News
Loading...

Guru Sibuk Urus Nasib di Kota, Siswa Terlantar

Para siswa SD di Boven Digoel bermain
di salah satu bangunan lama SD YPPK
Santo Isidorus (AJI Papua)
AJI Papua
Tim penulis : Paskalis Keagop, Agapitus Batbual dan Rima Making

Semua sekolah di wilayah Distrik Mindiptana mengalami kelangkaan guru. Banyak guru yang meninggalkan tempat tugas dan pergi mengurus nasibnya di Tanah Merah, ibukota Kabupaten Boven Digoel. Dinas pendidikan kurang memperhatikan nasib guru.
Bagai pinang dibelah dua. Wajah pendidikan di Distrik Woropko sama dengan wajah pendidikan di Distrik Mindiptana. Sebelum Tanah Merah dimekarkan menjadi ibukota Kabupaten Boven Digoel, Mindiptana adalah pusat pendidikan bagi masyarakat Muyu, Mandobo dan Jair/Awuyu  yang kini menjadi wilayah Kabupaten Boven Digoel. Karena dari semua distrik yang ada di wilayah itu: Mindiptana, Woropko, Mandobo, Kouh, Jair dan Bade, hanya Mindiptana yang memiliki tiga SD, dua SMP, satu SMK dan satu SMA. Tenaga pengajar juga terbilang lengkap karena semuanya bertempat tinggal di Mindiptana. Begitupun SD di kampung-kampung yang masuk wilayah Mindiptana dan Woropko. Urusan gaji dan jatah beras, termasuk pengurusan kenaikan pangkat dan golongan bagi guru dan tenaga medis, cukup diurus di Mindiptana.
Kondisi ini beda dengan keadaan sekarang, setelah Tanah Merah dimekarkan menjadi ibukota Kabupaten Boven Digoel. “Secara umum kondisi pendidikan di wilayah Kabupaten Boven Digoel mengalami kemunduran. Roda pemerintahan yang tidak berjalan normal berdampak pada dunia pendidikan. Sebagian besar sekolah di wilayah Distrik Mindiptana tidak ada guru,’ ujar Yovita Warip, Kepala SMP YPPK Yohanes Mindiptana. Kebanyakan guru meninggalkan tempat tugas dan pergi mengurus nasibnya di Tanah Merah, Dinas Pendidikan kurang memperhatikan nasib guru. Proses belajar-mengajar di SMP YPPK Yohanes Mindiptana biasanya dimulai pukul 07.30 pagi diundur menjadi pukul 08.00 pagi – pukul 12.00 siang.
Yovita Warip mengatakan, guru SD dan SMP yang dulu banyak bertugas di wilayah Woropko dan Mindiptana berasal dari lulusan sekolah pendidikan guru (SPG). Tapi setelah SPG ditutup pada 1990 dan sejak itulah seluruh wilayah ini mengalami kelangkaan guru. Orang di sini masih ingat SPG sampai sekarang. Mungkin generasi muda sekarang tidak mau mengajar murid SD di kampung-kampung karena merasa gengsi. Semangat mengajar juga sudah menurun. Banyak guru sekarang yang tidak tahu metode mengajar yang tepat bagi siswa. Akibatnya, mutu kelulusan menurun. Misalnya, setiap tahun 100 persen tingkat kelulusan di SMP YPPK Yohanes, bisa terlihat parah. Nilai kelulusannya di bawah rata-rata.
Saat ini, pemerintah Kabupaten Boven Digoel juga sedang menggiatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), karena proyek. Anak-anak di sini belum siap karena belum terbiasa dengan pola pendidikan usia dini. Kalau Taman Kanak-kanak boleh saja karena tingkat pemahanan bisa terukur. Kami pernah mengusulkan agar Dinas Pendidikan Boven Digoel meninjau kembali program PAUD, dan dinas disarankan sebaiknya memperhatikan sekolah-sekolah yang sudah ada. Seperti pengembangan sekolah, melengkapi fasilitas sekolah dan memperhatikan kesejahteraan dan nasib guru.

“Karena selama ini, jangankan guru honor dan guru relawan, guru PNS saja nasibnya tidak diperhatikan dinas. Apalagi mau ditambah lagi dengan guru-guru tutor untuk PAUD. Tapi saran itu tidak ditanggapi dinas”, ujar Yovita Warip yang bertugas di SMP YPPK Yohanes Mindiptana sejak 1990 hingga kini tidak pernah dipindahkan ke tempat lain.

Sebagian besar guru yang mengajar di SD saat ini berstatus guru tutor, dan hanya kepala sekolah yang PNS. Dan Kepseknya pun lebih konsentrasi mengurus nasibnya daripada mengajar. Kesejahteraan guru kurang diperhatikan pemerintah Kabupaten Boven Digoel, sehingga guru PNS meninggalkan tempat tugas bertahun-tahun tinggal di kota, dan hanya guru tutor atau guru honor Dinas Pendidikan yang kadang bertahan mengajar. Dampaknya, hasil kelulusan SD masuk SMP ada yang buta huruf. “Akhirnya, di SMP kita harus latih mereka latihan membaca dan menulis”, kata Warip.
Setelah lulus dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih Jayapura, Yovita Warip bertugas di Distrik Keppi, kemudian dipindahkan ke SMP YPPK Yohanes Mindiptana pada 1990. Saat mengajar di SMP itu, dia menemukan banyak siswa belum lancar membaca, menulis dan berhitung. Sehingga, proses belajar-mengajar dilakukan lebih banyak menggunakan metode dikte agar siswa lancar membaca dan menulis. Yovita Warip, diangkat jadi Kepala SMP YPPK Yohanes Mindiptana pada 2007. “Setelah jadi kepala sekolah baru saya rasa berdosa, karena kurang mendampingi mereka yang belum lancar membaca dan menulis”, ujar Yovita Warip.
SMP YPPK Yohanes Mindiptana juga lancar menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), jumlahnya setiap tahun tidak sama, karena disesuaikan dengan jumlah siswa. Suatu kali kepala sekolah pernah terima Rp 15 juta, digunakan untuk keperluan sekolah. Uang pendaftaran siswa baru di SMP YPPK Yohanes Mindiptana sebesar Rp 100.000 – 200.000 persiswa, sesuai dengan rincian kebutuhan siswa di sekolah. Besaran biaya ini disepakati dalam rapat orangtua siswa. Dana tersebut biasanya dipakai untuk membayar gaji guru honor dan kebutuhan sekolah sebelum dana BOS cair.
Di Mindiptana ada dua SMP. Sebuah SMP Negeri dan sebuah SMP swasta. SMP YPPK Yohanes Mindiptana memiliki 16 guru. Terdiri dari empat guru PNS dan 12 guru honorer. Sebagian dari mereka merangkap mengajar di SMP Negeri Mindiptana, karena guru kurang. Per 26 Februari 2012 lalu, jumlah siswa SMP YPPK Yohanes Mindiptana sebanyak 139 siswa. Di SMP itu, ada siswa yang berumur 17 tahun. Dia tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Dia lulus dari SD Wanggatkibi. Saat mendaftar ke SMP Negeri, ditolak untuk menerimanya, terpaksa SMP YPPK Yohanes Mindiptana yang menerimanya.

“Sudah lama, kampung itu tidak punya guru. Sehingga, anak yang ingin sekolah pergi ke kampung lain atau ke Mindiptana. Saya ketemu anak itu dan uji dia, apakah dia bisa baca dan menulis. Ternyata tidak bisa. Ini kasus pertama yang saya temukan selama saya jadi guru. Ini SD di dekat kota distrik saja begini, apalagi SD di kampung-kampung terpencil”, ujar Yovita Warip.

Kasus ini, Yovita pernah bicarakan dalam pertemuan besar yang dihadiri para guru SD, SMP, SMA dan SMK se-Kabupaten Boven Digoel di kantor Dinas Pendidikan. “Saya sarankan guru SD tidak boleh tinggalkan tempat tugas, karena banyak anak lulus SD masuk SMP tidak bisa membaca, menulis dan berhitung”, ujar Yovita.
Ada seorang guru SD berstatus PNS (Yovita tidak menyebutkan namanya) yang tinggalkan tugas mengurus nasibnya di kota. Kepala Dinas Pendidikan pernah mengeluarkan surat teguran untuk segera meninggalkan Tanah Merah ke tempat tugas, dan bahkan gaji guru yang bersangkutan ditahan. Tapi tetap saja guru itu membangkang dan tetap tinggal di kota, kuliah lagi (tugas belajar) demi kenaikan pangkat. Akhirnya, sekolahnya ditutup karena tidak ada guru.*

Sumber : http://tabloidjubi.com/?p=12749


Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment