[ Dede Ilham Sugiarto ]
Sebagai reaksi atas krisis ekonomi global pada tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana membangun ketahanan pangan dengan memanfaatkan daerah Indonesia Timur melalui program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dengan tujuan memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Merauke, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mempercepat pemerataan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan perkebunan dan industri yang ambisius proyek pertanian yang direncanakan untuk menutupi lebih dari satu juta hektar lahan di bagian selatan Papua Barat. MIFEE adalah perbatasan berikutnya untuk industri perkebunan di Indonesia; wilayah luas Sumatera dan Kalimantan telah dikonversi dari hutan ke perkebunan untuk industri pulp dan kelapa sawit. Meskipun ada tekanan besar dari sejumlah besar perusahaan internasional dan Indonesia terlibat untuk MIFEE untuk melanjutkan, ada perbedaan pendapat yang signifikan dari masyarakat suku Malind.Nanti Bagi mereka, pembangunan merupakan suatu tatanan baru eksploitasi yang diperbaiki akan merusak lingkungan dan koneksi budaya.
Dalam dokumen MP3EI, wilayah Indonesia telah dikapling-kapling menjadi enam koridor ekonomi, salah satunya adalah koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini dipersiapkan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Salah satu program yang diluncurkan di dalam payung MP3EI itu adalah MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
MIFEE sendiri ditetapkan dalam merespon krisis pangan global di tahun 2007/08, yang dibaca oleh pemerintah Indonesia sebagai ancaman sekaligus peluang ekonomi. Krisis global itu dilihat sebagai ancaman karena dikuatirkan akan mempengaruhi bahkan memporak-porandakan ketahanan pangan nasional akibat fluktuasi harga komoditas pangan global. Sebaliknya, krisis itu dilihat sebagai peluang untuk mendongkrak produksi agrikultural Indonesia dan memperoleh tambahan devisa negara dari hasil ekspornya.
Pemerintah melalui program lumbung pangan dan energi tersebut mempersiapkan lahan seluas 1,2 juta ha yang bisa diperluas menjadi 2,5 juta ha, melalui konsesi yang diberikan oleh Bupati Merauke. Pada tahun 2010, jumlah investor yang memperoleh konsesi untuk merajai tanah di Merauke sebanyak 39 investor. Dalam waktu setahun, investor yang mendapatkan konsesi meningkat menjadi 48 investor. Kabarnya di tahun 2012 investor yang masuk di dalam skema MIFEE bertambah menjadi 62 investor. Salah satu wacana yang digunakan oleh pemerintah di dalam mewajarkan (naturalizing) praktik perampasan tanah di Merauke adalah dengan mengkategorikan lahan 2,5 juta ha sebagai lahan tidur, tidak produktif dan melihatnya sebagai lahan cadangan yang berpotensi bagi MIFEE (Lihat Grand Desain MIFEE 2010).
Pada realitanya, lahan 2,5 juta ha itu bukanlah lahan “menganggur” seperti yang diyakini pemerintah serta investor ataupun seperti apa yang masyarakat umum dibuat mempercayainya. Lahan itu merupakan “piring makan” bagi masyarakat Malind yang hidup disekitar ataupun di dalam lahan/hutan di Merauke, Papua. Lebih jauh lagi, lahan itu tidak hanya mempunyai alas ekonomi tetapi juga yang tak kalah penting adalah lahan itu mempunyai alas sejarah panjang, alas sosial yang demikian lekat, serta alas budaya yang mendarahdaging di tubuh masyarakatnya. Pandangan dan praktik demikian senada dengan pernyataan Borras dan Franco (2012) bahwa tanah berbasiskan relasi sosial bukanlah sebagai benda (land-based social relation, not thing).
Jadi tujuan utama dari MIFEE adalah menjadikan tanah papua sebagai lumbung padi nasional serta sebagai lahan investasi dalam memajukan perekonomian nasional dalam menghadapi krisis pangan dunia, keberlanjutan energi serta ekonomi dunia. Akan tetapi pemerintah tidak mengkaji terlebih dahulu dampak dari pembangunan terhadap masyarakat adat merauke serta kurangnya sosialisasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat tentang pembangunan daerah merauke dengan masyarakat adat merauke. Dalam hal ini lemahnya komunikasi pemerintah dengan masyarakat adat merauke.
Yakobus Basikbasik sedang menatap areal yang dulu sebagai hutan dimana ia dan orang Dusun Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, biasa berburu rusa, babi hutan, kangguru, dan burung kasuari. Kini hutan telah habis. Kini yang tersisa hanya padang gersang, tumpukan kayu gelondongan, bekas tonggak kayu, dan bibit sawit semenjak PT Selaras Inti Semesta yang memegang konsesi HTI membabat hutan mereka sebagai bagian dari program MIFEE.
MIFEE adalah sebuah proyek pembangunan skala nasional dalam membangunan wilyah merauke sebagai lumbung padi nasional dan energi yang berkelanjutan. Pembangunan merupakan tujuan mulia pemerintah dalam mensejahterakaan rakyatnya. MIFEE merupakan proyek yang dicanangkan pemerintah dengan bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam hal ini pemerintah haruslah tahu bahwa sifat dasar dari pembangunan yang makan biaya pasti melibatkan investor swasta serta rakusnya investor atau watak dari kapitalisme yang menginginkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan uang serendah-rendahnya.
Suku zanegi merupakan salah satu suku asli merauke yang hidup dihutan papua. Dalam menjalani kehidupannya mereka mengolah alam sesuai keperluannya tanpa memperkosa alam yang seperti dilakukan oleh para kapitalis bermodal besar. Dengan cara hidup yang sederhana ini, suku zanegi dan suku merauke lainnya tak pernah mengalami kelaparan dan penyakit gizi buruk serta penyakit lainnya. Tetapi setelah proyek ini diresmikan malapetaka mengahampiri suku asli merauke.
Sebelum ada perusahaan, hampir tidak ada penyakit. Kami makan sagu dan pergi ke hutan sepanjang hari tanpa lelah. Sekarang sagu mati dan bumi tandus. Sungai-sungai di kampung menjadi keruh dan berminyak serta ikan menjadi korban polusi. Anak-anak sekarat karena tanah yang merupakan ibu kami direngut dari kami. Tidak lama lagi orang Malind akan tidak ada lagi. Ketika hutan hilang, orang Malind akan musnah.
Pemerintah Indonesia telah memberikan izin pengusahaan hutan industri di atas tanah adat komunitas Zanegi kepada perusahaan kayu PT Selaras Inti Semesta (SIS), anak perusahaan Medco Group, yang memiliki konsesi seluas lebih dari 169.400 ha. PT SIS adalah salah satu dari 80 lebih perusahaan yang beroperasi dalam proyek agroindustri raksasa MIFEE yang menjadi program pemerintah. Proyek MIFEE diresmikan pada tahun 2010 oleh Menteri Pertanian Suswono, yang didukung oleh sejumlah kebijakan, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Saat ini proyek tersebut mencakup wilayah 2,5 juta hektare, lebih dari separuh wilayah Merauke seluas 4,5 juta ha. Namun, bukannya pembangunan sosial dan bantuan ekonomi yang diperoleh sesuai janji, masyarakat Zanegi hari ini hidup dalam kepapaan luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hampir tidak ada lagi lahan untuk berburu dan meramu bagi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Sumber : http://pembebasan.org/mifee-adalah-bencana-untuk-masyarakat-adat-merauke-pangan-dan-energi.html
Sebagai reaksi atas krisis ekonomi global pada tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana membangun ketahanan pangan dengan memanfaatkan daerah Indonesia Timur melalui program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dengan tujuan memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Merauke, menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mempercepat pemerataan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan perkebunan dan industri yang ambisius proyek pertanian yang direncanakan untuk menutupi lebih dari satu juta hektar lahan di bagian selatan Papua Barat. MIFEE adalah perbatasan berikutnya untuk industri perkebunan di Indonesia; wilayah luas Sumatera dan Kalimantan telah dikonversi dari hutan ke perkebunan untuk industri pulp dan kelapa sawit. Meskipun ada tekanan besar dari sejumlah besar perusahaan internasional dan Indonesia terlibat untuk MIFEE untuk melanjutkan, ada perbedaan pendapat yang signifikan dari masyarakat suku Malind.Nanti Bagi mereka, pembangunan merupakan suatu tatanan baru eksploitasi yang diperbaiki akan merusak lingkungan dan koneksi budaya.
