Illustrasi PT.FI.Ekonomi Koloni dalam Dekapan Sang Kolonial |
Oleh : Topilus B
Penjajahan
selalu dilandasi tujuan penjajahan. Alasan ekonomi sering menjadi alasan utama,
bila dilihat dari kamus penjajahan dunia sepanjang sejarah dunia.
Dalam
tulisan ini, dengan keterbatasan penulis, yang ingin diperkenalkan adalah
mengenai gambaran umum perekonomian zaman kolonial, menyangkut perekonomian dan
struktur perekonomian, disertai trik-trik ekonomi untuk memperkuat kedudukan
kolonial di tanah koloni.
Untuk
memahami yang saya maksud, baiklah dimengerti dahulu apa itu kolonial.
Kolonial, sebuah kata yang berasal dari kata dasar; koloni, yang artinya, tanah
jajahan. Kolonial adalah sebutan bagi bangsa yang menjajah. Sementara
kolonialisme secara sederhana dapat dimengerti sebagai sebuah paham untuk
menguasai semua aspek hidup daerah koloni oleh sang kolonial.
Ekonomi Kolonial
Ekonomi
kolonial, yang dimaksud adalah perekonomian di daerah koloni yang dijalankan
oleh pemerintah kolonial di daerah koloni. Seperti lazimnya sistem
kolonialisme, dalam menjalankan ekonomi di daerah koloni, bukan kemakmuran
rakyat koloni yang diutamakan. Yang diutamakan tentu adalah kesejahteraan
bangsa kolonial.
Ada
beberapa ciri utama yang menjadi cerminan, yang memberi kita gambaran dari
ekonomi kolonial pada daerah koloni pada umumnya. Berikut dijabarkan satu
persatu.
Pertama:
Perekonomian di daerah koloni hanya diposisikan sebagai pemasok bahan mentah
bagi negara kolonial dan negara-negara sekutunya yang ikut menancapkan
cakar-cakarnya di tanah koloni.
Bahan
mentah dieksploitasi di tanah koloni. Diangkut semuanya keluar dari tanah
koloni, di pabrik-pabrik pengolahan barang mentah milik sang kolonial. Yang ada
di daerah koloni adalah lebih kepada peredaran uang upah kerja
pengeksploitasian, dan pengangkutan bahan mentah ke pabrik kolonial di luar
tanah koloni.
Tanah
koloni, tidak lebih, tidak kurang, hanya dibuat sebagai tempat menghasilkan
barang mentah, untuk pabrik-pabrik milik kolonial, untuk majunya perekonomian
mereka.
Kedua:
Pasar dan sistematika perputaran perekonomian pada daerah koloni dijadikan
sebagai pasar barang-barang jadi yang dibuat oleh negara kolonial, dan negara-negara
lain yang ikut menancapkan cakar ekonominya di tanah koloni.
Barang
mentah yang diambil dan dibawa ke pabrik-pabrik milik sang kolonial kembali ke
tanah koloni dalam bentuk barang jadi dan setengah jadi. Intinya, semua yang
telah memunyai nilai guna, hasil pengolahan barang mentah itu, didatangkan
untuk dipasarkan kembali kepada rakyat koloni.
Ketiga:
Perekonomian di daerah koloni dijadikan tempat pemutaran kelebihan uang bagi
negara kolonial, juga sekutunya, untuk mengeksploitasi sumber daya alam daerah
koloni, mengeksploitasi sumber daya manusia untuk menggerakkan segala sektor
perekonomian ala kolonial, untuk semakin mempertebal pipa hisapan sang
kolonial.
Ketika
modal berlipatganda hasil eksploitasi yang pertama, yang dipikirkan sang
kolonial adalah bagaimana menambah pipa-pipa hisapan baru, untuk menghisap
habis sumber daya alam yang ada, untuk dibawa ke pabrik-pabrik miliknya di luar
tanah jajahan, untuk kemudian dipasarkan.
Keempat:
Pembunuhan kreativitas dan kemandirian usaha dan hidup ekonomi. Atau lebih
tepatnya, pemotongan nafas hidup ekonomi rakyat koloni dengan berbagai program
kolonial. Di sini, banyak program ala kolonial yang manis di bibir dan teori,
tetapi sepahit empedu bagi rakyat koloni dimunculkan.
Kemandirian
hidup dalam skala kecil mungkin dapat ditolelir. Tetapi bila dianggap akan
membahayakan keberadaan pasar milik kolonial di tanah koloni, akan ada banyak
cara untuk mematahkan usaha lokal yang ingin mandiri itu.
Perlu
diketahui, bahwa dasar bagi penjajahan adalah adanya ketergantungan masyarakat
koloni kepada pemerintah kolonial. Ketergantungan ini bila disingkronkan dalam
konteks kemandirian, artinya kolonial tidak ingin adanya kehidupan mandiri. Ia
ingin semua bergantung padanya, sehingga rakyat terjajah selalu merasa membutuhkan
sang kolonial.
Karena
hanya ketika rakyat mandirilah, ia akan merasa tidak membutuhkan sang kolonial,
dan mata hati untuk melihat keburukan sang kolonial ada. Ini bisa jadi menjadi
cikal bakal perjuangan menentang kolonial.
Kolonial
akan lebih bersifat kapitalis. Pemilik modal adalah sang kolonial atau badan
atau organ bentukan bersama untuk menjalankan semua entitas usaha di daerah
koloni, juga dengan tujuan sama: pengerukan kekayaan tanah koloni untuk laba.
Struktur Sosial Ekonomi Kolonialis
Dalam catatan
sejarah dunia kolonialisme, sang kolonial dengan perekonomiannya pada akhirnya
melahirkan strata sosial ekonomi dalam hidup rakyat koloni di tanah koloni.
Berikut ini dijelaskan secara rinci, tiga struktur (strata) sosial ekonomi
dalam perekonomian ala kolonial, yang biasa ada di daerah koloni, yaitu: kelas
atas, kelas menengah dan kelas bawah.
Kelas
Atas. Mereka yang berada pada strata teratas ini semua adalah bangsa kolonial.
Mereka adalah golongan orang yang jumlahnya sedikti dibanding golongan menengah
dan golongan bawah, tetapi memunyai kekuasaan untuk mengatur segala sesuatu
masing-masing menurut fungsinya. Intinya, tidak ada rakyat koloni dalam strata
teratas ini, walau di atas tanah mereka sendiri.
Kelas
Menengah. Kelas menengah, terdiri dari dua bagian besar. Pertama, kaum kolonial
yang jabatan, pangkat, penghasilan, dan kemapanan ekonominya lebih rendah dari
mereka yang berada pada strata teratas. Kedua, kaum elite lokal, dari antara
rakyat koloni. Biasanya adalah orang-orang terkemuka dari antara rakyat pemilik
SDA, rakyat pemilik tanah koloni. Mereka menempati posisi ini.
Perlu
diingat, kemungkinan besar, kaum elite lokal ini adalah mereka yang berdiam
diri atas kebutuhan dan kepentingan rakyat koloni, juga mereka kemungkinan
adalah pelayan (hamba) pemerintahan sang kolonial. Bila tidak (ia golongan
elite lokal, tetapi berjuang mengusir sang kolonial misalnya) dalam strata
sosial ekonomi milik kolonial, tempatnya bukan di strata ini.
Kelas
Bawah. Kelas bawah ini adalah kaum buangan dari bangsa kolonial, dan seluruh
rakyat koloni. Mereka menempati kelas terbawah. Biasanya, mereka hidup dalam
ketergantungan yang diciptakan kolonialis. Sehingga mereka seperti terantai.
Bila
mereka menentang kolonial, mereka tidak mampu, dikarenakan mereka makan dari
kolonial. Bila mereka terus bersama kolonial, nasib mereka tidak akan semakin
baik. Mereka pasar potensial bagi pemasaran broduk kolonial.
Kelas
bawah dasar, lebih mendekati kematian. Kelas bawah menengah dan atas,
ibaratnya: mati segan, hidup tak mau. Ini dibuat terjadi di atas tanah air
mereka sendiri.
Penciptaan Ketergantungan
Pada
tulisan saya pada media ini sebelumnya, berjudul; Rakyat Pemilik SDA dalam Dekapan
Kapitalis (me), telah saya singgung mengenai penciptaan ketergantungan
ini. Ketergantungan, pada dasarnya diciptakan dengan tujuan agar rakyat koloni
merasa tidak dapat hidup tanpa kolonial, dan terus membutuhkan kolonial untuk
hidup.
Cara
menciptakannya terlihat baik. Misal: memberian makanan dan upah (gaji) bagi
pegawai yang bekerja pada pemerintahan kolonial. Dengannya, lama kelamaan, ia
menjadi tergantung pada makanan pemberian kolonial, mengesampingkan makanan
lain yang mungkin dapat dihasilkan sendiri. Juga karena ia hidup dari upah
kolonial.
Intinya,
ketergantugan diciptakan dengan memberikan dengan gampang, segala sesuatu yang
vital, yang langsung bersentuhan dengan hidup rakyat, sehingga lama kelamaan,
pemberian bantuan ini menggeser cara bertahan hidup mencukupi kebutuhan vital
yang sama dengan cara lama. Akibatnya, beberapa generasi kemudian, setelah
cara-cara lama itu semakin dilupakan, dan sang kolonial telah berhasil
menciptakan ketergantungan.
Aturan-aturan
juga menjadi suatu alat untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan ini
menjadi kunci bila suatu saat rakyat koloni memberontak. Ini penciptaan penjara
hidup bagi rakyat koloni. Kemandirian hidup ditentang, dan yang ada hanya
ketergantungan kepada pemerintah kolonial.
Politik Etis
Politik
ini muncul ketika Belanda menjajah Indonesia. Politik Etis sama dengan politik
balas budi. Inilah inti politik balas budi:
Kolonialisme
dan penjajahan oleh sang kolonial terhadap bangsa koloni telah menimbulkan
kemelaratan hidup, kemiskinan, penyakit, dan macam-macam hal. Di sisi lain,
rakyat koloni (rakyat terjajah) telah memberikan segalanya: tenaganya untuk
pabrik dan perusahaan pengeksploitasian, sumber daya alamnya untuk
dieksploitasi, membesarkan pundi-pundi provit kolonial.
Ini tidak
adil. Rakyat yang memberi, malah melarat karena sistem kolonialisme, penjajahan.
Oleh karenanya, lahir politik etis, politik untuk membalas budi rakyat koloni,
rakyat terjajah.
Lihat
baik! Penyebab utama kemelaratan hidup rakyat terjajah adalah karena adanya
sistem penajajahan oleh kolonial, dan untuk mengatasinya, sistem kolonialisme
harus dihapus. Tetapi tidak dalam sejarah kolonialisme. Kolonialisme tetap
berjalan, dan politik etis adalah semacam pencitraan nama baik kolonial.
Beberapa
saluran politik etis: pemberian dana, peminjaman dana dalam jumlah besar untuk
usaha. Pemberian daerah otonomi. Pelimpahan kekuasaan. Pemberian uang dalam
skala besar. Irigasi dan pengairan. Transmigrasi, macam-macam, dan semua baik.
Faktanya,
dalam kamus kolonialisme di dunia ini, politik balas budi dalam rupa saluran di
atas pada akhirnya menjadi sarana memperkokoh ketergantungan, sarana memecah
belah, sarana mengadu domba, sarana memperkokoh kedudukan mereka di daerah
koloni.
Sementara
di luar sana, politik etis ini memberi citra positif kepada negara kolonial
dari pandangan masyarkat luar negeri, menyangkut kesengsaraan, dan kemelaratan
hidup bangsa koloni.
Perlawanan Rakyat Koloni
Tirani
penindasan dan penjajahan akan berakhir. Perlakuan kurang baik dan tidak
manusiawi dari kolonial membuat benih kebencian tumbuh subur dalam sanubari
rakyat terjajah. Ketergantungan menjadi hama yang memperlambat tumbuhnya benih
perjuangan menentang kolonial.
Pendidikan
selau jadi pintu utama. Di sana, dan melaluinya, kesadaran akan nasib bangsa
terjajah ada. Kesadaran inilah yang dicari. Uskup Desmond Tutu pernah berujar:
Ketika rakyat sadar bahwa dirinya dijajah, dan dengan sadar, menyatukan diri
dan melawan, tak akan ada satu kekuatan pun yang bakal berhasil menghentikan
mereka.
Kesadaran
menyangkut kesadaran senasib dan sepenanggungan antar sesama sebangsa koloni.
Kesadaran akan siapa yang mengakibatkan derita mereka. Kesadaran akan bagaimana
cara mereka bertindak. Dan yang terpenting, kesadaran akan adanya pelangi indah
di balik guntur, kilat, dan hujan deras.
Ketika
kesadaran muncul, lahir tokoh perjuangan. Darah dan tetasan keringat mereka,
menyuburkan api revolusi. Kata-kata, dedikasi, dan ketokohan sang pemimpin
perjuangan adalah semangat berlipatganda yang diberikan, atau lebih tepatnya,
menjadi media pembangkit revolusi rakyat. Meraka (rakyat terjajah) ibarat sekam
yang siap dibakar. Ketika pemimpin mampu membakar api revolusi, dan menajadikan
darah juang mendidih, itulah, saatnya telah tiba.
Yang
terpenting, kebangkitan kesdaran dibarengi dengan aksi nyata. Perekonomian misalnya.
Lihat contoh Serikat Dagang Islam (SDI) dalam sejarah pergerakan Indonesia,
yang berusaha melindungi pebisnis lokal dari dominasi perekonomian penjajah.
Penutup
Kolonialisme
adalah paham untuk menguasai dan menjajah. Ini dimunculkan oleh bangsa
kolonial. Bangsa terjajah selalu menderita, karena pada hakekatnya, tak ada
penjajahan yang tidak membuat kesengsaraan di pihak terjajah.
Inti
alasan dari penjajahan umumnya ekonomi. Karena daerah koloni kaya SDA, atau
kaya SDM. Motif ekonomi menggerakkan niat ekspansionis penjajah. Awalnya
imperialisme. Setelahnya Kolonialis akan bersifat kapitalis. Pemilik modal
adalah mereka, bangsa kolonial. Ada penciptaan ketergantungan.
Satu yang
pasti: Tirani penjajahan selalu berlalu dengan kemerdekaan bangsa terjajah!
Urutan perjuangan selalu sama: Kesadaran, persatuan, dan perlawanan dalam satu
komando, kemerdekaan!
Penggambaran
perekonomian zaman kolonial ini semoga saja menjadi media refleksi dan edukasi
bagi kita semua, semoga menjadi media pembanding yang cukup, untuk menggali dan
menambah pengetahuan kita bersama. Pintu tetap terbuka bagi masukan dan kritik
yang membangun.
Topilus B. Tebai mahasiswa Papua, kuliah di
Yogyakarta
Sumber :majalahselangkah.com
Blogger Comment
Facebook Comment