Tersangka pembunuhan pendeta
Frederika Metalmeti di Boven
Digoel,
Sertu Irfan (Foto: Oktovianus Pogau/SP)
|
Laporan : Oktovianus Pogau
Dalam tulisan sebelumnya, diketahui dalam perjalanan menuju Korem
174/ATW Merauke, ketika Dandim 1711/Boven Digoel, bertanya kepada Sertu
Irfan terkait insiden pembunuhan pendeta Frederika yang menghebokan
masyarakat Boven Digoel.
Kepada Dandim, Sertu Irfan akhirnya mengaku kalau ia telah menembak
mati pendeta Frederika, pada 21 November 2012, di jalan Trans Asiki,
Boven Digoel, sekitar pukul 04.30 Wit.
“Saya, pak Dandim dan Terdakwa naik dalam satu mobil. Saat itu
terdakwa mengaku kepada Dandim kalau dirinya yang telah menembak mati
pendeta Frederika. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi sampai di
Korem 174/ATW Merauke,” ujar Serka Sumarlianto, salah satu atasan
terdakwa di Unit Intel, saat memberikan kesaksian di Mahkamah Militer,
28 Januari 2013 lalu.
Di Pomda Merauke, Sertu Irfan menjalani pemeriksaan secara intensif.
Kemudian, pada tanggal 27 November 2012, ia langsung diterbangkan ke
Jayapura, dan dilanjutkan lagi pemeriksaan oleh Pomdam Jayapura.
Di Merauke, Pomda mulai mengumpulkan bukti-bukti, termasuk meminta
keterangan kepada beberapa anggota TNI di Kodim 1711/Boven Digoel yang
mengetahui peristiwa tersebut.
Beberapa anggota TNI yang dimintai keterangan seperti Kapten RIki
Pelani, Kasi Intel Kodim 1711/Boven Digoel, Serka Sumarlianto atasan
terdakwa di Unit Intel, dan Serda Roy yang merupakan rekan korban di
Asrama Kodim.
Selain itu, adalah salah satu anggota Kopassus dari Yonif 512 Bogor,
bernama Yuliandis alias Andre yang ikut diperiksa Pomda. Ia diduga ikut
terlibat dalam pembunuhan pendeta Frederika, karena dikenal dekat dengan
korban.
Pada tanggal 28 Januari 2013, sekitar pukul 11.00 Wit, sebelum
dilangsungkan proses persidangan perdana, penulis mendapat kesempatan
untuk berbincang-bincang dengan Andre, yang merupakan saksi 1 di BAP
terdakwa, di Mahmil TNI.
Andre memang mengaku kenal dengan korban yang merupakan gembala di
Gereja Pentakosta Betlehem, Boven Digoel. Bahkan, tanggal 20 November
2013, sekitar tujuh jam sebelum korban ditemukan tewas, ia mengaku
sempat bertemu korban di Gereja.
“Saya waktu itu bersama-sama dengan korban di gereja korban. Dia main
music, dan meminta saya untuk menyanyikan beberapa lagi rohani. Bahkan,
setelah pulang ke rumah, saya sempat dikirimkan beberapa pesan singkat
perpisahaan,” ujar Andre, sambil menunjukan beberapa pesan singkat dan
foto korban dari handphonenya kepada penulis.
Andre mengatakan, ia baru empat bulan menjalankan tugas sebagai
satuan pengamanan wilayah perbatasan di Boven Digoel, dan bukan
merupakan aggota Kodam XVII/Cenderawasih, dan karena itu tidak mengenal
Sertu Irfan.
Dalam persidangan, Andre mengaku punya tugas untuk mencari informasi
dari tokoh adat, tokoh pemuda, dan bahkan sampai pada tokoh agama,
Pendekatan dengan korban, menurutnya bagian dari tugas dan kerja dia
sebagai anggota Kopassus.
“Saya murni kerjakan tugas sebagai anggota Kopassus. Saya hanya
bertemu dengan korban empat kali saja, itupun untuk kepentingan tugas
saya, dan saya tidak punya hubungan khusus dengan korban” jelas Andres
di depan majelis hakim.
Pada tanggal 29 November 2012, keluarga korban di Boven Digoel dan
Merauke mendatangi Markas Korem 174/ATW untuk mencari informasi dan
memastikan kalau proses pemeriksaan terhadap terdakwa berjalan dengan
lancer.
“Pemeriksaan berkas perkara dari terdakwa sangat tertutup. Keluarga
juga sama sekali tidak tau siapa pelaku penembakan, dan termasuk apa
motif terdakwa menembak anak kami dengan sangat sadis,” ujar Jembormase.
Di waktu yang sama, keluarga korban secara resmi menemui Komandan
Korem, Brigjen TNI Eddy Rahmayadi, untuk membicarakan proses pemeriksaan
oknum anggota TNI yang di duga telah ditangkap dan ditahan di Merauke.
Komandan Korem, mewakili institusi dan pribadi dalam kesempatan itu
langsung menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada keluarga. Ia
juga berjanji akan mendorong agar kasus tersebut dapat segera
disidangkan di Mahmil TNI Jayapura.
Dalam kesempatan tersebut, Danrem 174/ATW Merauke juga berjanji akan
memfasilitasi keluarga korban dari Merauke dan Boven Digoel untuk pergi
ke Jayapura memantau jalannya proses persidangan di Mahakam Militer
TNI.
“Selama ini, semua biaya dari Boven Digoel ke Jayapura kami sendiri
yang tanggung. Padahal, waktu pak Danrem sudah berjanji kalau mau
membantu kami, ini aneh sekali,” kata Jembormase.
Selain bertemu dengan Danrem 174/ATW Merauke, keluarga juga mendapat
kunjungan secara resmi dari mantan Dandim 1711/Boven Digoel, Letkol Eko
Supriyanto, yang kini menjabat sebagai Kasi Intel Korem 174/ATW.
Anis Jembormase mewakili keluarga menolak bertemu dengan korban. Ayah
korban, George Metalmey (61) juga menolak bertemu dengan mantan Dandim.
Keluarga waktu itu hanya meminta proses persidangan cepat dilakukan,
agar ditemui rasa keadilan.
“Saya menolak kunjungan dari Dandim waktu itu, karena dia juga
sebagai aktor intelektual dalam pembunuhan anak kami, dan dia juga harus
diperiksa oleh Pomda Merauke atau Pomda Jayapura,” tegas Jembormase.
Setelah ditolak bertemua keluarga, mantan Dandim 1711/Boven Digoel
diketahui beberapa kali mengutus anggotanya ke rumah keluarga
Jembormase di Jalan Witak, samping kantor pos, Merauke, untuk melakukan
perdamaiaan. Namun, selalu mendapat penolakan dari keluarga.
Saat Pomda Merauke sedang memeriksa dan mengumpulkan bukti-bukti
perkara tersebut, Polres Boven Digoel yang sejak awal menangani
pemeriksaan kasus tersebut merampungkan beberapa pemeriksaan mereka,
termasuk menyerahkan barang bukti.
Pada tanggal 27 November 2012, dikeluarkan surat pelimpahan berita
acara pemeriksaan dari Polres Boven Digoel NO : B/263/XI/2012/Res Bvn
Dgl, ke Pomda Merauke, dan diketahui ada delapan orang saksi yang telah
dimintai keterangan oleh Polisi.
Beberapa saksi yang ikut diperiksa adalah adik korban, Helen
Metalmety (30), dan suaminya yang juga anggota Polisi di Boven Digoel.
Saat persidangan, yang anehnya mereka sama sekali tidak dipanggil.
Padahal, semua bukti keterlibatan korban dengan mantan Dandim 1711/Boven
Digoel, telah mereka uraikan dalam BAP.
“Kakak saya sudah pernah beritahu kami kalau dia sedang berpacara
dengan pak Eko (mantan Dandim 1711/Boven Digoel), dan kami semua sudah
tahu itu, seharusnya pak Eko juga diminta keterangan,” kata Helen, saat
ditemui media ini beberapa waktu lalu di Jayapura, Papua.
