengonfirmasi, mengapa pemalangan dilakukan polisi. Namun, narasumber kami menduga kuat, itu dilakukan Polisi untuk menggagalkan rencana aksi  di Solo.


Di Bandung, AMP komite kota Bandung juga menggelar aksi, dengan dasar yang sama; memprotes proses perjanjian New York Agreement yang tidak melibatkan rakyat Papua, dan mendukung pembukaan kantor kampanye Papua merdeka di Belanda. Mahasiswa Papua dalam wadah AMP sepakat, hanya penentuan nasib sendiri debagai sebuah bangsa, dengan  jujur dan demokatislah - yang tidak seperti PEPERA 1969 - solusi terbaik  bagi rakyat Papua Barat.  (AD/BT/MS)

Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment