Saat mahasiswa membakar spanduk kegiatan sebagai bentuk protes. Foto: MS |
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Upacara Pengukuhan dan
Pelantikan Kepala Pengendali dan Kepala-kepala Suku Masyarakat Adat
Pegunungan Tengah Papua (P2MA-PTP) di Tanah Tabi (Jayapura), siang
tadi, Jumat (28/03/2014) di Auditorium
Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura, Jayapura diwarnai aksi protes
mahasiswa. Walaupun begitu, pengukuhan dan pelantikan berhasil
dilangsungkan.
Aksi protes berawal ketika beberapa mahasiswa masuk ke dalam Auditorium dan sembat membuat keributan. Beberapa panitia mengantar beberapa mahasiswa yang ribut ini keluar ruangan. Di luar rungan, mereka bergabung dengan rekan-rekannya dan melakukan proses dengan suara keras.
Mahasiswa beralasan proses seleksi kepala suku ini tidak melibatkan seluruh masyarakat pegunungan tengah, tidak mengundang kepala-kepala suku wilayah lain di Jayapura, sebagian besar adalah orang-orang yang belum mendapatkan legitimasi dari kelompoknya, dan kegiatan disponsori oleh PT Freeport Indonesia.
"Ini sangat illegal. Ini hal baru, sepanjang sejarah belum pernah ada hal begini. Ada apa dibalik ini. Ini ada orang bermain ini. Kalau kepala suku di pegunungan itu tidak ada legalitas, hanya ada legitimasi. Apakah mereka ini sudah ada legitimasi," tutur Agustinus Kadepa, aktivis mahasiswa memprotes.
"Ini kegiatan adat, kok di belakang itu ada PT. Freeport Indonesia. Dewan adat tapi kenapa harus kerja sama dengan mereka (Freeport) lagi. Masa depan kami anak-anak mau ke manakan? Freeport inilah aktor utama pembunuh manusia di Tanah Papua," kata Agus dengan nada keras.
Situasi di depan pintu Auditorium Uncen semakin memanas. Lebih banyak mahasiswa berdatangan dan sempat terjadi keributan di dalam ruangan. Melihat kondisi ini, Ketua Dewan Pertimbangan Masyarakat Adat Pegteng, drg. Aloysius Giyai dan Kepala P2MA-PTP, Lesman Tabuni serta Sekretaris Jendral, Benny Gobai keluar menemui massa.
Sempat terjadi adu mulut. Selanjutnya, usai mendengarkan semua aksi protes, Aloysius Giyai dengan tegas mengatakan, kegiatan tersebut tidak ada unsur diback-up, tidak ada unsur politik.
"Kegiatan ini muncul dari pikiran saya untuk harus bentuk lembaga ini. Kadang-kadang Pilipus Halitopo disebut sebagai kepala suku Pegunungan Tengah, padahal belum resmi. Kadang saya juga disebut sebagai Ketua Lembaga Adat Pegungan Tengah di Jayapura, padahal belum resmi. Karena itu yang kami bentuk lembaga formal supaya diakaui semua masyarakat," kata dokter Aloysius Giyai di hadapan massa aksi.
"Jadi kadang-kadang kami dua mau bertindak atas nama orang gunung dengan sungguh-sungguh juga belum resmi jadi tahan-tahan. Tidak ada honai besar yang kita duduk bersama untuk memutuskan semua persoalan, sehingga ini salah satu cara untuk kita bersatu. Dan bagi saya tidak ada sama sekali ada yang back-up, ada yang ini dan itu," sambungnya.
Dialog berlangsung sekitar 10 menit di depan pintu Auditorium. Selanjutnya, Aloysius Giyai dan rombongannya masuk ke dalam rungan untuk melakukan pelantikan.
Direncanakan, pelatikan dilakukan oleh Ketua MRP, Timotius Murib tetapi berhalangan hadir. Aloysius Giyai selaku Ketua Dewan Pertimbagan Masyarakat Adat Pegunugan Tengah mengukuhkan dan melantik para kepala suku.
Lesman Tabuni dikukuhkan Kepala P2MA-PTP dan Beny Gobai sebagai Sekretaris Jendral. Serta tiga wakil Sekjen, di antaranya Sekjen I, Yos Wandik, menangani bidang Kelembagaan dan Ketahanan Adat, Sekjen II, Yan Ukago, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sekjan II yang membidangi Sospol dan Perlindungan HAM, yakni Abok Busuk.
Sementara kepala-kepala suku dari 16 kabupaten (Kabupaten Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, Jayawijaya, Lani Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Yahukimo, Yalimo, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang dan Nduga) dilengkapi dengan para kepala sub suku masing-masing rayon yang berada di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang berdomisili di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom ikut dikukuhkan dan dilantik.
Usai pelantikan, dalam sambutan drg. Aloysius Giyai mengatakan, dengan terbentuknya lembaga ini diharapkan agar masalah-masalah sosial di Jayapura dapat terkendali.
"Saya harap dengan pengukuhan ini masalah-masalah sosial yang selama ini terjadi mewakili suku ini dan suku itu diharapkan sudah dibawa satu kendali, satu garis komando. Saya tidak mau rakyat saya ada yang mati. Karena tidak ada lembaga ini beberapa waktu lalu ada masyarakatku mati, tapi tidak ada orang yang membela. Mati seperti binatang. Sejak hari ini sistem kendali mulai dari kepala suku sampai rayon-rayon sudah ada, sehingga segala konflik yang akan terjadi di dalam masyarakat 16 kabupaten yang berdomisisi di Jayapura, Keerom dan Kabupaten Jayapura benar-benar diselesaikan secara terstruktur," kata dia.
Dikatakan Giyai, kepecayaan yang diberikan masyarakat kepada semua kepala suku agar dijaga dan bertanggung jawab.
"Saya minta dengan hormat, mulai sekarang komunikasi dengan mahasiswa, dengan masyarakat dan semua komponen, entah tokoh perempuan, tokoh agama dan lainnya. Apa yang tadi mahasiswa sampaikan itu benar. Jangan jual rakyat, harus bertanggung jawab. Sehingga rakyat Papua di atas tanahnya sendiri terjamin," pintanya.
Usai pelantikan, mahasiswa sempat meminta dilakukannya dialog antara para kepala suku dan mahasiswa tetapi tidak terselenggara. "Kami kecewa sekali karena tidak ada dialog untuk bicara sama-sama. Tapi, kami akan ikuti apa yang mereka akan lakukan dan keluar masuk ke mana serta membela kepentingan siapa," tutur salah satu mahasiswa usai pelantikan.
Usai pelatikan, mahasiswa dan aktivis menggelar Jumpa Pers di halaman Auditorium Uncen. Dalam Jumpa Pers itu, Agus Kossay dari Komite Nasional Papua Barat menilai kegiatan pelantikan kepala suku yang tidak ada legitimasi publik.
"Ini tidak ada legitimasi. Kalau ada selesaikan konflik di Timika dan suruh Goliat turun gunung. Di Papua ini sudah mulai banyak bermunculan kepada suku dan lembaga adat. Tapi, yang sudah ada legitimasi oleh rakyat Papua adalah hanya Dewan Adat Papua. Selain itu hanya Indonesia yang buat untuk kacaukan kami orang Papua," katanya.
Pada kesempatan itu, Samuel Bomai menyampaikan kritik keras dan menuding ada pihak lain bermain.
"Ini pekerjaan BIN (Badan Intelijen Negara:red). Mempertahankan Pepera 1969 itu sama modelnya sudah. Ini model-model tandingan Papua Merdeka. Kelompok ini cari makan di atas tulang belulang orang Papua. Jakarta peralat Lukas Enembe tetapi dia tidak tahu," tutur Saul. (MS/Abeth Abraham You).
Lihat berita foto: KLIK
Aksi protes berawal ketika beberapa mahasiswa masuk ke dalam Auditorium dan sembat membuat keributan. Beberapa panitia mengantar beberapa mahasiswa yang ribut ini keluar ruangan. Di luar rungan, mereka bergabung dengan rekan-rekannya dan melakukan proses dengan suara keras.
Mahasiswa beralasan proses seleksi kepala suku ini tidak melibatkan seluruh masyarakat pegunungan tengah, tidak mengundang kepala-kepala suku wilayah lain di Jayapura, sebagian besar adalah orang-orang yang belum mendapatkan legitimasi dari kelompoknya, dan kegiatan disponsori oleh PT Freeport Indonesia.
"Ini sangat illegal. Ini hal baru, sepanjang sejarah belum pernah ada hal begini. Ada apa dibalik ini. Ini ada orang bermain ini. Kalau kepala suku di pegunungan itu tidak ada legalitas, hanya ada legitimasi. Apakah mereka ini sudah ada legitimasi," tutur Agustinus Kadepa, aktivis mahasiswa memprotes.
"Ini kegiatan adat, kok di belakang itu ada PT. Freeport Indonesia. Dewan adat tapi kenapa harus kerja sama dengan mereka (Freeport) lagi. Masa depan kami anak-anak mau ke manakan? Freeport inilah aktor utama pembunuh manusia di Tanah Papua," kata Agus dengan nada keras.
Situasi di depan pintu Auditorium Uncen semakin memanas. Lebih banyak mahasiswa berdatangan dan sempat terjadi keributan di dalam ruangan. Melihat kondisi ini, Ketua Dewan Pertimbangan Masyarakat Adat Pegteng, drg. Aloysius Giyai dan Kepala P2MA-PTP, Lesman Tabuni serta Sekretaris Jendral, Benny Gobai keluar menemui massa.
Sempat terjadi adu mulut. Selanjutnya, usai mendengarkan semua aksi protes, Aloysius Giyai dengan tegas mengatakan, kegiatan tersebut tidak ada unsur diback-up, tidak ada unsur politik.
"Kegiatan ini muncul dari pikiran saya untuk harus bentuk lembaga ini. Kadang-kadang Pilipus Halitopo disebut sebagai kepala suku Pegunungan Tengah, padahal belum resmi. Kadang saya juga disebut sebagai Ketua Lembaga Adat Pegungan Tengah di Jayapura, padahal belum resmi. Karena itu yang kami bentuk lembaga formal supaya diakaui semua masyarakat," kata dokter Aloysius Giyai di hadapan massa aksi.
"Jadi kadang-kadang kami dua mau bertindak atas nama orang gunung dengan sungguh-sungguh juga belum resmi jadi tahan-tahan. Tidak ada honai besar yang kita duduk bersama untuk memutuskan semua persoalan, sehingga ini salah satu cara untuk kita bersatu. Dan bagi saya tidak ada sama sekali ada yang back-up, ada yang ini dan itu," sambungnya.
Dialog berlangsung sekitar 10 menit di depan pintu Auditorium. Selanjutnya, Aloysius Giyai dan rombongannya masuk ke dalam rungan untuk melakukan pelantikan.
Direncanakan, pelatikan dilakukan oleh Ketua MRP, Timotius Murib tetapi berhalangan hadir. Aloysius Giyai selaku Ketua Dewan Pertimbagan Masyarakat Adat Pegunugan Tengah mengukuhkan dan melantik para kepala suku.
Lesman Tabuni dikukuhkan Kepala P2MA-PTP dan Beny Gobai sebagai Sekretaris Jendral. Serta tiga wakil Sekjen, di antaranya Sekjen I, Yos Wandik, menangani bidang Kelembagaan dan Ketahanan Adat, Sekjen II, Yan Ukago, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sekjan II yang membidangi Sospol dan Perlindungan HAM, yakni Abok Busuk.
Sementara kepala-kepala suku dari 16 kabupaten (Kabupaten Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, Jayawijaya, Lani Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Yahukimo, Yalimo, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang dan Nduga) dilengkapi dengan para kepala sub suku masing-masing rayon yang berada di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang berdomisili di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom ikut dikukuhkan dan dilantik.
Usai pelantikan, dalam sambutan drg. Aloysius Giyai mengatakan, dengan terbentuknya lembaga ini diharapkan agar masalah-masalah sosial di Jayapura dapat terkendali.
"Saya harap dengan pengukuhan ini masalah-masalah sosial yang selama ini terjadi mewakili suku ini dan suku itu diharapkan sudah dibawa satu kendali, satu garis komando. Saya tidak mau rakyat saya ada yang mati. Karena tidak ada lembaga ini beberapa waktu lalu ada masyarakatku mati, tapi tidak ada orang yang membela. Mati seperti binatang. Sejak hari ini sistem kendali mulai dari kepala suku sampai rayon-rayon sudah ada, sehingga segala konflik yang akan terjadi di dalam masyarakat 16 kabupaten yang berdomisisi di Jayapura, Keerom dan Kabupaten Jayapura benar-benar diselesaikan secara terstruktur," kata dia.
Dikatakan Giyai, kepecayaan yang diberikan masyarakat kepada semua kepala suku agar dijaga dan bertanggung jawab.
"Saya minta dengan hormat, mulai sekarang komunikasi dengan mahasiswa, dengan masyarakat dan semua komponen, entah tokoh perempuan, tokoh agama dan lainnya. Apa yang tadi mahasiswa sampaikan itu benar. Jangan jual rakyat, harus bertanggung jawab. Sehingga rakyat Papua di atas tanahnya sendiri terjamin," pintanya.
Usai pelantikan, mahasiswa sempat meminta dilakukannya dialog antara para kepala suku dan mahasiswa tetapi tidak terselenggara. "Kami kecewa sekali karena tidak ada dialog untuk bicara sama-sama. Tapi, kami akan ikuti apa yang mereka akan lakukan dan keluar masuk ke mana serta membela kepentingan siapa," tutur salah satu mahasiswa usai pelantikan.
Usai pelatikan, mahasiswa dan aktivis menggelar Jumpa Pers di halaman Auditorium Uncen. Dalam Jumpa Pers itu, Agus Kossay dari Komite Nasional Papua Barat menilai kegiatan pelantikan kepala suku yang tidak ada legitimasi publik.
"Ini tidak ada legitimasi. Kalau ada selesaikan konflik di Timika dan suruh Goliat turun gunung. Di Papua ini sudah mulai banyak bermunculan kepada suku dan lembaga adat. Tapi, yang sudah ada legitimasi oleh rakyat Papua adalah hanya Dewan Adat Papua. Selain itu hanya Indonesia yang buat untuk kacaukan kami orang Papua," katanya.
Pada kesempatan itu, Samuel Bomai menyampaikan kritik keras dan menuding ada pihak lain bermain.
"Ini pekerjaan BIN (Badan Intelijen Negara:red). Mempertahankan Pepera 1969 itu sama modelnya sudah. Ini model-model tandingan Papua Merdeka. Kelompok ini cari makan di atas tulang belulang orang Papua. Jakarta peralat Lukas Enembe tetapi dia tidak tahu," tutur Saul. (MS/Abeth Abraham You).
Lihat berita foto: KLIK
Sumber : www.majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment