Lima perempuan Papua tampak di depan saat perayaan HUT ke-53 Papua Barat tahun 2014 oleh mahasiswa Papua di Jakarta. Foto: Ist |
Tulisan ini dibuat pada hari anti kekerasan terhadap perempuan tahun 2014 untuk bahan reflektif perempuan-perempuan tanah (Papua).
"...merupakan sebuah sumber kebahagiaan yang amat sangat, untuk melakukan apa pun yang bisa dilakukan bagi negeri kita yang menderita oleh begitu banyak luka, begitu sedihnya jika kita tinggal dan diam mengingkari ini semua...," Minerva Mirabal (1926-1960).
Uraian Minerva di atas sangat menyentuh saya. Minerva "memiliki keteguhan" seperti kedua saudaranya, Maria dan Patria. Tiga wanita terhebat sepanjang masa yang pernah saya kenal dan sangat pantas, jika hari kematian mereka (secara tak wajar, sadis, dan biadab) diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan di seluruh penjuru dunia.
Nah, bagaimana konteks "perayaan" hari anti kekerasan terhadap perempuan di Papua, dalam konteks ketika situasi Papua seperti; (1). Ruang Demokrasi ditutup, (2). Penegakan hukum "dipolitisir", (3). Kebebasan pers ditutup (dan dibungkam), (4). Isolasi seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, (4). Proses "lip service"pembangunan di kedepankan, (5). Proses pembantaiaan etnis (genocida) terus dikedepankan, (6). Gerakan pro-demokrasi dipukul mundur, (7). NGO dibuat "tidur" oleh kekuasaan melalui fund raising (entah dari dalam negeri atau luar), (8). Terus terjadi kriminalisasi aspirasi politik (ada sekitar 70 tahanan politik), (9). Mimbar akademik dan non-akademik untuk mahasiswa di "kencingin" kekuataan militer, (10). Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi OAP dibuat tak berdaya?
Bagaimana perempuan-perempuan tanah (Papua) melihat, merasakan, mengamati, dan menghadapi situasi seperti ini?
Pertanyaan reflektif yang perlu dilahirkan, terutama untuk perempuan-perempuan Papua yang saya kagumi dan banggakan hari ini adalah:
(1). Kaum perempuan mengambil peran apa, bagaimana, dan seperti apa untuk "sedikit" mengatasi "segudang" persoalaan dan kebekuaan "demokrasi" itu?
(2). Siapa aktor yang perlu kita (kaum feminis) lawan, dan bagaimana cara melawan dan seperti apa cara yang (sedikit mendekati) tepat?
(3). Metode taktis atau "jangka" penjang seperti apa yang perlu dibangun?
(4). Jaringan yang dibangun selama ini dengan kelompok-kelompok perempuan di tingkat lokal (Jayapura, dan di setiap Kabupaten/kota seluruh Papua dan Papua Barat), Nasional (Jakarta, Sumatera, Sulawesi, dan Makassar), dan tingkat internasional sudah sejauh mana, dan seperti apa?
Dari pertanyaan reflektif di atas, muncul beberapa "argumentasi" awal untuk menjawab, juga melihat "peluang" untuk berpartisipasi secara aktif?
PERTAMA: Memetakan masalah. Masalah yang saya maksudkan di sini tidak sebatas bicara masalah KDRT, kesetaraan gender, poligami, kesamaan dalam dunia politik atau perdebatan-perdebatan lain yang merupakan perdebatan basi dan sudah sering di degungkan oleh seluruh aktivis perempuan di Indonesia (yang tidak mengalami penindasan dan penghisapan "sejahat seperti kita" untuk saat ini), tetapi perempuan-perempuan Papua bagaimana keluar dari "lingkaran" pembahasan itu dan lebih memfoksukan pada masalah di depan mata, yakni, "Partisipasi perempuan tanah dalam pembebasan nasional bangsa Papua Barat".
Jika ingin memulai pemetaan dengan sedikit baik, coba baca dulu disertasi Budi Hernawan dari Australia National University (ANU) judulnya: "The politics of torture and re-imagining peacebuilding in Papua, Indonesia", bisa didownload dengan klik di sini.
