Foto militer kolinial Indonesia dan masyarakat sipil West Papua |
Lagi-lagi, warga kampung itu terhenyak ketakutan. Babi hutan
itu datang lagi. Ya, ia datang lagi. Kali ini, korbannya adalah anak si
Janda tua yang ayahnya juga telah beberapa puluh tahun lalu menjadi
korban keganasan Babi Hutan itu.
Kali ini giliran anaknya.
Akh, malang benar nasib remaja itu. Telinganya raib entah kemana.
Hanya di sekitar telinga remaja anak janda itu, ada bekas gigitan oleh
gigi yang jelas besar dan tajam.
Isi perutnya telah tumpah
keluar, membuat perutnya menyerupai wajan penuh darah bercampur
serpihan otot dan daging. Ususnya hancur, sepertinya karena
diinjak-injak oleh kaki Babi Hutan itu. Tulang-tulang tangannya patah,
begitu juga dengan nasib tulang keringnya. Darah berceceran dimana-mana.
Mukanya tak berbentuk lagi, penuh darah dan serpihan daging yang
mencuat karena cakar sang Babi Hutan.
Aneh bin ajaib. Babi
hutan itu datang dengan tak diduga, dan menghilang sebelum orang-orang
menyadari kalau salah satu diantara mereka telah menjadi korban
keganasan sang Babi Hutan. Benar-benar misterius, tidak terduga
datangnya.
“Tidak bisa dibiarkan. Babi Hutan itu harus
dibunuh. Kalau tidak, ia harus jauh dari kampung kita,” kata seorang
pemuda dengan nada emosional. Ia tidak tega, masyarakat kampungnya
dengan gampangnya menjadi mangsa Babi Hutan.
“Kita harus menemukan Babi Hutan itu dan membunuhnya.”
Iya, setuju. Sebelum satu per satu di antara kita mati dimangsa Babi Hutan itu..”
“Betul bung! Lebih baik melawan daripada mati pasrah!”
Para pemuda begitu emosional. Betapa tidak, mereka telah menjadi saksi dari sederet peristiwa sadis oleh Babi Hutan itu.
Keesokan
harinya, giliran anak kepala desa yang menjadi korban. Kali ini, anak
itu bermain di halaman rumah, sementara ibunya mencuci pakaian di
belakang rumah, dekat sumur. Hanya beberapa menit berselang, isteri
kepala desa itu menemukan anaknya telah menjadi mayat di samping rumah.
Dinding
rumah yang bercat biru dan putih itu kini mendapat tambahan warna
baru, warna merah, percikan darah anaknya. Lantas, ibu itu menangis
menjerit dan pingsan. Baru ketika kepala desa kembali dari rumah
tetangga, ia jumpai isterinya pingsan di atas genangan darah anaknya.
Sadis!
Beberapa hari selanjutnya, berturut-turut
meninggal anak ketua adat, yang oleh penduduk kampung dianggap memiliki
kesaktian yang sama dengan yang dimiliki oleh ayahnya. Ia yang
diharapkan dapat menggantikan ayahnya menjadi ketua adat itu berkalang
tanah di persimpangan jalan masuk kampung.
Ya, Babi Hutan
itu seperti ada di mana-mana. Ia mampu menebar ketakutan pada masyarakat
kampung itu. Bukan hanya manusia, ia juga telah merusak tanaman di
kebun-kebun meraka. Jadinya, bukan hanya ketakutan, tetapi kelaparan
juga berlahan jadi ancaman serius. Kini, hanya kelaparan dan
ketakutanlah yang tergambar pada wajah-wajah. Setiap kali bertemu, hanya
senyum paksalah yang tersungging, senyum yang menggambarkan betapa
getir dan takutnya hati. **
Malam itu, bintang menjadi
saksi deklarasi para pemuda desa. Mereka sepakat akan terus mencari,
memerangi, dan hanya akan berhenti memburu Babi Hutan itu sampai ia
diusir dari kampung mereka. Meraka berjanji, di bawah terang bintang,
mereka akan membebaskan rakyat mereka dari ketakutan kematian yang
ditebar sang Babi Hutan.
Hanya satu tekad mereka, lebih
baik mati daripada terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bebas,
atau mati berjuang. Itu saja!
Semua pemuda angkat senjata.
Mereka mulai berburu Babi Hutan. Tanpa terasa, makin lama, makin jauh
mereka meningalkan kampung. Tibalah mereka di perkampungan tetangga.
Mereka mendapati kampung tetangga pun mengalami hal yang sama: wajah
mereka penuh ketakutan. Ya, ketakutan yang ditebar Babi Hutan itu.
Lagi-lagi,
Babi Hutan itu. Ia bukan hanya jadi ‘malaikat maut’ di kampung mereka.
Di kampung kampung selanjutnya juga, mereka mendapati penduduknya sedang
dalam bayang-bayang ketakutan. Berlahan, barisan pemburu Babi Hutan itu
bertambah banyak.
Sampailah mereka di ibu kota, di bibir
pantai itu. Disana, semua penduduk pulau itu, yang berasal dari semua
kampung yang dibayang-bayangi ketakutan yang ditebarkan aktor yang sama,
Babi Hutan itu, telah berkumpul menjadi satu barisan.
Semua
berembuk, dan tuan tanah pemimpin kampung tetangga di bibir pantai itu
telah diangkat menjadi pemimpin mereka. Tujuan mereka satu: Babi Hutan
itu enyah dari hidup mereka di atas pulau mereka, di kampung-kampung
mereka, di seluruh penjuru pulau.
Sesaat kemudian, terdengar deru dan gemuruh dasyat.
“itu gemuruh Babi Hutan. Mari bersiap...” para pemuda bersiap di formasi masing-masing.
Bukan
Babi Hutan yang datang. Yang ada hanya kapal - kapal putih penuh
manusia berbaju loreng yang mendekati pantai pulau mereka. Yang terlihat
hanya deru helikopter yang membelah angkasa. Semua bersenjata.
“Itu
mereka, kaki tangan Babi Hutan, sang aktor penebar bayangan kematian
di negeri kita. Mari kita sambut mereka,” kata sang pemimpin rakyat.
Belum sempat ia bertindak lebih lanjut, malam itu, ia dicegat di bukit Kematian Harapan. Mayatnya ditemukan di bibir jurang.
Ketika
dari senjata makluk loreng itu keluar tembakan kematian, semua
bingung, seolah anak ayam kehilangan induk. Ada yang lari keluar dari
formasi. Beberapa orang bersimbah darah, ditembusi timah panas makluk
loreng.
Disana, di singgasana tengkorak, sang Babi Hutan tersenyum menyeringai melihat semuanya.
TAMAT
(Untuk mengingat kembali peristiwa Kongres Papua II di Hollandia, West Papua)
@Sanimala B.
Sumber : Facebook : Bastian Tebai (Catatan).
Blogger Comment
Facebook Comment