Ilustrasi Penuntasan Kasus HAM (theglobejournal.com) |
Jayapura,6/3—Terkait segudang tragedi
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini menimpa Papua, salah
satu pengacara hukum di Papua, Gustaf Kawer menilai ada peristiwa, tapi
tak ada pelakunya. Padahal di awal reformasi, negara menunjukkan
pencitaraan berupa sejumlah undang-undang kepada masyarakat
internasional.
Hal ini terkuak dalam catatan tertulis dari salah satu pengacara hukum Papua, Gustaf Kawer yang diterima tabloidjubi.com,
Selasa (5/3). Dalam catatan yang diterima tertulis, diawal reformasi,
negara ini menujukkan pencitraanya kepada masyarakat internasional
dengan membuat Undang-Undang Anti Penyiksaan (UU Nomor 5 Tahun 1998), UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU Nomor 7 Tahun 2004).
Untuk Provinsi Papua, telah diundangkan UU Nomor 21/2001 tentang
otonomi khusus bagi Papua. UU ini juga mengamanatkan penegakan hukum dan
HAM bagi mayarakat dengan menganjurkan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), dan Pengadilan HAM RI, Perwakilan Komnas HAM Papua.
Namun, KKR dan Pengadilan HAM tak terbentuk. Yang terbentuk adalah
Komnas HAM Papua.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan pemberlakukaannya oleh
Mahkamah Konstitusi. Meski pun Komnas HAM Papua terbentuk sesuai pasal
45 ayat (1) dan (2) dalam UU Otsus, namun kinerjanya jauh dari amanat
penegakan dan perlindungan HAM seperti yang termuyat dalam Otsus.
Karena, tak mempunyai kewenangan pro justicia. “Kerjanya hanya sebatas
pemantauan,” tulis Kawer dalam catatan tertulisnya. Meski demikian,
lanjut dia, ada rujukan untuk penegakan hukum dan HAM di Papua tetap
menggunakan produk hukum.
Dia mengatakan, walaupun telah ada sejumlah regulasi dan institusi
bagi penegakan HAM di Indonesia yang juga berlaku di Papua, namun fakta
dilapangan, instrument dan istitusi penegakan HAM hanya menjadi alat
impunitas belaka bagi pelaku pelanggaran HAM. “Bertolak dari itu, kita
dapat menyebut, di Papua ada peristiwa HAM, tetapi tidak ada pelakunya,”
kata Kawer lagi.
Sejumlah kasus yang terjadi setelah reformasi, diantaranya kasus Biak
berdarah, 6 Juli 1998, kasus Sorong, 5 Juli 1999, Timika, 2 Desember
1999, Merauke, 16 Februari 2000, Nabire, 28 Februari sampai 4 Maret
tahun 2000. Kasus Wamena, 6 Oktober 2000, Wasior berdarah tahun 2001,
kasus kekerasan yang terjadi pada Kongres Rakyat Papua (KRP) III tahun
2011. Dari sejumlah kasus itu, kasus Abepura, 7 Desember tahun 2000
masuk pengadilan dan diproses hukum hingga ke pengadilan Makassar namun
berakhir dengan membebaskan dua pelaku pelanggaran HAM dalam persidangan
pertama dan pengaduan banding dan kasasi.
Sementara kasus pelanggaran HAM Wasior 2001 dan Wamena 2003, sesuai
rekomendasi dari Komnas HAM RI, dua peristiwa ini tergolong kasus
pelanggaran HAM berat, namun sampai saat ini proses hukumnya masih
‘berputar’ di Kejaksaan Agung dengan alasan kurang alat bukti. Beranjak
dari proses ini, Gustaf Kawer memandang, penegakan hukum terhadap pelaku
pelanggaran HAM sangat berbeda dengan penegakan hukum terhadap
aksi-aksi Papua yang pro demokrasi dan menyuarakan tinjauan ulang PEPERA
(Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969. Dalam kurun waktu 2001-2011
sebanyak 63 kasus penangkapan, penahanan dan pemindahan dengan tuduhan
melakukan makar, penghasutan dan melawan negara. Hukuman yang dijatuhkan
kepada para terkdawa berkisar antara 11 bulan sampai seumur hidup.
Rata-rata kasus HAM semuanya dialihkan ke Peradilan Militer.
Terkesan, pengadilan militer yang terbaik. Padahal, daikhir proses
persidangan, pelaku divonis ringan. Sementara kasus makar para terdakwa
mendapat hukuman berat. Banyak manipulasi yang dimainkan aparat negara
dalam proses persidangan. (Jubi/Musa)
Blogger Comment
Facebook Comment