Wamena, Jubi – Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh setiap tanggal 10 Desember, diperingati di seluruh dunia, termasuk di Papua begitu juga di Kabupaten Jayawijaya.
Beberapa kota di Papua dilakukan dengan menggelar aksi demo untuk memperingati hari tersebut. Di Wamena, Jayawijaya, kaum peduli HAM merefleksikan pelanggaran HAM selama tahun ini dengan menggelar diskusi dan jumpa pers di Rumah Bina Wamena, Kamis (10/12/2015).
Ketua Advokasi dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem, bersama aktivis HAM lainnya, Pastor Jhon Djonga, Julianus Ivan Simamora, Cyrus Simalango, Ketua Dewan Adat Balim Lapago, Engelbert Sorabut, Tokoh Perempuan Maria Wetipo dan Budayawan Niko Ricard Lokobal.
Situasi HAM di Pegunungan Papua disebutkan:
I. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
– Kelangkaan dan tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan mahalnya harga-harga barang kebutuhan hidup yang sudah lama terjadi, membuat masyarakat di wilayah ini merasakan adanya diskriminasi dibandingkan masyarakat Indonesia di wilayah lain.
– Buruknya kondisi pelayanan kesehatan dan pendidikan masih terus terjadi, petugas kesehatan dan guru-guru yang tidak ada di tempat, Puskesmas dan Sekolah tanpa fasilitas yang memadai yang mengakibatkan masyarakat pegunungan tengah Papua berada dalam kondisi tertinggal jauh dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.
– Program-program dari pemerintah pusat seperti beras untuk masyarakat miskin (raskin) dan perumahan untuk rakyat yang dilaksanakan di kabupaten tidak transparan dan akuntabel, tidak jelas siapa penanggung jawabnya dan bagaimana sistem dan prosedur yang seharusnya, karena hampir semua tidak tepat sasaran, tidak tepat biaya, tidak tepat jumlah, tidak tepat waktu, tidak tepat kualitas dan tidak tepat budaya.
– Dana desa yang dimaksud untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat, dalam realisasinya tidak banyak memberi manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat kampung, karena ternyata habis dibagi rata di antara masyarakat bahkan sebagian dana diselewengkan oleh aparat kampung untuk kepentingan pribadi.
– Peluang usaha khususnya usaha kecil dan menengah bagi masyarakat asli Papua tidak cukup didukung dan difasilitasi oleh pemerintah. Mereka dibiarkan bersaing dengan pedagang non Papua yang dalam hal modal, pengalaman dan jaringan lebih kuat bahkan fasilitas yang dibuat untuk pedagang asli Papua pun dibuat tanpa perencanaan yang baik sehingga terkesan mubazir.
– Usulan pemekaran daerah otonomi baru terus bergulir seperti bola liar tanpa mendapat bimbingan dan penghargaan yang memadai dari pemerintah daerah, sehingga berpotensi memicu konflik horizontal di antara para pendukung dan penolak.
II Hak Sipil dan Politik
– Sejumlah kekerasan dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan masih banyak kasus kekerasan oleh aparat negara yang menyebabkan kematian masyarakat sipil, paling sedikit dari tahun 2008 sampai sekarang yang belum dan para pelakunya dibiarkan tetap bebas.
– Berbagai penangkapan terhadap masyarakat Papua dilakukan dengan stigmatisasi separatis atau kriminalisasi masyarakat adat tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu, yang ternyata setelah diperiksa tidak ditemukan kesalahan sehingga kemudian dilepas kembali.
– Masyarakat tidak bisa bebas mewujudkan demokrasi dan menyampaikan pendapatnya karena dihalang-halangi, diancam dan ditangkap.
– Jurnalis lokal yang meliput kekerasan oleh aparat diintimidasi agar memberitakan situasi keinginan aparat. Sementara jurnalis asing tetap dipersulit untuk meliput ke Papua.
– Penahanan dan penangkapan yang dilakukan aparat sering kali tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku, dan sering disertai dengan ancaman, penyiksaan dan bahkan penembakan yang tidak diperlukan.
– Beberapa persoalan hukum yang terjadi, di antara masyarakat, tidak segera ditegakkan sehingga membiarkan masyarakat terus bertikai termasuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
– Kasus kekerasan di Karubaga, Tolikara pada 17 Juli 2015, sekarang dilanjutkan dengan proses hukum terhadap orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan dan pembakaran kios sedang berjalan. Namun ironisnya, pelaku penembakan dari pihak aparat yang menyebabkan satu orang meninggal dunia dan sebelas orang luka-luka di pihak masyarakat setempat, justru belum disentuh.
– Kasus-kasus yang terjadi di Enarotali, 8 Desember 2014, Yahukimo 15 Maret 2015, Timika, 28 Agustus 2015 dan 28 September 2015 dan wilayah lainnya di Papua hingga kini didiamkan, walaupun banyak pihak sudah seringkali mempertanyakan dan mendesak penyelesaian yang adil.
– Pendiaman dan pembiaran kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara ini memberi kesan seolah-olah kekerasan ini direstui atau bahkan dilakukan oleh negara sendiri. (Islami)
http://tabloidjubi.com/home/2015/12/10/ini-kondisi-ham-2015-versi-aktivis-ham-pegunungan-tengah-papua/2/
0 komentar :
Posting Komentar