Perusahaan tambang asal Amerika Serikat salah satu perusahaan asing pertama yang menandatangani UU Penanaman modal pertama 1967 sebelum pelaksanaan Pepera 1969.(Jubi/ist) |
Jayapura, 15/8 (Jubi) -Berulang kali Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Sukarno berusaha mengamankan tujuan merebut Irian Barat di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tetapi gagal. Akhirnya ayah kandung Megawati Sukarnoputri itu mengumumkan mobilisasi militer dan mengancam akan menyerang Irian Barat yang masih diduduki pemerintah Belanda dengan bantuan bekas negara adi daya Uni Soviet.
Pemerintah Amerika Serikat dibawah pemerintahaan Kennedy takut bahwa jika Amerika Serikat menentang tuntutan Indonesia akan mendorong negara itu menuju komunisme. Hal ini menyebabkab Belanda dan Indonesia harus duduk bersama membicarakan masa depan Papua Barat. Kedua negara membicarakan persoalan Papua Barat tanpa melibatkan masyarakat Papua.
Saat itu peralatan militer Indonesia merupakan yang tercanggih dan mendapat bantuan militer dari Uni Soviet, salah satu saingan Amerika Serikat. Politik Perang Dingin antara sekutu Amerika Serikat dan Uni Soviet, dimanfaatkan oleh Presiden Sukarno untuk menekan Amerika Serikat.
Tak heran kalau sejarawan Indonesia dari Universitas Indonesia, Lie Tek Tjeng dalam tulisannya berjudul Politik Securiti Asia-Pasifik ASmenjelaskan, karena Myanmar (Birma) menjalankan politik netral yang mengakui satu China yaitu RRC,
Sikap Menlu AS John Foster Dulles yang mengatakan “netralisme adalah immoral,” menyebabkan AS memusuhi Myanmar maupun Indonesia dan India yang semuanya menjalankan politik satu China dengan mengakui RRC. Belakangan, jaman Presiden Obama, pemerintah AS menolak penjualan pesawat tempur AS ke Taiwan.
Lebih lanjut dikatakan Lie Tek Tjeng pengakuan satu China yakni RRC mengakibatkan AS tidak menyokong klaim Indonesia terhadap Irian Barat (Papua dan Papua Barat). Ini menyebabkan Presiden Soekarno memanfaatkan dunia komunis untuk perjuangan merebut Irian Barat.
Pembicaraan antara Indonesia dan Belanda tentang masa depan Papua menyebabkan lahirnya Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perjanjian ini memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Indonesia untuk mengontrol Papua Barat (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sekarang) setelah masa transisi singkat diawasi oleh PBB lewat UNTEA dari 1962-1963.
Tepat 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia menginjakkan kakinya di Bumi Cenderawasih sambil menyiapkan pelaksanaan tentang penentuan nasib sendiri bagi masa depan orang Papua dengan bantuan PBB selambat-lambatnya 1969.
Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat semakin erat terutama sejak Presiden Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Besar Soeharto. Pemerintahan Orba lebih condong ke negara-negara Barat terutama sekutu Amerika Serikat dan kebijakan investasi asing dengan UU penanaman modal 1967.
Perusahaan pertama yang pertama melakuan penandatanganan undang-undang penanaman modal 1967 adalah perusahaan tambang Amerika Freeport Sulphur, yang memperoleh konsesi untuk lahan yang sangat luas di Irian Barat yang mengandung cadangan emas dan tembaga. Penandatanganan ini berlangsung dua tahun sebelum pelaksanaan penentuan pendapat rakyat atau Pepera 1969.
Di dalam artikel Perjanjian New York (Pasal 18) semua orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri harus dilakukan sesuai dengan praktek internasional. Apalagi orang Papua memiliki pengalaman dalam Pemilihan Anggota Nieuw Guinea Raad pada April 1961 melalui pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung. Partai politik di Nederlands Nieuw Guinea dianggap peninggalan Belanda sehingga tak lagi bisa melakukan aktivitas politik dalam berdemokrasi
Pada 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969 di seluruh wilayah Irian Barat atau West Irian, telah menetapkan sebanyak 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua. Mereka yang menjadi anggota DMP menurut perincian terdiri dari, unsur tradisional(Kepala Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah sebanyak 360 orang dan unsur Orpol/Ormas/golongan sebanyak 266 orang.
Perjanjian New York 1962 memberikan tekanan agar pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri harus sesuai dengan praktek Internasional. Tak digubris dan menjalankan sesuai dengan kebiasaan yang lazim dipakai dalam kebiasaan Indonesia. Antara pemilihan tidak langsung dan pemilihan langsung satu orang satu suara. Tak heran kalau pemilihan Presiden di Indonesia 2014 bisa menjadi gambaran bagaimana pelaksanaan Pepera di tanah Papua. (Jubi/dominggus a mampioper)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Blogger Comment
Facebook Comment