Budaya orang Papua dan kemampuan berwirausaha dalam peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Papua menjadi Disertasi Dr. Marten Muller di Universitas Philipps Marburg, Jerman pada studi Ekonomi Perusahaan, yang dijadikan buku dengan judul Kebudayaan dan perkembangan ekonomi merupakan penelitian impiris ( terjemahan dari bahasa Jerman 2013). Ini, mengingatkan kita bahwa Papua dan Papua Barat adalah provinsi yang 40% penduduknya hidup dibawah garis kemiskinan dan indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia. Artinya kekayaan mineral, serta hutan yang luas tidak mampu menjamin kehidupan orang Papua di berbagai lini. Selama 50 tahun integrasi bersama Indonesia,Papua telah memilki pemerintahan modern berdaulat dengan birokrasi pemerintahan sistematis dari pusat (Jakarta), daerah provinsi, kabupaten hingga kampung-kampung ( Montesqiue, Trias political ) . Namun yang nampak: prestasi kemiskinan Papua berada pada rengking satu di Indonesia.
Lanjut dia, sektor ekonomi nasional Papua adalah subyek ekplorasi ekonomi Indonesia, baik mineral, hingga hutan,dll, namun sedikitpun manfaatnya tidak dirasakan oleh orang Papua. Tenaga kerja untuk berbagai perusahan asing didatangkan dari luar Papua dengan gelombang tranmigrasi, orang Papua asli Papua dianggap belum cakap. Tingkat pendidikan di Papua masih sangat rendah, terbukti dengan hampir sebagian orang Papua di pedalaman belum melek huruf (buta aksara) dan sangat mempengaruhi bukan saja di sector tenaga kerja, namun juga swasta. Swasta, mulai diperkotaan hingga ke pedalaman di kuasai oleh orang Indonesia dengan etnis lain, juga Etnis Cina (bukan Papua). Dengan tingkat pendidikan yang rendah juga system kebudayaan yang masih kuat sehingga orang asli Papua dipastikan sulit meningkatkan ekonomi keluarga mereka (focus disertasi, suku Maybrat, kemtuk, dan Dani)
Selanjutnya kita membaca bantahan yang dilakukan Ruben Benyamin Gwijangge melalui bukunya Indonesia memiskinkan bangsa Papua tahun (2014), terhadap penjabat gubernur provinsi Papua Dr Syamsul Arief Rivai,MS, dan kepala UP4B Bambang Darmono yang mengatakan otonomi khusus berhasil dari segi mengurangi angka kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM) mengalami kemajuan. Penulis, muda Papua ini mengatakan data yang valid adalah papua dan Papua Barat termiskin urutan (1 dan 2) dan indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah urutan (1 dan 2) ini dari seluruh (34) provinsi yang ada di Indonesia. Bersamaan dengan itu tahun 2014 Pemerintah defenitif Enembe dengan strategi yang sama, melalui Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Mohamad Abud Mosaad mengatakan dalam tabloidjubi.com, kemiskinan di tahun 2014 telah menurun hingga 32%. Dengan demikian beliau menghimbau kepada aparat pemerintah baik provinsi maupun di daerah untuk tetap serius menangani ini.
benarkah demikian ???
Realitas strategi pembangunan pemerintah dalam rangka menetaskan kemiskinan dilakukan baik secara nasional adalah kebijakan dalam Otsus selama 14 tahun terakhir, namun belum mampu mengeluarkan orang asli Papua dari keadaan ini. Otsus dalam jumlah uang yang besar hanya memperkayah kalangan elit papua bukan rakyat miskin yang menjadi sasaran pembangunan. PNPM mandiri, Respek, kini Prospek, hanya menjadi program tanpa hasil. Seperti yang dapat kita lihat bahwa pengusaha asli Papua tidak mampu bersaing dengan pengusaha migran yang sudah jauh meningkat dalam hal usaha, investasi, dibekap oleh, bank pemerintah, bank swasta, TNI/Polri, bahkan pemerintah sendiri. Kalaupun hari ini ada organisasi-organisasi usaha belum dapat kita pastikan mampu bertahan dan mengejar ketertinggalan ini karena masih berharap dana hibah. Memang benar ada berapa pengusaha, peternak, pengrajin, tetapi yang betul-betul sukses dapat kita hitung dengan jari.
Fakta hari ini, diatas trotoar kota baik provinsi dan kabupaten masih menjadi tempat-tempat berjualan pedagang asli Papua. Pemerintah selalu membenarkan diri dengan telah menyediakan tempat bagi mereka, namun bagi para pedagang kecil yang hanya berjualan demi memenuhi kebutuhan sehari ini mengaku pembangunan tempat-tempat jualan bagi mereka tidak strategis. Pemerintah kadang asal membangun tempat tidak ada pembeli,dll. Sebagai contoh, kelompok mama pedagang asli Papua (Solpap) di kota Jayapura terpaksa memohon pembangunan pasar permanen bukan kepada wali kota, atau gubernur, melainkan kepada seorang Presiden, ini suatu ironi dalam pemerintahan Republik Indonesia sebenarnya. President Jokowi hanya mampu meletakan batu pertama itupun sebagai symbol bangunan yang tidak tentu.
Bahkan mama-mama yang berjualan di trotoar jalan dan pertigaan jalan sering di relokasi untuk sementara ketempat-tempat tersembuyi ketika ada tamu kenegaraan yang datang ke kota-kota provinsi dan kabupaten. Contoh jelasnya dapat kita lihat pada perayaan Raimuna Nasional X 2012 di Buper Waena, semua pedagang asli papua di trotoar Expo Waena, di larang berjualan pada hari tersebut atau bahkan dipaksa pindah sementara. Mama pedagang Papua yang sering berjualan pinang di depan Bank Papua diusir oleh satpol PP dan diminta berjualan pukul (22.00-05.00) atau jam 10 malam hingga 5 pagi. Hal ini terjadi di ibu Kota Provinsi bagaimana dengan kabupaten lainnya di Papua (Gwijangge ruben;6).
Dengan maksud dan pikiran diatas kami sampaikan:
Kalau bukan kita siapa lagi yang peduli dengan keadaan ini. Kalau bukan kita sendiri yang beli dan belanja kepada pedagang asli Papua siapa lagi yang mau datang belanja kepada mereka.
Sayur, umbi-umbian, buah,pinang, kerajinan dll. Penduduk dengan etnis lain juga bebas berjualan dengan bahan pokok yang sama, peraturan daerah khusus (perdasus) untuk memihak ekonomi orang asli Papua tidak pernah ada. bahkan di tempat yang terhormat, seperti di pasar tradisional tidak ada orang Papua disana, apalagi rumah toko (ruko-ruko). Sangat miris keadaan ini, selain karena sullit bersaing, tidak didukung oleh pemerintah (perdasi/perdasus) pedagang dan pengusaha Papua itu sendiri merasa minder untuk bersaing. Ini adalah masalah serius dalam rangkah peningkatan ekonomi orang asli Papua. Jadi sebagai orang asli Papua kita sendiri yang harus sadar moral.
Lihat di lingkungan kita, sudut jalan kota kita, pedagang asli Papua berjualan, disitu sudah tempat belanja kita. Mari kita biasakan hal ini (belanja di pedagang Papua sendiri !! Kalau bukan kita siapa lagi?
Dikeluarkan oleh Majelis Ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB) GempaR Papua
Blogger Comment
Facebook Comment