News
Loading...

Tolikara : Surat Cinta untuk Kemanusiaan


Ilustrasi - Jubi
Jayapura, Jubi – Jumat pagi, 17 Juli 2015, ketika umat Islam di seluruh dunia tengah khusyuk merayakan kemenangan Ramadhan, tiba-tiba kita dihentakkan oleh berita miris tentang kekerasan yang menimpa umat Islam yang tengah menunaikan shalat Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Sontak, memori kita kembali kepada peristiwa tragis kemanusiaan sekitar 15 tahun lalu, ketika Ambon dan Poso membara.

Dibantu media, mulai dari media arus utama sampai media sosial, berita tragis ini menggelegar dan meluas begitu cepat hingga membakar emosi umat Islam di seluruh Indonesia. Sayangnya, situasi ini tidak cukup membantu memperbaiki keadaan. Riuhnya berita di media ini justru memicu lahirnya informasi yang bias dan menjadi semakin liar. Tanpa informasi lengkap melalui investigasi yang mendalam, kita lantas larut dalam “aksi tuding” kepada salah satu kelompok sebagai yang harus bertanggung jawab dan pantas disalahkan.
Menyikapi hal tersebut, beberapa point penting perlu disampaikan.

Pertama, sesungguhnya selama ini negara tidak pernah hadir untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan bernuansa agama, termasuk yang terjadi di beberapa wilayah di Papua sebelumnya dan secara umum yang terjadi di seluruh Indonesia.

Kedua, negara gagal memberikan jaminan kepada warga minoritas untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Karena selama ini negara selalu kalah dengan keinginan kelompok mayoritas tertentu.

Ketiga, negara gagal membangun ruang komunikasi dan mediasi yang saling menguatkan antara kelompok penganut agama yang berbeda. Surat edaran dari GIDI yang disampaikan pada 11 Juli 2015 telah membuktikan bahwa pemerintah daerah tidak berinisiatif untuk mengambil langkah preventif terhadapnya.

Keempat, terkhusus di Papua, negara masih saja tampil dengan wajah yang sangat militeristik dan mendahulukan kekerasan, dan senantiasa menghadapi perbedaan pendapat di antara warganya dengan moncong senjata. Informasi terakhir, 11 orang mengalami luka serius, dan seorang anak lainnya meninggal dunia atas insiden di Tolikara.

Kelima, kita semua telah gagal membangun komunikasi antarumat beragama yang konstruktif. Ketidaktahuan umat Islam terhadap banyaknya denominasi gereja Kristen berbanding lurus dengan ketidakpahaman umat Kristen terhadap banyaknya kelompok di dalam Islam. Menuding (semua) kelompok Kristen sebagai pelaku peristiwa kekerasan pada hari Idul Fitri 1436 H adalah kekeliruan. Karena sesungguhnya denominasi gereja lain di Tolikara juga bagian dari korban dalam konteks kemerdekaan memeluk dan menjalankan ajaran agama masing-masing. Untuk diketahui, gereja-gereja di Papua berjumlah sekitar 40 denominasi yang berbeda.

Karena itu, Jaringan Keragaman Papua menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengutuk segala tindakan kekerasan yang terjadi di Kabupaten Tolikara, baik terhadap kelompok umat Islam yang tengah menjalankan Shalat Idul Fitri maupun kekerasan yang telah menimbulkan korban jiwa dari masyarakat Tolikara.


2. Menyampaikan duka dan simpati yang mendalam terhadap seluruh korban, baik dari umat Islam maupun masyarakat Tolikara.

3. Menghimbau kepada seluruh pihak untuk menahan diri dan tidak menjadikan informasi menjadi semakin terdistorsi, sehingga memunculkan kekerasan-kekerasan baru dengan berbagai semangat yang melatarinya.

4. Mendesak pemerintah pusat untuk mengusut dan menyelesaikan kekerasan yang terjadi, termasuk kekerasan intoleransi di seluruh Negara Republik Indonesia untuk tidak terulang lagi di kemudian hari dan semakin menyuburkan tirani mayoritas di Indonesia.

5. Menyesalkan sikap Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara, dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, yang tidak melakukan tindakan preventif terhadap surat edaran Badan Pekerja Wilayah Toli Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), dengan nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015.

6. Meminta pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, DPRD Tolikara, dan pihak Polres serta Koramil Tolikara, atas terjadinya kekerasan yang timbul.

7. Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara, Polres, serta Koramil Tolikara untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh warga di kabupaten Tolikara sembari terus membuka ruang-ruang perjumpaan yang saling menguatkan antarpenganut agama yang berbeda.

8. Mendesak Komnas HAM RI untuk melakukan investigasi dan penyelidikan secara obyektif dan komprehensif atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Tolikara tersebut.

Jayapura, 18 Juli 2015
JARINGAN KERAGAMAN PAPUA

Pastor Goklian PH, OFM – Fransiskan di Papua
Pendeta Kliong Tomhisa, S.Th – KPKC Sinode GKI di Tanah Papua
Yuliana Langowuyo – SKPKC Fransiskan Papua
Fr. Fredy Pawika, OFM – Fransiskan di Papua
Burhanudin, S.Th.I, MA – Sekolah Menulis Papua
Hardin Halidin – Ilalang Papua
Dzikry el Han – Alumni SPK V Papua
Petrus Supardi – Aktivis Pluralisme Papua
Martha Langowuyo – Aktivis Pluralisme Papua

(Victor Mambor)

http://tabloidjubi.com/2015/07/19/tolikara-surat-cinta-untuk-kemanusiaan/
Share on Google Plus

About suarakolaitaga

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment