Oleh : Jhon Gobai
Militer adalah angkatan bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubungan dengan angkatan bersenjata Militer biasanya terdiri atas para “prajurit” atau “serdadu” atau “anakbua”. Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme, yang artinya kurang lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang.
Saya baca satu artikel terkait definisi “Militer dan Hak Asasi Manusi” di Media Online Kompasiana, satu kalimat yang bisa di simpulkan secara wajah Negara, bagaimana militerisme hadir di berbagai bidang dan lini kehidupan masyarakat dan menjaga masyarakat Negara dari bahaya ancaman Negara. Ia (Militer) tidak hanya menjadi perajurit atau serdadu.
Sebuh kalimat yang saya kutip, “Bila berbicara militer kita juga akan selalu berbicara mengenai negara.”Hal ini menggambarkan Militer terhadap Negara, misalnya di bidang bisnis, Militer dilarang untuk melakukan bisnis dengan libatkan rakyat sipil. Dan dalam pendidikan kemiliteran juga banyak mendoktrin soal bela Negara. Kalau di bidang hokum juga Militer sendiri Punya Pengadilan tertinggi yang disebut dengan Makama Militer.
Militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki (pemimpin ritus suci, imam agung) yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.
Disiplin militer dalam menjalankan tugas adalah “kesadaran, kepatuhan, dan ketaatan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan, peraturan kedinasan, dan tata kehidupan yang berlaku bagi Militer” (Baca UU tentang hokum disiplin militer, Ketentuan Umum,Bab I). Militer melanggar Peraturan dan UU Negara adalah wajib hokum di Makama Militer bila disertai dengan bukti data yang jelas.
Sikap Militer dan kemiliteran Indonesia terhadap bela Negara dan Masyarakat sipil hari ini masih di komentari. Soal Pelanggaran HAM masih dalam Ibarat ikan yang hidup di air tawar di pindahkan di Air asin, ke lautan yang bebas. HAM? Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin dalam laporan saat rapat paripurna Pramono Anung di Gedung DPR, Rabu (24/9/2014) akhirnya mengatakan “anggota TNI merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai prajurit yang dilatih, dididik, disiapkan, diorganisasikan, dan dibina dengan tugas untuk menjaga, mengawal, mengamankan serta menyelamatkan NKRI dari berbagai ancaman. Namun, faktanya di lapangan masih terdapat oknum anggota TNI yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya, sehingga menciderai sapta marga dan sumpah prajurit”.
Selain itu juga banyak pelanggaran Ham berat yang sering Militer lakukan tanpa mempertimbangkan soal nilai hidup bagi nyawa seseorang. Contoh kasus, pembunuhan terhadap 4 pelajar oleh Militer di paniai, 8 Desember 2014 lalu adalah, Pelanggaran HAM berat. Tidak hanya melanggar UU HAM saja namun lebih lagi soal hak kodrad. Data bukti jelas, waktu kejadian di siang hari, di mata public namun proses penyelesaiannya belum tuntas. Dan juga pelanggaran-pelanggaran lainnya yang tidak disebutkan yang dilakukan oleh militer.
Contoh nyata lain soal perampasan tanah yang terjadi di Urut Sewu. Sikap militer terhadap masyarat sipil dihadapi dengan sikap militer tidak berprofesional. Walaupun lahan di persoalkan adalah milik masyarakat yang saat itu sedang berjuang untuk membertahankan sumber hidup mereka. Ini perlu di pertanyakan juga?
Soal pembunuhan Pejuang HAM di Papu Dortheis Hilo Eluwai, yang jelas-jelas di lakuan oleh Kopasus, 10 November 2001, di skylan, Port Numbai (Jayapura) (Baca Pembunuhan Theis dan Pembungkaman Ruang Demokrasi di Papua), pelaku jelas dan bukti lengkap dan banyak soroti dari dunia internasional, namun sampai hari ini telah terkubur. Hanya hari kematiannya saja yang bisa di peringati namun hal itu pun juga belum cukup untuk mecabut duri di “dada” ini. Belum lagi pembunuhan Alm. Musa Mako Tabuni, dan yang lainnya.
Penembakan-penembakan yang dilakuan oleh militer di tanah Papua sejak tahun 1963 hingga hari ini, dalam operasi-operasi Militer yang di semburkan di tanah papua, (Baca Sejarah papua, WPOL, Jhon Anari) dengan slogan pengkondisian daerah. Namun tujuan utama adalah buka lahan baru untuk transmigrasi menduduki dan masuklah sistem pemerintahan Indonesia. Saat itu masyarakat berpindah tempat ke "dusun" dan pelosok-polosok pedalaman. Dan banyak pula yang eksodus. Mulai saat itu hingga saat ini terjadi “Transformasi social budaya melalui system pemerintahan NKRI” melalui masuknya sistem Pemerintahan RI dan ketika di jalankan. (Baca Desertase S3 Pasca Sarjana, I Ngura Suryawan; Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara di Kabupaten Manokwari Selatan Prov. Papua Barat.)
Pelanggaran HAM yang baru-baru saja terjadi di timika, penembakan yang dilakukan oleh militer terhadap dua pemuda di goronggorong timika, bagimana konfli di ciptakan oleh militer sendiri, baru-baru di Jayapuara, Organda, sebelumnya juga terjadi di timika persoalan batas tanah adat. Konflik itu sengaja di ciptakan untuk pengalihan focus masyarakat dan aktifitas perusahan di Timika tetap lancar.
Militer dan Bisnis. “Tentara di daerah konflik internal biasanya melakukan tindakan ekonomi yang membahayakan, seperti pemerasan dan penyitaan properti. Di Aceh hal ini terjadi selama masa konflik. Tuntutan suap untuk militer menurun sejak terjadinya bencana tsunami di tahun 2004 dan pendatanganan damai, tetapi korupsi yang dilakukan militer telah menyebabkan tingginya biaya rekonstruksi dan menambah derita para korban bencana tsunami.” (Baca; Lisa Misol; Bisnis Militer Mengancam Hak Asasi Manusia” JUNI 21, 2006)
“Program Sejuta Hektar di Merauke Dikerjakan TNI”. Ini topic berita di media online tabloidjubi.com/2015/11/06. “Saya harus jujur mengatakan, langkah yang dilakukan TNI membuka lahan pertanian tersebut, telah menyalahi aturan. Karena Keppres mengisyaratkan adanya organisasi yang sudah terbentuk untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan,” kata Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke, kepada Jubi di Merauke.
Dalam hal ini Jokowi tidak salah memilih pekerjanya adalah militer. Selain militer jadi pekerja di perusahan Mifee milik AbuRisal Bakrie, militer hanya dimanfaatkan profesionalitasnya untuk di hadapkan dengan rakya sipil dan terus melakukan perampasan tanah adat milik masyarakat adat merauke dengan kekuatan kemiliteran.
Tentara di daerah konflik internal biasanya melakukan tindakan ekonomi yang membahayakan, seperti pemerasan dan penyitaan properti. Di Aceh hal ini terjadi selama masa konflik. Tuntutan suap untuk militer menurun sejak terjadinya bencana tsunami di tahun 2004 dan pendatanganan damai, tetapi korupsi yang dilakukan militer telah menyebabkan tingginya biaya rekonstruksi dan menambah derita para korban bencana tsunami.
Baca juga berita di Media tabloidjubi.com, “Purnawirawan Jendral Polisi Diduga Bekingi Operasional Tambang Ilegal di Degeuwo” berita ini di posting pada hari minggu, 25/10/2015. “Di Degeuwo sana sudah muncul seorang purna polisi yang berpangkat Irjen Pol. Padahal, ada masalah kemanusiaan di sana Irjen (Pol). Dalam catatan kami, dia pernah menduduki banyak jabatan penting di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), salah satunya sebagai koordinator Staf Ahil Sosial Ekonomi (Sahlisosek) Kapolri, Jenderal (Purn) Sutarman pada 2013,” kata Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai.
Purnawan itu telah, terus mendorong Di perusahan PT. Madinah Qurrata’ain, untuk terus melakukan pendulangan dengan berbagai cara. Nyawa manusia pun tidak ada nilai di matanya. “Ulah Polisi dan Birmob saat itu korban penembakan Melianus Kegepe, Mathias Tenouye, dan Selpius Kegepe. Dan pelurunya itu milik Birmob,” (Baca lanjut).
Persoalan-persoalan banyak tidak di coretkan disini dan tindakan-tindakan tidak mentransferkan dalam tindakan-tindakan militer dalam dunia kerja kemiliteran. “Dalam sistem ekonomi contohnya, khusus untuk di Indonesia, personel militer dilarang melakukan kegiatan bisnis yang melibatkan masyarakat sipil.” Kutipan ini saya ambil dari satu artikel yang sangat menarik. Ia menulis dan menjelaskan soal Militer dan HAM di media online kompasiana. com.
"Kegiatan usaha militer jelas menciptakan benturan kepentingan dengan peran militer yang sesungguhnya. Militer yang seharusnya melindungi rakyat Indonesia malah sering menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk memperlancar kepentingan usahanya. Dan karena pemerintah tidak mengontrol budgetnya, maka akhirnya kegiatan ini menjadi benar - benar tidak terkontrol". kata Lisa Misol - peneliti Bisnis dan Hak Asasi Manusia dari Human Rights Watch yang juga sebagai penulis untuk laporan ini. Laporan setebal 136 halaman bertajuk "Too High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military's Economic Activities (Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia)".
Tulisan ini betul-betul menggambarkan luas dan lengkap soal rakyat sipil korban atas kepentingan bisni militer. "Rakyat …lah yang mananggung kegiatan ekonomi militer. Sudah semestinya hal ini ditindaklanjuti secara serius". kata Misol. (Baca lanjut artikel Referensi Bukunya Misol).
Keterlibatan militer dalam bisnis illegal memperparah pelanggaran hukum dan konflik dengan kekerasan. Bisnis-bisnis illegal juga menjadi lahan yang hurus dilegalkan demi “Perut Kenyang”. Ada satu artikel yang saya baca soal bisnis-bisnis illegal milik militer terkait penyedaran obat-obat terlarang.
“Contoh yang paling kenal adalah ketika para tentara melakukan serangan dalam skala besar ke kantor polisi di sebuah pusat kota yang ramai di Sumatra Utara, menewaskan beberapa warga sipil, yang terjadi karena persengketaan kepentingan dalam peredaran 'narkoba' di kawasan tersebut. Ratusan tentara terlibat, tetapi hanya 19 orang diberhentikan dan dipenjara menyusul insiden tersebut.”(www.hrw.org/id/news/2006/06/21).
Di papua sering terjadi tapi saya tidak punya data soal pembuktian hal ini. Tetapi yang perlu di pertanyakan soal minuman keras yang dijual di tempat-tempat umum, dan beredarnya obat-obat terlarang, dan juga soal PSK. Barang-barang (obat-obat terlarang) akses masuknya lewat mana? Sebab soal keamanan dan pemeriksaan di perbatasan PNG ke Papua, Pelabuhan, terminal dan Bandar udara sangat sulit untuk meloloskan obat-obat terlarang.
Kesimpulan Tindakan-Tindakan militer di Papua terhadap rakyat sipil sangat Memprihatinkan bagi rakyat Papua. Militer di papua hari ini bergandengan dengan system pemerintahan di papua dan Seluruh Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di papua.
Hari ini militer menjadi tameng dan api untuk melancarkan sisitem pemerintahan yang sedang mecekik bumi, budaya, social politik tradisional papua, hingga menuju pintu musnahnya orang papua. Dan system pemerintahan itulah yang sedang membuka pintu Kapitalis, perusahaan masuk menghancurkan bumi dan menguras tenaga rakyat.
Militer hari ini hadir sebagi padar demi kepentigan segelintir orang di papua. Untuk pengkondisian, militer banyak bermain peran. Bagaiman militer menciptakan konflik-konflik horizontal, konflik unsur zara, hingga membangun situasi ketakutan sampai di tingkat psikis orang papua dengan cara stikma orang papua sebagi, pembuat onar, separatis, makar, teroris dan sebaginya.
"Bila hari ini militer yang menggunakan pakaian loreng, dinar militer, tidak menunjukan eksistensi sikap militernya maka Itu adalah Teroris yang Negara pelihara."_kata perempuan papua, Kristina K, saat orasi ketika aksi protes di bundaran UGM Jogja (2 Oktober 2015;10.27 waktu jogja) terkait penembakan terhadap dua pemuda asal amume oleh Militer di Timika
Penulis adalah Mahasiswa asal Papua, aktivis AMP tinggal di Pulau Jawa.
Referensi
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Militer
2. http://www.kompasiana.com/venomaxus/militer-dan-hak-asasi-manusia_5500a4f28133112819fa7c01, di post, 04 April 2011 02:52:35.
3. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1607.pdf
Ilustrsi foto; AMP |
Saya baca satu artikel terkait definisi “Militer dan Hak Asasi Manusi” di Media Online Kompasiana, satu kalimat yang bisa di simpulkan secara wajah Negara, bagaimana militerisme hadir di berbagai bidang dan lini kehidupan masyarakat dan menjaga masyarakat Negara dari bahaya ancaman Negara. Ia (Militer) tidak hanya menjadi perajurit atau serdadu.
Sebuh kalimat yang saya kutip, “Bila berbicara militer kita juga akan selalu berbicara mengenai negara.”Hal ini menggambarkan Militer terhadap Negara, misalnya di bidang bisnis, Militer dilarang untuk melakukan bisnis dengan libatkan rakyat sipil. Dan dalam pendidikan kemiliteran juga banyak mendoktrin soal bela Negara. Kalau di bidang hokum juga Militer sendiri Punya Pengadilan tertinggi yang disebut dengan Makama Militer.
Militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer memang dituntut adanya hirarki (pemimpin ritus suci, imam agung) yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.
Disiplin militer dalam menjalankan tugas adalah “kesadaran, kepatuhan, dan ketaatan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan, peraturan kedinasan, dan tata kehidupan yang berlaku bagi Militer” (Baca UU tentang hokum disiplin militer, Ketentuan Umum,Bab I). Militer melanggar Peraturan dan UU Negara adalah wajib hokum di Makama Militer bila disertai dengan bukti data yang jelas.
Sikap Militer dan kemiliteran Indonesia terhadap bela Negara dan Masyarakat sipil hari ini masih di komentari. Soal Pelanggaran HAM masih dalam Ibarat ikan yang hidup di air tawar di pindahkan di Air asin, ke lautan yang bebas. HAM? Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin dalam laporan saat rapat paripurna Pramono Anung di Gedung DPR, Rabu (24/9/2014) akhirnya mengatakan “anggota TNI merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai prajurit yang dilatih, dididik, disiapkan, diorganisasikan, dan dibina dengan tugas untuk menjaga, mengawal, mengamankan serta menyelamatkan NKRI dari berbagai ancaman. Namun, faktanya di lapangan masih terdapat oknum anggota TNI yang melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya, sehingga menciderai sapta marga dan sumpah prajurit”.
Selain itu juga banyak pelanggaran Ham berat yang sering Militer lakukan tanpa mempertimbangkan soal nilai hidup bagi nyawa seseorang. Contoh kasus, pembunuhan terhadap 4 pelajar oleh Militer di paniai, 8 Desember 2014 lalu adalah, Pelanggaran HAM berat. Tidak hanya melanggar UU HAM saja namun lebih lagi soal hak kodrad. Data bukti jelas, waktu kejadian di siang hari, di mata public namun proses penyelesaiannya belum tuntas. Dan juga pelanggaran-pelanggaran lainnya yang tidak disebutkan yang dilakukan oleh militer.
Contoh nyata lain soal perampasan tanah yang terjadi di Urut Sewu. Sikap militer terhadap masyarat sipil dihadapi dengan sikap militer tidak berprofesional. Walaupun lahan di persoalkan adalah milik masyarakat yang saat itu sedang berjuang untuk membertahankan sumber hidup mereka. Ini perlu di pertanyakan juga?
Soal pembunuhan Pejuang HAM di Papu Dortheis Hilo Eluwai, yang jelas-jelas di lakuan oleh Kopasus, 10 November 2001, di skylan, Port Numbai (Jayapura) (Baca Pembunuhan Theis dan Pembungkaman Ruang Demokrasi di Papua), pelaku jelas dan bukti lengkap dan banyak soroti dari dunia internasional, namun sampai hari ini telah terkubur. Hanya hari kematiannya saja yang bisa di peringati namun hal itu pun juga belum cukup untuk mecabut duri di “dada” ini. Belum lagi pembunuhan Alm. Musa Mako Tabuni, dan yang lainnya.
Penembakan-penembakan yang dilakuan oleh militer di tanah Papua sejak tahun 1963 hingga hari ini, dalam operasi-operasi Militer yang di semburkan di tanah papua, (Baca Sejarah papua, WPOL, Jhon Anari) dengan slogan pengkondisian daerah. Namun tujuan utama adalah buka lahan baru untuk transmigrasi menduduki dan masuklah sistem pemerintahan Indonesia. Saat itu masyarakat berpindah tempat ke "dusun" dan pelosok-polosok pedalaman. Dan banyak pula yang eksodus. Mulai saat itu hingga saat ini terjadi “Transformasi social budaya melalui system pemerintahan NKRI” melalui masuknya sistem Pemerintahan RI dan ketika di jalankan. (Baca Desertase S3 Pasca Sarjana, I Ngura Suryawan; Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara di Kabupaten Manokwari Selatan Prov. Papua Barat.)
Pelanggaran HAM yang baru-baru saja terjadi di timika, penembakan yang dilakukan oleh militer terhadap dua pemuda di goronggorong timika, bagimana konfli di ciptakan oleh militer sendiri, baru-baru di Jayapuara, Organda, sebelumnya juga terjadi di timika persoalan batas tanah adat. Konflik itu sengaja di ciptakan untuk pengalihan focus masyarakat dan aktifitas perusahan di Timika tetap lancar.
Militer dan Bisnis. “Tentara di daerah konflik internal biasanya melakukan tindakan ekonomi yang membahayakan, seperti pemerasan dan penyitaan properti. Di Aceh hal ini terjadi selama masa konflik. Tuntutan suap untuk militer menurun sejak terjadinya bencana tsunami di tahun 2004 dan pendatanganan damai, tetapi korupsi yang dilakukan militer telah menyebabkan tingginya biaya rekonstruksi dan menambah derita para korban bencana tsunami.” (Baca; Lisa Misol; Bisnis Militer Mengancam Hak Asasi Manusia” JUNI 21, 2006)
“Program Sejuta Hektar di Merauke Dikerjakan TNI”. Ini topic berita di media online tabloidjubi.com/2015/11/06. “Saya harus jujur mengatakan, langkah yang dilakukan TNI membuka lahan pertanian tersebut, telah menyalahi aturan. Karena Keppres mengisyaratkan adanya organisasi yang sudah terbentuk untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan,” kata Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke, kepada Jubi di Merauke.
Dalam hal ini Jokowi tidak salah memilih pekerjanya adalah militer. Selain militer jadi pekerja di perusahan Mifee milik AbuRisal Bakrie, militer hanya dimanfaatkan profesionalitasnya untuk di hadapkan dengan rakya sipil dan terus melakukan perampasan tanah adat milik masyarakat adat merauke dengan kekuatan kemiliteran.
Tentara di daerah konflik internal biasanya melakukan tindakan ekonomi yang membahayakan, seperti pemerasan dan penyitaan properti. Di Aceh hal ini terjadi selama masa konflik. Tuntutan suap untuk militer menurun sejak terjadinya bencana tsunami di tahun 2004 dan pendatanganan damai, tetapi korupsi yang dilakukan militer telah menyebabkan tingginya biaya rekonstruksi dan menambah derita para korban bencana tsunami.
Baca juga berita di Media tabloidjubi.com, “Purnawirawan Jendral Polisi Diduga Bekingi Operasional Tambang Ilegal di Degeuwo” berita ini di posting pada hari minggu, 25/10/2015. “Di Degeuwo sana sudah muncul seorang purna polisi yang berpangkat Irjen Pol. Padahal, ada masalah kemanusiaan di sana Irjen (Pol). Dalam catatan kami, dia pernah menduduki banyak jabatan penting di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), salah satunya sebagai koordinator Staf Ahil Sosial Ekonomi (Sahlisosek) Kapolri, Jenderal (Purn) Sutarman pada 2013,” kata Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai.
Purnawan itu telah, terus mendorong Di perusahan PT. Madinah Qurrata’ain, untuk terus melakukan pendulangan dengan berbagai cara. Nyawa manusia pun tidak ada nilai di matanya. “Ulah Polisi dan Birmob saat itu korban penembakan Melianus Kegepe, Mathias Tenouye, dan Selpius Kegepe. Dan pelurunya itu milik Birmob,” (Baca lanjut).
Persoalan-persoalan banyak tidak di coretkan disini dan tindakan-tindakan tidak mentransferkan dalam tindakan-tindakan militer dalam dunia kerja kemiliteran. “Dalam sistem ekonomi contohnya, khusus untuk di Indonesia, personel militer dilarang melakukan kegiatan bisnis yang melibatkan masyarakat sipil.” Kutipan ini saya ambil dari satu artikel yang sangat menarik. Ia menulis dan menjelaskan soal Militer dan HAM di media online kompasiana. com.
"Kegiatan usaha militer jelas menciptakan benturan kepentingan dengan peran militer yang sesungguhnya. Militer yang seharusnya melindungi rakyat Indonesia malah sering menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk memperlancar kepentingan usahanya. Dan karena pemerintah tidak mengontrol budgetnya, maka akhirnya kegiatan ini menjadi benar - benar tidak terkontrol". kata Lisa Misol - peneliti Bisnis dan Hak Asasi Manusia dari Human Rights Watch yang juga sebagai penulis untuk laporan ini. Laporan setebal 136 halaman bertajuk "Too High a Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military's Economic Activities (Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Pihak Militer Indonesia)".
Tulisan ini betul-betul menggambarkan luas dan lengkap soal rakyat sipil korban atas kepentingan bisni militer. "Rakyat …lah yang mananggung kegiatan ekonomi militer. Sudah semestinya hal ini ditindaklanjuti secara serius". kata Misol. (Baca lanjut artikel Referensi Bukunya Misol).
Keterlibatan militer dalam bisnis illegal memperparah pelanggaran hukum dan konflik dengan kekerasan. Bisnis-bisnis illegal juga menjadi lahan yang hurus dilegalkan demi “Perut Kenyang”. Ada satu artikel yang saya baca soal bisnis-bisnis illegal milik militer terkait penyedaran obat-obat terlarang.
“Contoh yang paling kenal adalah ketika para tentara melakukan serangan dalam skala besar ke kantor polisi di sebuah pusat kota yang ramai di Sumatra Utara, menewaskan beberapa warga sipil, yang terjadi karena persengketaan kepentingan dalam peredaran 'narkoba' di kawasan tersebut. Ratusan tentara terlibat, tetapi hanya 19 orang diberhentikan dan dipenjara menyusul insiden tersebut.”(www.hrw.org/id/news/2006/06/21).
Di papua sering terjadi tapi saya tidak punya data soal pembuktian hal ini. Tetapi yang perlu di pertanyakan soal minuman keras yang dijual di tempat-tempat umum, dan beredarnya obat-obat terlarang, dan juga soal PSK. Barang-barang (obat-obat terlarang) akses masuknya lewat mana? Sebab soal keamanan dan pemeriksaan di perbatasan PNG ke Papua, Pelabuhan, terminal dan Bandar udara sangat sulit untuk meloloskan obat-obat terlarang.
Kesimpulan Tindakan-Tindakan militer di Papua terhadap rakyat sipil sangat Memprihatinkan bagi rakyat Papua. Militer di papua hari ini bergandengan dengan system pemerintahan di papua dan Seluruh Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di papua.
Hari ini militer menjadi tameng dan api untuk melancarkan sisitem pemerintahan yang sedang mecekik bumi, budaya, social politik tradisional papua, hingga menuju pintu musnahnya orang papua. Dan system pemerintahan itulah yang sedang membuka pintu Kapitalis, perusahaan masuk menghancurkan bumi dan menguras tenaga rakyat.
Militer hari ini hadir sebagi padar demi kepentigan segelintir orang di papua. Untuk pengkondisian, militer banyak bermain peran. Bagaiman militer menciptakan konflik-konflik horizontal, konflik unsur zara, hingga membangun situasi ketakutan sampai di tingkat psikis orang papua dengan cara stikma orang papua sebagi, pembuat onar, separatis, makar, teroris dan sebaginya.
"Bila hari ini militer yang menggunakan pakaian loreng, dinar militer, tidak menunjukan eksistensi sikap militernya maka Itu adalah Teroris yang Negara pelihara."_kata perempuan papua, Kristina K, saat orasi ketika aksi protes di bundaran UGM Jogja (2 Oktober 2015;10.27 waktu jogja) terkait penembakan terhadap dua pemuda asal amume oleh Militer di Timika
Penulis adalah Mahasiswa asal Papua, aktivis AMP tinggal di Pulau Jawa.
Referensi
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Militer
2. http://www.kompasiana.com/venomaxus/militer-dan-hak-asasi-manusia_5500a4f28133112819fa7c01, di post, 04 April 2011 02:52:35.
3. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1607.pdf
4. www.hrw.org/id/news/2006/06/21/230454, Indonesia: “Bisnis Militer Mengancam Hak Asasi Manusia” JUNI 21, 2006
6. I Ngura Suryawan, Desertase S3 Pasca Sarjana; Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara di Kabupaten Manokwari Selatan Prov. Papua Barat
7. Pdt. Dr. Beny Giyai;"Pembunuhan Theis dan Pembungkaman Runga Demokrasi di Papua.'
8. Dokumen PDF; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014Tentang Hukum disiplin Militer
8. Dokumen PDF; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014Tentang Hukum disiplin Militer
Sumber : http://www.ampnews.org/2015/11/refleksi-sikap-bisnis-miiter-dan.html
Blogger Comment
Facebook Comment