AMP PEPERA GAGAL SOLUSI SELF DETERMINATION ( SCK) |
Nabire, – Rabu, (18/7) ibu Marsia
Giay, pelaku Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Paniai, dalam jumpa
persnya bersama Koalisi Rakyat Papua di Nabire kepada wartawan
menjelaskan apa yang dialaminya saat PEPERA dilangsungkan di Nabire pada
19 Juli 1969 silam.
“Sebelum PEPERA dimulai ada tim yang jalan ke kabupaten-kabupaten.
Mereka di bawah pimpinan Sudjarwo Tjondronegoro. Mereka datang sama-sama
dengan beberapa anggota DPR Propinsi Irian Barat. Tim ini mengadakan
pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan
teknis-teknis pelaksanaan PEPERA. Perempuan tidak diundang waktu
itu,”kata Marsia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, waktu itu ia bersama beberapa orang
mendengar, panitia pembentukan Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) telah
dibentuk. “Kalau saya tidak salah ada sembilan orang panitia. Mereka
adalah panitia pembentukan DMP. Waktu itu, pemuda-pemuda protes, karena
panitia adalah ipar-iparnya bupati waktu itu,” kata perempuan pelaku
PEPERA ini.
“Sebelum dibentuk DMP, ada surat dari Depertemen Dalam Negeri
Indonesia untuk pembentukan DMP. Sedangkan, tentang Realisasi
Pemantapan dan Pengamanan PEPERA, Menteri Dalam Negeri kelaurkan lagi
surat pada bulan Juni 1969. Lalu, untuk cara kerja Panitia
Pembentukan Dewan Musyawarah PEPERA di Kabupaten-kabupaten mereka
keluarkan surat juga,”kata dia.
Marsia mengatakan, ia dan beberapa tokoh ketika itu tidak tahu
tentang isi suranya. Mereka baru mendapat surat itu beberapa bulan
setelah PEPERA dilaksanakan. “Surat-surat itu hanya panitia yang
pegang. Kami tidak tahu apa maksud surat itu. Saya lihat surat itu
beberapa bulan setelah PEPERA. Setelah saya dapat, saya simpan. Tetapi,
sekarang sudah hilang. Saya pindah-pindah rumah jadi sudah hilang
,”katanya.
Kata dia, beberapa orang termasuk dirinya mendengar informasi bahwa
DMP dipilih oleh rakyat. “Kami dengar DMP dipilih oleh rakyat. Tetapi,
masyarakat tidak memilih. Mereka bilang DMP sudah ada. Mungkin mereka
pilih diam-diam. Waktu itu saya dengar saja, mereka yang dipilih itu di
tampung di satu tempat. Ada beberapa pegawai orang Jawa juga menjadi
anggota DMP. Ada yang namanya saya ingat, pak Fachrudin dan
Saifuddin,”paparnya.
“Di tempat penampungan, ada beberapa perempuan dari Jawa.
Perempuan-perempuan itu tinggal bersama-sama dengan tokoh-tokoh Papua di
penampungan. Makanan untuk mereka disiapkan nasi, supermi dan saures
(sarden:red). Supermi dan saures adalah makanan baru yang enak waktu itu,” jelasnya.
Perempuan yang pada tahun 2001 menjadi saksi PEPERA di Belanda itu
menjelaskan, orang-orang yang menjadi DMP saat itu tidak bisa berbahasa
Indonesia. Mereka lebih banyak menguasai bahasa Belanda. “Mereka tidak
bisa bahasa Indonesia jadi diajari oleh pegawai-pegawai dari Jawa.
Setiap malam mereka diajarkan bahasa Indonesia,” kata pegawai lurah itu.
Ia bersaksi, PEPERA di wilayah Paniai di laksanakan di Nabire pada
tanggal 19 Juli 1969. Mereka yang hadir adalah utusan khusus PBB Dr.
Fernando Ortiz Sanz dan para undangan lainnya. Ketua Pelaksana PEPERA
adalah Sudjarwo Tjondronegoro. “Saya ingat, PEPERA di Paniai dilakukan
di samping kantor Bupati Nabire sekarang. Dalam jadwalnya, PEPERA
diawali di Merauke pada tanggal 14 Juli 1969. Tanggal 16 Juli 1969
digelar di Jayawijaya. Selanjutnya, di Fak-fak tanggal 23 Juli 1969.
Di Sorong, tanggal 26 Juli 1969. Di Manokwari, tanggal 29 Juli 1969. Di
Biak tanggal 31 Juli 1969. Dan, PEPERA diakhiri di Jayapura tanggal 2
Agustus 1969,” kata dia.
“Pada hari pelaksanaan PEPERA di Paniai, ada 175 orang saja.
Padahal, saya ingat jumlah penduduk di Kabupaten Paniai saat banyak.
Banyak orang menunggu karena ada informasi bahwa setiap orang memilih.
Tapi, tidak. Saat itu, perempuan yang ikut adalah Ibu Elsi Jacobus
Sawo, Ibu Levina Sajori/Aduari, Nn. Anthonia Pakage, Salina Yoweni
Imbiri, Ibu Ketsia Pakage, Nn. Martha Sahori, N. N. Ruth Latipai, Ibu G.
Dakosta Dawaka, Marcia Giay, Ibu Frederika Gobay, Ibu Diana
Danomira/Korawa, Ny. Juliana Maria Sawo, Ibu Leonora Salomi,
Mailopum/Lohiy, Ibu Maida Tenoje, dan saya sendiri,” tuturnya.
Ia mengungkapkan, yang lain laki-laki semua. Ada juga orang Jawa saat
itu. Saat itu pemuda-pemuda, perempuan, dan beberapa orang tua mau demo
tetapi tidak bisa. Ada tentara banyak dan tidak bisa buat apa-apa. Ada
KOPASANDA, Raider, dan Polisi.
Marsia berkisah, sebelum PEPERA berlangsung, ia melihat ada beberapa
wartawan orang barat dan wartawan Indonesia. Ada juga tentara bersenjata
lengkap mengawasi proses PEPERA. “Saat itu saya duduk sebelum orang
terakhir, di belakang. Mereka semua angkat tangan untuk bicara. Saya
juga angkat tangan. Saat mereka hitung, saya tidak dihitung. Saya angkat
tangan terus. Ada wartawan orang Barat yang membawa kamera itu bilang
kepada panitia tetapi mereka malas tahu. Saya dan beberapa perempuan
angkat tangan waktu itu untuk bicara. Kami mau bicara tidak boleh,”
katanya mengurai.
Selanjutnya, kata dia, mereka, para laki-laki yang angkat tangan itu
diminta untuk bicara. “Semua yang angkat tangan itu bicara sama. Mereka
bilang, kami merdeka tahun 1945. Mereka bilang, kita kumpul untuk apa.
Setelah mereka bilang begitu, mereka lompat-lompat. Ada yang menangis
saat itu. Termasuk para perempuan menangis. Tapi, mereka malas tahu.
Kami takut jadi diam saja,” kata Marsia.
“Mereka buat sangat singkat. Setelah selesai, mereka tanda tangan
semua. Kami beberapa orang tidak tanda tangan. Katanya, mereka mau kasih
barang. Mau kirim supermi dan beras. Sebelum PEPERA dilaksanakan juga,
mereka bagi-bagi supermi dan saures. Beberapa anggota DMP dikasih
radio, gergaji, dan sekap. Mereka juga dijanjikan akan diberi uang.
Selanjutnya saya tidak tahu. Kami pulang dengan menangis,” kata Marsia
dengan mata berkaca-kaca.
Ia mengatakan, setelah beberapa hari kemudian, dirinya dan
orang-orang di Paniai mendengar informasi dari Jayapura, Papua bergabung
dengan Indonesia. “Kami dengar Papua ikut Indonesia. Kami juga dengar,
di luar gedung PEPERA di Holandia (Jayapura:red) banyak orang
Papua yang protes tetapi disapu bersih oleh militer Indonesia dengan
senjata dan neriam, diculik, dibunuh, disiksa, dan dihina-hina. Banyak
orang yang menangis dengar informasi ini. Mulai saat itu, pemuda-pemuda
banyak yang masuk menjadi OPM,” katanya dengan suara menurun.
“Saya telah yakin, kebenaran pasti terungkap. Kebohongan juga pasti
terungkap. Hanya soal waktu. Kalau saya salah bicara atau tipu. Saya
berdosa. Suatu saat orang lain akan tahu bahwa saya tipu. Tapi, kalau
benar. Orang lain akan tahu juga. Satu hal yang membuat saya menangis
hingga saat ini adalah waktu itu tidak banyak pelajar. Tidak bisa
protes. Jadi, mereka bayar harga diri kami dengan perempuan nakal,
supermi, dan saures,” kata Marsia suara tersendat-sendat. (DE/MS/HE/003)
Sumber : http://majalahselangkah.com
0 komentar :
Posting Komentar