Sobat Budi dalam disertasinya menyusun dengan rapi periode kekerasan di Papua pada "Zaman Orde Lama, Orde Baru, reformasi, termasuk usai Otsus diberikan". Budi merinci aktor-aktor yang paling banyak melakukan kekerasan, seperti TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan menemukan siapa yang paling "terkena" dampak dari "kekerasan" itu, termasuk statistik perempuan dan laki-laki dan bagaimana kelompok-kelompok yang menerima kekerasan "menyikapinya".
Membaca disertasi ini penting, selain sebagai pengetahuaan (data), juga agar kaum feminis mampu memetakan persoalan-persoalan Papua sejak 1969 hingga kini dan bisa dengan mudah "menemukan" jawaban awal dari beberapa persoalan di Papua yang telah saya sebutkan, juga agar 'sedikit' memiliki kemampuan "menyusun" waktu atau era.
Shadia Marbahan, tokoh perempuan Aceh mampu "berkibar" di kancah internasional karena mampu dan sangat-sangat baik memahami Aceh (padahal dia beragama non-nasrani, tapi mampu mempengaruhi Eropa yang mayoritas sedikit "anti" dengan Islam dan jilbab) dan punya kemampuan diplomasi yang cukup bagus, perempuan-perempuan Papua perlu belajar dari Marhbahan.
KEDUA: Setelah memetakan persoalan, memahami masalah dengan baik, mengetahui siapa aktor yang harus dilawan, maka selanjutnya membentuk wadah atau front "persatuan kaum perempuan" untuk melakukan perlawanan.
Aktor yang melakukan perlawanan terhadap kaum perempuan Papua hari ini (menurut saya) bukan suami, pacar, bukan pemerintah lokal Papua (yang dianggap tak akomodir 30% kursi dalam legislatif atau tak berikan jatah di eksekutif), bukan juga sesama aktivis Papua. Tetapi aktor yang perlu dilawan adalah: Negara!
Lebih kongkret, para aktor itu, (1). TNI/Polri, (2). Multi-national Cooperation (perusahan-perusahan asing, juga jika ada perusahan lokal Papua, yang menindas), dan termasuk pemerintahan asing (Amerika, Australia, Inggris, dll, melalui program-program pemberdayaan perempuan yang sebenarnya 'menindas dan membelenggu" perempuan Papua agar tak melakukan perlawanan secara radikal).
Ini tiga aktor, yang penting untuk dilawan oleh "kekuataan" kaum perempuan. Atau kalian bisa memiliki "pandangan" yang berbeda dengan saya terkait aktor yang harus dilawan saat ini. Tidak harus sama bukan?
KETIGA: Temukan metode dan strategi yang tepat untuk melawan aktor-aktor tersebut. Perhitungan secara matang perlu dilakukan dan apa kebutuhan yang paling mendesak untuk "Melawan secara Bersama-sama". Saya melihat, membentuk front (jangka panjang) atau front taktis (sementara) menjadi urgent dan perlu untuk dilakukan.
Front jangka panjang bisa berupa Partai (ini seperti yang dilakukan Marbahan dkk, yang membentuk Partai Sira (dengan satu unit perempuan yang sangat kuat dan matang baik dalam aksi di lapangan, di hutan, maupun diplomasi).
Organisasi yang dibentuk atau entah apa nama "unit persatuan" ini, harus mencerminkan jiwa perlawanan dan semangat melawan para actor-aktor yang telah diidentifikasi tadi. Jika tak melakukan identifikasi secara baik, dikuatirkan hanya bersifat "perjuangan" sementara, artinya tak jauh-jauh beda dengan gerakan-gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya.
Saya memang mendengar, ada banyak organ, ikatan, gerakan, atau kelompok-kelompok perempuan Papua yang terbentuk, tapi sejauh ini saya tak lihat ada aksi "mengorganisir" semua perempuan Papua secara terdidik dan berintelek.
Semua bias, mengerjakan agenda kampus, LSM, pegawai negeri, DPRP/DPRD atau bahkan banyak perempuan Papua hilang ditelan bumi --bahkan ada yang sering melancong ke luar negeri tanpa diketahui tujuan dan arahnya.
Coba bayangkan, jika dalam sebuah "wadah" yang terbentuk nanti, ada perempuan-perempuan hebat (maaf terlalu banyak, jadi saya tak bisa sebut satu persatu).
Coba anda bayangkan, semua ini berkumpul untuk "mengikrarkan" komitmen perempuan tanah (Papua) dalam "sebuah wadah" yang akan komitmen untuk "melawan" untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat. Saya yakin, jika terbentuk, kita pasti merayakan hari anti kekerasan pada 25 November 2015 mendatang dengan sedikit tersenyum, karena perempuan-perempuan dan kontribusi-kontribusi yang sudah diberikan dengan "wadah" tersebut. Sebuah refleksi dihari perempuan, yang memang menjadi harapan dan kerinduan bersama, khusus rakyat bangsa Papua Barat!
Akhir kata, selamat merayakan anti kekerasan terhadap perempuan tahun 2014. Mari kita sampaikan salam hormat sekali lagi kepada Mirabal bersaudara (Minerva, Patria, dan Maria), karena kesungguhan mereka untuk melawan, walau taruhannya nyawa, dan karena telah menjadi insipirasi untuk kaum feminis di dunia!
Allah ninom!
Tanggapan Atas Komentar Publik di Facebook
Saat tulisan di atas dipublikasikan di facebook pada hari anti kekerasan 2014, banyak orang mendiskusikannya. Diskusi berbobot itu saya tanggapi lagi dan dimuat di sini.
Sebelumnya mohon maaf, satu minggu belakangan saya tidak di depan internet (karena memang di sini internet sulit sekali). Saya di kebun siapkan "petatas dan sayur-sayur" untuk bakar batu kemarin di tong pung (kami punya) kampung di bawa kaki gunung Wondivoi. Melalui komentar ini, saya ingin sedikit memberikan catatan tambahan (atau menjawab) beberapa diskusi yang telah berkembang dengan cukup baik atas untuk menanggapi catatan saya.
PERTAMA: Dari catatan di atas, saya hanya ingin menyampaikan empat hal penting (mungkin juga sudah diketahui) untuk teman-teman perempuan Papua yang saya hormat. Empat hal adalah:
(1). Situasi Papua hari-hari ini --seperti 10 point yang saya sampaikan di atas-- sangat-sangat memprihatinkan dan membutuhkan peran serta dari seluruh rakyat Papua - karena bertepat dengan hari anti kekerasan terhadap perempuan, maka catatan di atas saya tujukan kepada teman-teman perempuan.
(2). Situasi tersebut tidak diciptakan oleh orang Papua, apalagi oleh TYME, tapi "diciptakan" oleh penjajah untuk "menguji" kesungguhan dan komitmen rakyat Papua Barat yang selama ini berjuang menuju pembebasan nasional.
(3). Saya mengajukan beberapa bahan bacaan dan juga usulan-usulan kongkret, agar perempuan bisa sedikit berpartisipasi dalam kerja-kerja pembebasan nasional yang kongkret; bukan "mengikuti" irama perjuangan perempuan Indonesia di tingkat Jakarta.
(4). Usulan di atas berangkat dari dinamika gerakan perempuan di tanah Papua yang mengalami kemunduran sangat drastis, padahal bermunculan banyak aktivis perempuan yang "hebat" dan memiliki kapasitas yang mumpuni. Coba anda-anda bayangkan saja, saat ini ada tiga Kepala kantor atau Direktur NGO di Papua yang dipegang perempuan; Anum Siregar (Aliansi Demokrasi untuk Papua), Lien Maloali (Foker LSM Papua), dan Olga Hamadi (KontraS Papua). Hebat dan luar biasa bukan?
KEDUA: Jika ingin serius "membaca" dinamika gerakan perempuan Papua hari ini, maka penting juga untuk memahami dinamika tahun2 sebelumnya; Agar muda membacanya, saya membagix dalam periode atau kurun waktu;
(1). Kurun waktu sebelum kemerdekaan Indonesia dan Papua (1990-1961); Dalam masa ini, ada tokoh-tokoh perempuan yang dikenal luas -walau tidak secara meluas di seluruh tanah Papua. Mereka adalah Mangginomi (1910), Angganeta Manufandu (1938), dan beberapa lagi; Terlepas dari aliran yang mereka "dorong", soal konsep "Tuhan sendiri" di zaman kargoisme, atau kepercayaan akan "sebuah penyelamatan" dari "perwujudkan alam" (mungkin juga gaib), saya tetap berpandangan mereka pantas disebut "tokoh" awal perempuan Papua yang patut kita kenang dan tahu;
(2). Periode Papua dicaplok, atau era Orde Lama dan Orde Baru (1961-1997); Di zaman ini, ada banyak tokoh perempuan Papua yang tampil hebat Corry Ap (1980an) istri dari alm. Arnold Ap, Nelly Mampioper (kalau tidak salah ini istri dari Arnoldus Mampioper), Beatrix Koibur, Fransina Noriwari, Mientje Roembiak, Dina Womsiwor, Yosepha Alomang, Yustina Kapitarauw;
(3). Zaman reformasi cum sebelum Otsus (1997-2001); Di zaman ini kita masih bisa temukan suara-suara dari Veronika Kwalik (istri alm. Jenderal Kelly Kwalik), mama Gobay (istri alm. Thadius Yogi), dan beberapa tokoh perempuan di struktur PDP, seperti Ketty Yabansabra, Yakomina Isir, Ferdinanda Ibo Yatipai, Grace Roembiak, dan;
(4), Periode pasca Otsus (2001-2014). Di zaman ini, teman-teman pasti tahu sendiri siapa tokoh perempuan yang bermunculan, tak perlu saya sebutkan di sini.
KETIGA: Setelah memetakan kurun atau periode "kemunculan" tokoh-tokoh perempuan di atas, maka pertanyaan reflektif yang perlu dimunculkan adalah:
(1). Apakah misi utama "perjuangan" perempuan hari ini sama dengan "yang diperjuangkan" oleh tokoh-tokoh perempuan sebelumnya?
(2). Apakah "perjuangan" perempuan terdahulu bicara isu KDRT, perceraiaan, kesetaraan gender, dan isu-isu umum lainnya yang sama dengan yang diperjuangan perempuan-perempuan di tingkat Jakarta -saya tak mengatakan isu-isu ini tak penting diperjuangkan lho.
(3). Apakah dinamika gerakan perempuan hari ini "memikirkan" perjuangan menuju pembebasan nasional yang sudah diperjuangkan para tokoh-tokoh perempuan terdahulu?
(4). Dan pertanyaan yang paling penting, apakah dinamika pergerakan perempuan hari ini mengalami "kemajuan" atau kemunduruan atau sama saja dengan "perjuangan" tokoh-tokoh perempuan sebelumnya? Apa indikator yang digunakan jika mengatakan maju?
KEEMPAT: Hasil refleksi saya atau jawaban dari point ketiga di atas secara eksplisit sudah saya sampaikan pada komentar awal; bahwa pergerakan perempuan hari-hari ini:
(1). Masih "terkurung" alias putar-putar pada tataran perjuangan isu-isu HAM yang bias, tidak kongkrit dan mengawang-awang --yang jelas sekali terlihat dalam aktivitasnya, yakni, menutup diri rapat-rapat dari perbincangan politik yang sedang diperjuangkan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan atau kelompok yang menginginkan pembebasan nasional bangsa Papua.
Contoh dari point ini, ketika Gerakan Mahasiswa, Pemuda dan Rakya Papua (GempaR), Aliansi Mahasiswa (AMP) di Jakarta, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Gerakan Rayat Demokratik Papua (Garda-P), Front-PEPERA, Parlemen Jalanan, atau organ-organ politik lainnya ketika "bertemu" atau membicaraka hal-hal politik atau ketika melangsungkan aksi adakah yang "aktivis-aktivis" perempuan tergerak untuk membelikan "satu karton aqua" atau tertarik untuk memberikan pencerahan terkait strategi dan metode aksi yang "dirasa" relevan, atau memberikan amusia kepada mereka untuk membeli "bensin" di mobil.
Saya selama ini tidak melihat ini, semua elitis, menutup diri di balik meja, membungkus diri dengan program peningkatan kapasitas dan menyelesaikan raport-raport yang tak "secara besar" mengubah 10 situasi yang sangat memprihatinkan di atas -saya minta pendapat ini tidak dipahami sebagai argumentasi bahwa teman-teman tidak kerja atau tidak berjuang, tolong pisahkan hal itu.
(2). Gerakan perempuan hari ini belum menemukan metode dan strategi yang tepat untuk "memperjuangkan" pembebasan nasional yang sejati: Contoh, aktivis-aktivis perempuan masih tergantung dengan "pekerjaan" atau "pesanan" Komnas HAM perempuan Jakarta, pesanan UN Women atau pesanan-pesanan kerja lain yang tidak kongkret dan (maaf kata), menghabiskan energi teman-teman untuk tidak memikirkan pekerjaan yang metodis dan terarah.
Ini yang diterjemahkan oleh sebagai "sesuatu" yang oleh diri sendiri dianggap bekerja untuk pembebasan nasional, tapi saya rasa sama sekali tidak. Toh, walaupun teman-teman bekerja (sesuai pesanan yang saya maksudkan di atas) secara maksimal, tapi sama sekali tidak mengubah situasi Papua bukan? Tahun-tahun 2000, perempuan-perempuan Papua masih sama-sam jalan kaki ke DPRP demo dengan anak-anak, tahun 2005 juga masih, tapi lima tahun belakangan, sama sekali tak terlihat.
((3). Tokoh-tokoh perempuan hari ini masih "terdogma" pada pengalaman kerja, pengalaman berorganisasi, pengalaman terbang ke luar negeri, dan alasan-alasan yang lain tak logis, dan tak masuk di akal sehat, sehingga "membatasi" diri dari aktivitas politik yang telah saya sampaikan di point satu. Ini membuat "kerja-kerja" tak optimal dan justru jadi cibiran banyak kalangan.
(4). Kalau ada perempuan-perempuan Papua yang tampil belakangan ini, saya anggap mereka "perempuan-perempuan tangguh" yang belajar secara mandiri. Saya tak melihat adanya proses pengkaderan aktivis-aktivis perempuan yang dilakukan secara sistematis. Berbeda dengan gerakan-gerakan pro-kemerdekaan seperti AMP, KNPB, WPNA, WPNCL, GARDA yang secara kongkret melakukan pengkaderan dan pendidikan politik, sehingga "tunas" terus bertumbuh. Saya tak melihat ini pada gerakan perempuan. Kalaupun ada, itu hanya mereka-mereka yang berasal dari gereja dan "LSM-LSM", bukan yang mandiri dan militan.
KELIMA: Dari empat point di atas, saya usulkan (dalam komentar awal), bagaimana kalau secara kolektif atau bersama-sama, atau bersatu padu "memulai" diskusi-diskusi atau "pertemuan" awal, agar hal-hal yang saya sebutkan atau hal-hal yang saya anggap sudah di luar jalur dari tugas perempuan untuk pembebasan nasionall itu bisa sedikit dilurusukan. Tujuannya, "mengambil" peran secara kongkrt agar situasi-situasi yang saya sebutkan di atas bisa sedikit lebih baik.
Ada perempuan-perempuan senior yang bisa menginisiasi. Saya berpikir, ketika kita tua nanti, seseorang tidak kenang kita seperti ini. "Dulu kakak perempuan ini jago buat laporan keuangan, jago kasih materi HAM, jago kasih ceramah, jago bicara di luar negeri."
Tapi kita akan dikenang seperti ini, "Kakak perempuan ini jago organisir basis atau perempuan-perempuan di asrama-asrama, jago organisir mama-mama di Wilayah Bomberai, Saireri, La-Pago, dan semua wilayah adat untuk bicara pelanggaran HAM; kakak perempuan ini dampingi kita ke kantor Polisi demo saat anak-anak Papua ditembak; kakak perempuan ini baku melawan dengan polisi gara-gara anak-anak yang demo dapat tangkap".
Saya ingat Mama Yosepha Alomang, hingga saat ini jadi icon perempuan-perempuan Papua -terlepas dari situasi hari ini yang telah "disumbat" oleh Freeport. Saya tidak kecewa dengan Yosepha, saya kecewa dengan "orang-orang" di dalam lingkaran dia yang tidak bisa menggunakan "amunisi" itu untuk bantu perjuangan perempuan-perempuan Papua. Tapi, saya lebih kecewa lagi, gara-gara "marah" dengan sikap Yosepha, di tahun 2005 Jhon Rumbiak harus sakit, dan Pater Nato Gobai harus memilih tidak bicara politik dan mengungsi ke Nabire. Dua orang yang menjadi cikal bakal kebangkitan Yosepha Alomang ini saya tak tau di mana mereka berada.
Tapi apa yang buat Yosepha terus dikenang karena ia mengkoordinir, membawa, mengorganisir, memobilisasi dan secara militansi melakukan perlawanan terhadap penghisapan Freeport McMorran terhadap "mama" atau tanah Amungsa (Alomang menyatukan teori dan praxis atau praketk).
KEENAM: Langkah kongkret yang bisa diambil. Aktivis-aktivis perempuan yang di Jayapura atau yang dituakan bisa memulai dengan menggelar diskusi-diskusi awal. Yang ingin dicapai:
(1). Mendorong dibentuknya sebuah wadah penyatuan perempuan Papua dari berbagai tingkatan, golongan, pekerjaan melalui sebuah acara Mubes, atau kongres atau konfrensi, atau apalah namanya;
(2). Wadah ini dapat mengambil peran-peran yang selama ini (oleh saya) anggap diabaikan seperti pengkaderan, pembinaan, organisir basis, pelatihan-pelatihan dan program-program kongkret menuju pembebasan nasional;
(3). Soal misi, visi, arah kerja, program, dan lain-lain bisa dibicarakan, yang penting mengarah pada "kerja-kerja kongkret untuk pembebasan nasional bangsa Papua Barat;
(4). Untuk memulai diskusi-diskusi awal tersebut, ada ade-ade aktivis perempuan Uncen yang saya lihat baik dan bisa diarahkan dan teman-teman di Elsham Papua dan beberapa lagi yang bisa jadi "amunisia" untuk menyiapkan pertemuaan akbar itu;
(5). Tak masalah siapa yang terlibat di dalamnya, Yohana Yembise, atau Ribka Haluk sekalipun, yang penting mereka "bisa diarahkan" oleh kalian untuk kepentingan rakyat Papua Barat yang paling hakiki.
KETUJUH: Tanggapan paling terakhir dari penulis novel, Aprila R.A. Wayar. Saya rasa penting untuk diluruskan. Apakah selama ini ade April melihat ada ruang-ruang untuk mendiskusikan hal-hal seperti yang saya tulis di atas? Apakah selama ini aktivis perempuan rutin berkumpul merefleksikan diri? Apakah selama ini aktivis perempuan "saling memberikan masukan" terkait "kemunduran" perjuangan belakangan ini? Apakah selama ini aktivis perempuan "sadar" kalau banyak yang "membutuhkan" uluran tangan kita? Dan apakah selama ini ada ruang atau forum aktivis perempuan duduk membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk bersama-sama maju dan berjuang bagi penderitaan bangsa kita?
Maaf, saya tak melihat itu. Saya hanya melihat semua kumpul ketika ada program peningkatan kapasitas, atau program belajar, atau program-program pelatihan di Bali, di Luar Negeri, di Jayapura, atau bahkan di Jakarta. Atau, bahkan semua kumpul ketika ada "ulang tahun" dan wartawan seperti Emil tentu kumpul ketika akan ada konferensi pers di masing-masing kantor dari teman-teman perempuan.
Jika merasa "hal-hal" yang saya kemukakan sebagai "pemancing" untuk data atau analisis untuk memetakan gerakan perempuan, maka tak perlu ditanggapi. Saya punya misi cuma satu: memberikan refleksi (bukan theologis), agar perjuangan perempuan semakin cerdas, terdidik dan terarah. Sebagian besar teman-teman perempuan yang komentar, dan juga ditandai dalam status ini saya kenal, maka tak perlu pancingan lagi untuk saya lebih kenal mereka.
KEDELAPAN: Walau terlambat, mohon ijinkan saya menyampaikan Ucapan Selamat HUT ke-53 Papua Barat. Allah bangsa Papua Barat pasti memberkati perjuangan kita. Akhir kata, sekecil apa pun usaha kita, suatu saat pasti akan ada hasil, hanya waktu saja!. Saya mungkin bisa berkomentar begitu dulu kawan.
Foi Moi!
Vo Nguyen Giap Mambor Adalah Nelayan, tinggal di Wasior, Teluk Cenderawasih, West Papua.
Sumber : www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment