Rickson M.P. Edowai, ST., S.Kom (Dok Pribadi) |
Oleh : Rickson M.P. Edowai, ST., S.Kom *
Rezim militer Orde Baru Soeharto menjadikan Papua sebagai daerah
kekuasaan militer, terutama Angkatan Darat (AD). Kesan seperti itu
sangat terasa karena instansi militer dan para petinggi militer di Kodam
dan jajarannya mendominasi ranah politik dan jalannya pemerintahan di
Papua. Cengkraman AD atas Papua kian kuat karena adanya dwifungsi ABRI
dan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Dengan semangat berdwifungsi, obsesi utama semua pimpinan militer
Indonesia, khususnya di jajaran Kodam Trikora dan di Pemda Papua
menghancurkan apa yang mereka sebut gerombolan bersenjata OPM. Obsesi
penghancuran OPM itu juga dimotivasi oleh kepetingan ekonomi dan
politik. Secara politik petinggi AD, seperti Pangdam, Danrem, dan Dandim
adalah juga Ketua Pembina Golkar di wilayahnya. Secara ekonomi, semua
perusahaan besar di Papua dikategorikan sebagai objek vital nasional.
Artinya perusahaan-perusahaan itu berada di bawah naungan militer untuk
keamanannya. Untuk itu, perusahaan-perusahaan harus menyetor sejumlah
uang.
Dalam setiap kepala pimpinan dan anggota ABRI, semua orang Papua
adalah separatis, kecuali orang itu bisa menunjukkan dirinya bukan
separatis. Untuk motivasi ini, OPM yang selalu kecil kekuatannya selalu
dikampanyekan sebagai ancaman serius bagi NKRI. Obsesi itu tumbuh dari
cara pandang yang melihat gerakan menuntut pengakuan identitas politik
Papua sekadar masalah “bom waktu yang ditinggalkan Belanda” atau bush
dari hasutan kelompok separatis, bukan merupakan persoalan mendasar yang
berkaitan dengan rasa keadilan dan harga diri orang Papua. Maka dari
itu untuk mengenyahkan “hantu OPM” itu, kebijakan yang diambil di Papua
adalah menghancurkan OPM secara fisik (membunuh) dengan menggelar
operasi militer berkesinambungan (DOM) dari tahun ke tahun.
Dr. Benny Giyai seorang rohaniwan dan intelektual Papua mencatat
bahwa pengalaman di bawah cengkraman militer itu merupakan pengalaman
pahit yang tak akan pernah terlupakan oleh orang-orang Papua. Benny
menuliskan bahwa dalam seluruh pengalaman pahit itu, orang Papua merasa
diperlakukan bukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai objek, yaitu
objek operasi militer.
Sejarah sebagai objek kekerasan itulah yang selalu diingkari oleh
Indonesia sampai hari ini. Pihak-pihak militer atau aparat keamanan di
Papua sama sekali tidak pernah merasa melakukan kejahatan terhadap siapa
pun di Papua, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan,
atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan
segala bentuknya di Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas
sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut sebagai
OPM.
Dalam pandangan orang-orang Papua, ABRI yang berpataka “Praja Ghupta
Kra” (Ksatria Pelindung Masyarakat) adalah alih-alih menjadi pelindung,
malah menjadi seperti pagar makan tanaman. Operasi-operasi militer
mendatangkan kesengsaraan lahir dan batin bagi orang-orang Papua.
Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga
mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya kepercayaan terhadap
TNI/POLRI dan instansi pemerintah yang ada di Papua.
Dengan latar sejarah dan posisi politik seperti itu, militer di
Papua merasa dan melihat dirinya sebagai satu-satunya institusi yang
menjaga keutuhan Indonesia di Papua. Militer di Papua selalu bertindak
represif terhadap segala bentuk gerakan atau opini yang mempertanyakan
atau memprotes keadaan yang dirasakan kurang adil oleh tokoh-tokoh dan
mahasiswa Papua. Dalam menjaga keutuhan NKRI, militer Indonesia di Papua
sangat mudah memvonis seluruh bentuk protes orang Papua sebagai gerakan
separatis.
Ketika cap separatis sudah dialamatkan oleh militer kepada seseorang di Papua maka orang itu akan bisa menjadi korban dalam sekejap. Seperti penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan mahasiswa Papua. Baik menjadi korban penculikan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Aksi kekerasan itu berlangsung bertahun-tahun, dengan ribuan korban jiwa. Para korban dan keluarganya inilah bersama-sama dengan kalangan mudah dan mahasiswa serta tokoh-tokoh terpelajar Papua di era reformasi menyuarakan perlunya Indonesia mempertanggungjawabkan seluruh kekerasan itu. Untuk meminta pertanggung-jawaban itu, wacana Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi wacana yang paling dominan di dalam dan luar Papua.
Sejumlah rangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di
bumi Cendrawasih merupakan luka bagi OPM dan Rakyat Papua. Hal ini, yang
kemudian membangkitkan semangat OPM untuk mempertahankan harga dan jati
diri sebagai kulit hitam dan rambut keriting. Sehingga dengan tidak
ragu-ragu OPM tampil ke permukaan secara terbuka untuk melakukan
perlawanan. Salah satu aksi yang terjadi adalah dengan menembak mati 8
prajurit TNI, (21/02) di Tinggi nambut Puncak Jaya (Sumber : MetroTV).
Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi HAM
malah menimbulkan berbagai konflik yang tak kunjung selesai. Dari tahun
ke tahun TNI/PILRI Vs OPM kian menjadi-jadi. Menggores luka lara bagi
rakyat hitam. Kapan Bumi Hitam akan menjadi Zona Damai untuk Rakyat
hitam ?
* Aktivis Mahasiswa Papua Makassar
Blogger Comment
Facebook Comment