PABRIK SAGU PRESIDEN vs MENTAWAI. Dalam kunjungannya ke Papua pergantian tahun kemarin, Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik sagu terbesar di Indonesia, di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan.
Kapasitas produksinya mencengangkan: sanggup mengolah 6.000 ruas sagu
(tual) dan memproduksi tepung sagu hingga 100 ton per hari.
Bila satu pohon diasumsikan memiliki 6 ruas (tual), maka pabrik milik Perum Perhutani yang diresmikan Presiden Jokowi itu akan menumbangkan 1.000 pohon sagu setiap hari. Sebagai catatan, untuk menumbuhkan satu pohon sagu hingga siap tebang, memerlukan waktu setidaknya 10 tahun.
Pertanyaannya: apakah kecepatan pertumbuhan pohon dapat mengimbangi kapasitas produksi? Apakah Perhutani juga ikut menanam?
Pertanyaan berikutnya, apakah strategi produksi massal pangan rakyat ini dibarengi dengan revitalisasi kultural mengonsumsi sagu, setelah sekian dekade digerus program "berasisasi"?
Dalam bahasa ekonomi, pabrik dengan kapasitas sebesar itu dibangun untuk menjawab permintaan lokal (demand) --akibat kewalahannya pengolahan sagu rakyat tradisional-- atau justru menciptakan suply untuk pasar yang lain?
Apakah investasi ini berkorelasi dengan ketahanan pangan rakyat Papua, atau hanya sisi hulu dari industri food and beverages di bagian yang lain?
Sebab di sisi Papua yang lain (Merauke), Presiden Jokowi juga berambisi mencetak 1,2 juta hektare sawah yang akan menggerus lahan basah dan hutan sagu masyarakat di selatan. Dan ini adalah dua program ekonomi yang saling bertolak belakang secara filosofis dan antropologis.
Di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, kami juga mendapati sagu yang dikelola dalam skala industri (perkembangan dari sistem kelola tradisional per rumah tangga). Tapi skalanya hanya industri rumahan yang melibatkan 2-3 keluarga.
Letaknya di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, yang dimiliki oleh keluarga Hanafi Satottotakek (30) sejak 2012. Kapasitas produksinya hanya 375 kg per hari. Harga jualnya ke masyarakat 2.000 rupiah per kg karena harus mempertahankan harga di bawah "raskin" yang 3.000 rupiah per kg.
"Kalau raskin telat masuk, sagu kami laris. Tapi kalau ada raskin, pembeli berkurang," tutur Hanafi sambil tertawa.
Seperti halnya pabrik sagu presiden di Papua, Hanafi juga membeli batang sagu dari masyarakat rata-rata 15 tual per hari. Satu tual (1,25 meter) dibeli dengan harga 10.000 rupiah (sekaligus klarifikasi pada pemberitaan rappler.com yang menulis angka 100 rupiah - http://www.rappler.com/…/117865-catatan-tim-ekspedisi-indon…)
Dengan asumsi yang sama pula, maka industri rumahan seperti milik Hanafi hanya menumbangkan rata-rata 3 pohon sagu setiap hari.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari home industry sagu ala Mentawai versus pabrik sagu skala besar ala Presiden dan Perhutani?
Pertama, produksi pangan rakyat seyogyanya kepemilikannya berbasis masyarakat (production by mass), dan tidak harus dalam skala industri (mass production). Konsentrasi dan volume produksi sebesar itu pasti memiliki konsekuensi ekologis yang serius. Apalagi warga Papua tidak semuanya punya tradisi menanam sagu. Sebagian besar sagu tak pernah mereka tanam dan tumbuh begitu saja di hutan.
Adapun masyarakat Mentawai, masih memiliki konsep menanam sagu.
Kedua, meski tujuannya baik --yakni diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan pada beras-- namun masih menyisakan pertanyaan apakah kapasitas produksi sebesar itu memang dalam skema mentransformasi pangan warga Papua atau memenuhi permintaan sektor industri yang lain, misalnya pabrik roti atau kue.
Sebab, bercermin dari Mentawai saja, permintaan sagu sangat tergantung dari ketersediaan raskin. Itu pun di daerah-daerah yang akses transportasinya terjangkau seperti pusat Kecamatan Siberut Selatan. Adapun di daerah pedalaman, ongkos transportasi untuk membeli sagu --meski harganya di bawah raskin-- tetap tidak sebanding, sehingga mereka akan tetap memilih pengolahan sagu secara tradisional.
Akibatnya, penyerap sagu terbesar produksi keluarga Hanafi justru toko-toko di Padang (Sumatra daratan) untuk bahan kue.
Apakah studi seperti ini telah komprehensif dilaksanakan di Papua?
Ketiga, apakah setelah tersedia sagu 100 ton per hari, masyarakat di pedalaman mudah mengaksesnya? Atau jangan-jangan, agar sepadan antara ongkos transportasi dan volume sagu yang dibeli, mereka harus memborong minimal 10 karung (250 kg) setiap berbelanja?
Apakah skala ekonomi masyarakat di pedalaman memungkinkan melakukan itu?
Apakah ketersediaan suplai yang besar ini akan dibarengi dengan turunnya konsumsi beras, menekan pengiriman raskin, dan berkaitan dengan pengurangan target ambisius 1,2 juta hektare sawah?
Bila jawaban atas semua pertanyaan ini tak terhubung satu dengan yang lain, maka patut dikaji lebih serius pilihan model produksi dengan skala industri atas pangan rakyat yang sejatinya bisa dikelola dalam satuan unit-unit yang lebih kecil dan menjadi milik bersama.
"Small is beautiful," kata ekonom Schumacher.
Bila satu pohon diasumsikan memiliki 6 ruas (tual), maka pabrik milik Perum Perhutani yang diresmikan Presiden Jokowi itu akan menumbangkan 1.000 pohon sagu setiap hari. Sebagai catatan, untuk menumbuhkan satu pohon sagu hingga siap tebang, memerlukan waktu setidaknya 10 tahun.
Pertanyaannya: apakah kecepatan pertumbuhan pohon dapat mengimbangi kapasitas produksi? Apakah Perhutani juga ikut menanam?
Pertanyaan berikutnya, apakah strategi produksi massal pangan rakyat ini dibarengi dengan revitalisasi kultural mengonsumsi sagu, setelah sekian dekade digerus program "berasisasi"?
Dalam bahasa ekonomi, pabrik dengan kapasitas sebesar itu dibangun untuk menjawab permintaan lokal (demand) --akibat kewalahannya pengolahan sagu rakyat tradisional-- atau justru menciptakan suply untuk pasar yang lain?
Apakah investasi ini berkorelasi dengan ketahanan pangan rakyat Papua, atau hanya sisi hulu dari industri food and beverages di bagian yang lain?
Sebab di sisi Papua yang lain (Merauke), Presiden Jokowi juga berambisi mencetak 1,2 juta hektare sawah yang akan menggerus lahan basah dan hutan sagu masyarakat di selatan. Dan ini adalah dua program ekonomi yang saling bertolak belakang secara filosofis dan antropologis.
Di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, kami juga mendapati sagu yang dikelola dalam skala industri (perkembangan dari sistem kelola tradisional per rumah tangga). Tapi skalanya hanya industri rumahan yang melibatkan 2-3 keluarga.
Letaknya di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, yang dimiliki oleh keluarga Hanafi Satottotakek (30) sejak 2012. Kapasitas produksinya hanya 375 kg per hari. Harga jualnya ke masyarakat 2.000 rupiah per kg karena harus mempertahankan harga di bawah "raskin" yang 3.000 rupiah per kg.
"Kalau raskin telat masuk, sagu kami laris. Tapi kalau ada raskin, pembeli berkurang," tutur Hanafi sambil tertawa.
Seperti halnya pabrik sagu presiden di Papua, Hanafi juga membeli batang sagu dari masyarakat rata-rata 15 tual per hari. Satu tual (1,25 meter) dibeli dengan harga 10.000 rupiah (sekaligus klarifikasi pada pemberitaan rappler.com yang menulis angka 100 rupiah - http://www.rappler.com/…/117865-catatan-tim-ekspedisi-indon…)
Dengan asumsi yang sama pula, maka industri rumahan seperti milik Hanafi hanya menumbangkan rata-rata 3 pohon sagu setiap hari.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari home industry sagu ala Mentawai versus pabrik sagu skala besar ala Presiden dan Perhutani?
Pertama, produksi pangan rakyat seyogyanya kepemilikannya berbasis masyarakat (production by mass), dan tidak harus dalam skala industri (mass production). Konsentrasi dan volume produksi sebesar itu pasti memiliki konsekuensi ekologis yang serius. Apalagi warga Papua tidak semuanya punya tradisi menanam sagu. Sebagian besar sagu tak pernah mereka tanam dan tumbuh begitu saja di hutan.
Adapun masyarakat Mentawai, masih memiliki konsep menanam sagu.
Kedua, meski tujuannya baik --yakni diversifikasi pangan dan mengurangi ketergantungan pada beras-- namun masih menyisakan pertanyaan apakah kapasitas produksi sebesar itu memang dalam skema mentransformasi pangan warga Papua atau memenuhi permintaan sektor industri yang lain, misalnya pabrik roti atau kue.
Sebab, bercermin dari Mentawai saja, permintaan sagu sangat tergantung dari ketersediaan raskin. Itu pun di daerah-daerah yang akses transportasinya terjangkau seperti pusat Kecamatan Siberut Selatan. Adapun di daerah pedalaman, ongkos transportasi untuk membeli sagu --meski harganya di bawah raskin-- tetap tidak sebanding, sehingga mereka akan tetap memilih pengolahan sagu secara tradisional.
Akibatnya, penyerap sagu terbesar produksi keluarga Hanafi justru toko-toko di Padang (Sumatra daratan) untuk bahan kue.
Apakah studi seperti ini telah komprehensif dilaksanakan di Papua?
Ketiga, apakah setelah tersedia sagu 100 ton per hari, masyarakat di pedalaman mudah mengaksesnya? Atau jangan-jangan, agar sepadan antara ongkos transportasi dan volume sagu yang dibeli, mereka harus memborong minimal 10 karung (250 kg) setiap berbelanja?
Apakah skala ekonomi masyarakat di pedalaman memungkinkan melakukan itu?
Apakah ketersediaan suplai yang besar ini akan dibarengi dengan turunnya konsumsi beras, menekan pengiriman raskin, dan berkaitan dengan pengurangan target ambisius 1,2 juta hektare sawah?
Bila jawaban atas semua pertanyaan ini tak terhubung satu dengan yang lain, maka patut dikaji lebih serius pilihan model produksi dengan skala industri atas pangan rakyat yang sejatinya bisa dikelola dalam satuan unit-unit yang lebih kecil dan menjadi milik bersama.
"Small is beautiful," kata ekonom Schumacher.
0 komentar :
Posting Komentar