Anggota dan deklarator ULMWP foto bersama dengan pemangku adat dan pemerintah negara Vanuatu. Foto: Ist.
Dalam sebulan terakhir, khususnya pada bulan Mei yang lalu hingga awal Juni 2015 ini, aktivitas politik rakyat Papua yang direpresentasikan dalam bentuk aksi-aksi damai oleh aktivis perjuangan hak politik macam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) cukup menyita perhatian publik melalui mass media cetak dan elektronik, maupun media online di Tanah Papua, bahkan Indonesia hingga dunia internasional.
Ujung dari aksi tersebut beberapa aktivis KNPB harus mengakhiri perjuangannya di balik jeruji besi atau tahanan institusi keamanan seperti POLRI, misalnya di Manokwari, saat ini ada 4 (empat) orang aktivis KNPB telah ditangkap dan ditahan di Mako Brimob Sub Den 3 Pelopor C Manokwari - Papua Barat.
Mereka yang ditangkap dan ditahan oleh Satreskrim Polres Manokwari pasca aksi damai 20 Mei 2015 itu adalah : Alexander Nekenem, Narko Murib, Maikel Aso dan Yoram Magai.
Selain itu ada juga beberapa aktivis KNPB yang ditangkap dan ditahan di Jayapura, Wamena, Nabire, Sorong, Fakfak bahkan Biak dan Nabire serta juga di Timika.
Pertanyaannya adalah mengapa mereka ditangkap dan ditahan oleh Polisi? Apakah tindakan yang mereka sudah perbuat, sehingga menjadi sebab atau alasan mereka ditangkap dan ditahan serta diproses secara hukum ?
Sejauh pengetahuan dan pemahaman saya sebagai salah satu Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua, saat ini memang perhatian sebagian besar rakyat Papua sedang terarah pada rencana penyelenggaraan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) dari Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Kelompok Negara-negara Rumpun Ras Melanesia pada tanggal 17 hingga 26 Juni 2015 di Honiara, Ibukota Kepulauan Solomon (Solomon Island) di kawasan Pasifik Selatan.
Muncul pertanyaan berikut, ada apa dengan KTT MSG tersebut ? Apa hubungannya dengan Papua ? Atau apa hubungannya dengan rakyat Papua ? Mengapa rakyat Papua memberi perhatian pada KTT MSG tersebut ?
KTT MSG di Honiara, pertengahan bulan ini, akan membahas dan mempertimbangkan serta memutuskan dapat menerima atau menolak aplikasi permintaan status keanggotaan dari sebuah organisasi bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat.
ULMWP sendiri telah didirikan sebagai organisasi payung dari sejumlah organisasi perjuangan rakyat sipil di Tanah Papua, seperti Parlemen Nasional Papua Barat (PNWP), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) atau Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan.
Ketiga organisasi tersebut sudah menyatukan langkah perjuangan diplomasi politiknya di tingkat internasional, khususnya di kawasan Pasifik Barat daya dan Selatan.
Secara lebih khusus di kalangan negara-negara yang mayoritas rakyat/penduduknya berasal dari rumpun Ras Melanesia, ULMWP dikedepankan untuk menjadi wadah representase politik rakyat Papua dewasa ini di kawasan Melanesia tersebut.
Salah satu isu yang diangkat dan senantiasa diperjuangkan oleh rakyat Papua, termasuk melalui ULMWP adalah persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Tanah Papua, yang senantiasa menimbulkan akibat jatuhnya korban di pihak rakyat sipil di Tanah Papua, namun tidak pernah diselesaikan secara hukum oleh Pemerintah Indonesia dari masa ke masa.
Sehingga dari waktu ke waktu hal tersebut menjadi masalah utama yang tidak pernah terselesaikan selama lebih kurang 50 tahun Tanah Papua menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kendatipun di dalam Pasal 45 dan 46 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008, telah diatur mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.
Namun demikian dalam konteks implementasi riilnya di lapangan senantiasa tidak terlaksana dengan baik. Dalam arti bahwa berbagai kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada kurun waktu antara tahun 1963 hingga 2015 ini tidak pernah terselesaikan secara hukum di depan pengadilan.
Misalnya kasus ditangkap dan ditahan bahkan diasingkannya ratusan orang asli Papua pada saat menjelang pelaksanaan Act Of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) menurut Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 atau yang oleh Pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Dimana saat itu sejumlah aktivis politik dan warga sipil Papua ditangkap dan ditahan selama berbulan-bulan menjelang hingga setelah pelaksanaan kegiatan yang merupakan bagian dari kesempatan memperoleh Hak Menentukan Nasib Sendiri tersebut.
Mereka ditahan tanpa proses peradilan di sejumlah tahanan militer di sejumlah kota besar di Tanah Papua, seperti di Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, dan Merauke.
Bahkan ada puluhan dan ratusan orang Papua lainnya yang diasingkan dan ditahan di penjara-penjara di Pulau Jawa seperi Penjara Sukamiskin di Jawa Barat, Cipinang di Jakarta atau Kalisosok di Surabaya-jawa Timur.
Selain itu juga seperti dalam kasus dugaan pembunuhan kilat terhadap 53 warga sipil Papua pada tanggal 28 Juli 1969 di Markas Yonif 753 Arfay-Manokwari yang diduga dilakukan oleh aparat TNI.
Juga dugaan pembunuhan kilat terhadap ratusan warga sipil di atas salah satu kapal TNI Angkatan Laut pasca operasi penyerbuan terhadap para aktivis demo damai di bawah Menara Air di dekat Pelabuhan Laut Biak, 6 Juni 1998.
Dugaan penyerbuan dan atau penembakan dari udara oleh aparat TNI Angkatan Udara dengan menggunakan pesawat jet tempur jenis OV-Bronco pada tahun 1977-1978, yang menewaskan ratusan bahkan diduga ribuan jiwa warga sipil di kawasan Pegunungan tengah - Provinsi Papua.
Kasus dugaan terjadinya tindakan-tindakan penganiayaan, pemerkosaan, penahanan sewenang-wenang di luar proses hukum, serta pembunuhan kilat terhadap puluhan bahkan ratusan warga sipil pasca 13 Juni 2001 di Wasior dan sekitarnya (kini wilayah Kabupaten Teluk Wondama-Provinsi Papua Barat) oleh aparat keamanan dari Satuan Brimob Polda Papua.
Kasus tewasnya 5 (lima) orang warga sipil di Aimas-Sorong pada peristiwa 30 April 2013 yang diduga keras akibat tembakan senjata api dari aparat keamanan Polres Sorong kota dan TNI.
Kasus tewasnya 5 (lima) warga sipil di lapangan Karel Gobay-Enarotali, Kabupaten Paniai - Provinsi Papua yang diduga akibat tembakan senjata api dari aparat TNI dan POLRI pada 8 Desember 2014.
Kesemua kasus tersebut hingga dewasa ini tidak pernah terselesaikan bahkan tersentuh sekalipun dengan kemauan politik (political will) dari Pemerintah Indonesia sejak masa orde baru hingga masa orde refromasi dewasa ini.
Sehingga kesadaran Pemerintah Indonesia sebagaimana termaktub di dalam salah satu konsideran Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentangOtonomi Khusus Bagi Provinsi Papua bahwa penyelenggaraann pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua (dahulu Provinsi Papua) belum sepenuhnya mememnuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Tanah Papua (provinsi Papua), khususnya masyarakat Papua.
Itu semua ternyata semakin tidak terpenuhi dan bahkan muncul kekuatiran bahkan keputusasaan di kalangan mayoritas rakyat Papua bahwa tak ada harapan untuk memperoleh keadilan dan kedamaian bahkan penghormatan akan status dan hak asasinya sebagai manusia ciptaan Tuhan bilamana masih tetap ada dalam Pangkuan Ibu Pertiwi.
Rakyat Papua memandang bahwa jika mereka masih tetap ada di dalam Pangkuan Ibu Pertiwi, maka peluang diperlakukan sebagai sesama warga negara merdeka dan orang asli pemilik bumi cenderawasih ini tak akan pernah memperoleh penghargaan dari negara Indonesia, bahkan kemungkinan terjadinya pemusanahan etnis (genocida) sangat besar peluang terjadinya bagi generasi orang asli Papua ke depan.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan sehingga pilihan saat ini dari mayoritas rakyat Papua adalah mau bebas, mau merdeka, mau memperoleh kesempatan mengatur dirinya sendiri bahkan mau memperoleh kesempatan dan ruang yang adil dan transparan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Tentu pembuktiannya secara ilmiah dapat diperoleh dari penyelengaraan polling pendapat dengan menggunakan metode statistik yang dapat dipertanggung-jawabkan derajat ilmiahnya.
Keinginan-keinginan itulah yang mendorong rakyat Papua sejak dahulu hingga dewasa ini untuk terus berjuang untuk memperoleh dukungan moril, sosial tapi juga politik dari berbagai pihak dan utamanya dari sesama saudaranya dari rumpun ras Melanesia yang saat ini sudah merdeka diantaranya di Papua New Guinea (PNG), Fiji, Vanuatu dan Republik Kepulauan Solomon (Solomon Island) dan juga saudara-saudara lainnya di New Caledonia dari Rakyat Kanaky.
Berhimpunnya rakyat Papua melalui faksi-faksi perjuangan tersebut dalam ULMWP diharapkan mampu membawa dan menyampaikan keluh-kesah mereka sebagaimana saya uraikan diatas kepada sesama saudara-saudara mereka dari Melanesia (Melanesian Brothers) untuk memperoleh status sebagai anggota MSG.
Keanggotaan MSG sesungguhnya bagi ULMWP bukan semata-mata untuk menjadi "kartu as" menuju Papua Merdeka, tapi yang terpenting adalah untuk memperoleh proteksi internasional sebagai bagian dari sebuah perhimpunan rumpun ras Melanesia yang juga memiliki hak asasi manusia yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi di dunia.
Sehingga peluang untuk mendorong upaya-upaya demokratis dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua selama lebih kurang 50 tahun di bawah Pemerintahan Republik Indonesia dapat terselesaikan secara hukum dan menurut prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal.
Dengan demikian maka sesungguhnya peran dari para aktivis muda Papua yang bernaung di bawah wadah KNPB dalam melakukan aksi-aksi damai untuk mendukung dan mengajak rakyat Papua mendukung ULMWP dapat diterima sebagai anggota MSG adalah sebuah langkah yang tentu saja tidak dapat serta merta dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
Hal ini hanya bisa terjadi apabila semua pihak di Tanah Papua dan Indonesia, termasuk Pemerintah dan aparat keamanan/penegak hukum melihat dinamika politik rakyat Papua dengan sudut pandang berdimensi hak asasi manusia dan demokrasi.
Itulah mengapa saya berani menyatakan saat ini bahwa kelak diterimanya ULMWP sebagai anggota dari MSG sesungguhnya merupakan suatu langkah maju dalam konteks pemenuhan hak-hak asasi Orang Asli Papua sebagai bagian dari rumpun Ras Melanesia dan sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat Pribumi di dunia internasional yang memiliki hak-hak yang sama dan dijamin dalam instrumen-instrumen internasional yang mesti memperoleh perlindungan secara masif.
Bahwa apabila aplikasi penawaran keanggotaan ULMWP diterima oleh MSG dalam Leaders Summitnya pada 26 Juni 2015 mendatang, maka sesungguhnya sebuah perubahan tradisi demokrasi dan praktek pendekatan politik pemerintah Indonesia di Tanah Papua akan terjadi dan mungkin ini merupakan bagian dari trend politik baru di Kawasan Pasifik yang mesti diterima semua pihak di dunia, termasuk Pemerintah Indonesia tentu.
Yan Christian Warinussy Adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Salah satu Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua tinggal di Manokwari-Provinsi Papua Barat/Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada/Koordinator Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari/Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua/Staf Ahli MRP Provinsi Papua Barat.
http://majalahselangkah.com/content/-aplikasi-umlwp-ke-msg-menuju-pemenuhan-ham-rakyat-papua
Blogger Comment
Facebook Comment