Salah satu barang bukti paling menonjol yang diserahkan Polres Boven
Digoel ke Pomdam Merauke adalah potongan kaki janin korban. Barang bukti
tersebut dimaksudkan untuk pemeriksaan DNA dari para saksi-saksi,
maupun siapa saja yang diduga menghamili korban.
“Saya punya bukti surat lengkap soal penyerahan kaki janin ke Pomda
Merauke untuk kebutuhan pemeriksaan DNA, kenapa dalam persidangan tidak
diungkap persoalan janin itu,” ujar Jembormase.
Menurut Jembormase, salah satu penyebab utama kenapa korban dibunuh
adalah karena korban meminta terdakwa untuk mempertanggung jawabkan
janin tersebut, padahal terdakwa saat itu tidak merasa menghamili
korban.
“Soal pemeriksaan janin, dan siapa yang menghamili korban sangat
penting untuk diungkap dalam persidangan, tapi kenapa Mahmil tidak
melakukannya, kami sangat kecewa sekali,” ucap Jembormase, yang juga
mantan purnawiran Polisi di Merauke, Papua.
Saat terdakwa sedang diperiksa dan ditahan di Pomda Jayapura, Ketua
Komnas HAM RI Otto Syamsuddin Ishak dan komisioner Komnas HAM RI bidang
penyelidikan dan pemantauaan, Natalius Pigai bertemu dengan Pangdam
XVII/Cenderawasih menanyakan perkembangan proses hukum kasus tersebut.
Pigai, salah satu komisioner Komnas HAM RI saat meminta Pangdam
XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Christian Zebuah untuk dapat memberikan
hukuman yang seberat-beratnya pagi pelaku penembakan pendeta Frederika.
Pada tanggal 24 Desember 2013, diketahui juga Pangdam
XVII/Cenderawasih melalui Brigjen TNI Eddy Rahmayadi menyerahkan
bingkisan natal bagi keluarga korban di Merauke dan di Boven Digoel.
Bingkisan natal tersebut diantar oleh dua orang anggota TNI, dan
mengaku diperintahkan langsung oleh Pangdam untuk menyerahkan kepada
keluarga korban yang sedang berduka.
“Kami menolak bingkisan natal tersebut, yang kami mau kapan jadwal
persidangan akan dikeluarkan, kami tidak butuh dikasihani walau kami
orang kecil,” kata Jembormase mengomentari pemberiaan bingkisan natal
tersebut, seperti pernah diberitakan media ini, .
Keluarga korban sudah dikecewakan sejak awal, sebab saat terdakwa
dibawah ke Pomdam Jayapura, tidak ada pemberitahuaan dari pihak
institusi TNI maupun Pomdam Merauke, kalau prosesnya akan berjalan
dengan baik dan transparan.
“Tidak ada pemberitahuaan secara lisan maupun tertulis, padahal
pembunuhan anak kami dengan begitu sadisnya adalah masuk kategori
pelanggaran HAM berat, ini yang harus dipikirkan institusi TNI,” ujar
tante korban.
Akhirnya, harapan untuk ada rasa keadilan bagi korban bisa sedikit
terwujud. Ketika wartawan media ini, menghubungi Danrem 174/ATW Merauke
Brigjen TNI Eddy Rahmayadi, pada tanggal 26 Januari 2013. Danrem
memastikan kepada penulis bahwa sidang perdana akan dimulai pada tanggal
28 Januari 2013.
Bisa dikatakan sangat aneh, sebab jadwal persidangan yang ditentukan
Mahkamah Militer III-19 Jayapura, berselang sehari sebelum Pemilihan
Gubenur Papua akan dilakukan secara serentak di seluruh tanah Papua.
Bagaimana jalannya proses persidangan perdana? Apa alasan terdakwa
nekat menembak mati korban dengan senjata jenis FN 45? Nantikan dalam
tulisan berikutnya (BERSAMBUNG).
OKTOVIANUS POGAU
Blogger Comment
Facebook Comment