Dalam dokumen MP3EI, wilayah Indonesia telah dikapling-kapling menjadi enam koridor ekonomi, salah satunya adalah koridor ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini dipersiapkan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional. Salah satu program yang diluncurkan di dalam payung MP3EI itu adalah MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).
MIFEE sendiri ditetapkan dalam merespon krisis pangan global di tahun 2007/08, yang dibaca oleh pemerintah Indonesia sebagai ancaman sekaligus peluang ekonomi. Krisis global itu dilihat sebagai ancaman karena dikuatirkan akan mempengaruhi bahkan memporak-porandakan ketahanan pangan nasional akibat fluktuasi harga komoditas pangan global. Sebaliknya, krisis itu dilihat sebagai peluang untuk mendongkrak produksi agrikultural Indonesia dan memperoleh tambahan devisa negara dari hasil ekspornya.
Pemerintah melalui program lumbung pangan dan energi tersebut mempersiapkan lahan seluas 1,2 juta ha yang bisa diperluas menjadi 2,5 juta ha, melalui konsesi yang diberikan oleh Bupati Merauke. Pada tahun 2010, jumlah investor yang memperoleh konsesi untuk merajai tanah di Merauke sebanyak 39 investor. Dalam waktu setahun, investor yang mendapatkan konsesi meningkat menjadi 48 investor. Kabarnya di tahun 2012 investor yang masuk di dalam skema MIFEE bertambah menjadi 62 investor. Salah satu wacana yang digunakan oleh pemerintah di dalam mewajarkan (naturalizing) praktik perampasan tanah di Merauke adalah dengan mengkategorikan lahan 2,5 juta ha sebagai lahan tidur, tidak produktif dan melihatnya sebagai lahan cadangan yang berpotensi bagi MIFEE (Lihat Grand Desain MIFEE 2010).
Pada realitanya, lahan 2,5 juta ha itu bukanlah lahan “menganggur” seperti yang diyakini pemerintah serta investor ataupun seperti apa yang masyarakat umum dibuat mempercayainya. Lahan itu merupakan “piring makan” bagi masyarakat Malind yang hidup disekitar ataupun di dalam lahan/hutan di Merauke, Papua. Lebih jauh lagi, lahan itu tidak hanya mempunyai alas ekonomi tetapi juga yang tak kalah penting adalah lahan itu mempunyai alas sejarah panjang, alas sosial yang demikian lekat, serta alas budaya yang mendarahdaging di tubuh masyarakatnya. Pandangan dan praktik demikian senada dengan pernyataan Borras dan Franco (2012) bahwa tanah berbasiskan relasi sosial bukanlah sebagai benda (land-based social relation, not thing).
Jadi tujuan utama dari MIFEE adalah menjadikan tanah papua sebagai lumbung padi nasional serta sebagai lahan investasi dalam memajukan perekonomian nasional dalam menghadapi krisis pangan dunia, keberlanjutan energi serta ekonomi dunia. Akan tetapi pemerintah tidak mengkaji terlebih dahulu dampak dari pembangunan terhadap masyarakat adat merauke serta kurangnya sosialisasi pemerintah daerah dan pemerintah pusat tentang pembangunan daerah merauke dengan masyarakat adat merauke. Dalam hal ini lemahnya komunikasi pemerintah dengan masyarakat adat merauke.
Yakobus Basikbasik sedang menatap areal yang dulu sebagai hutan dimana ia dan orang Dusun Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, biasa berburu rusa, babi hutan, kangguru, dan burung kasuari. Kini hutan telah habis. Kini yang tersisa hanya padang gersang, tumpukan kayu gelondongan, bekas tonggak kayu, dan bibit sawit semenjak PT Selaras Inti Semesta yang memegang konsesi HTI membabat hutan mereka sebagai bagian dari program MIFEE.
MIFEE adalah sebuah proyek pembangunan skala nasional dalam membangunan wilyah merauke sebagai lumbung padi nasional dan energi yang berkelanjutan. Pembangunan merupakan tujuan mulia pemerintah dalam mensejahterakaan rakyatnya. MIFEE merupakan proyek yang dicanangkan pemerintah dengan bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam hal ini pemerintah haruslah tahu bahwa sifat dasar dari pembangunan yang makan biaya pasti melibatkan investor swasta serta rakusnya investor atau watak dari kapitalisme yang menginginkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan mengeluarkan uang serendah-rendahnya.
Suku zanegi merupakan salah satu suku asli merauke yang hidup dihutan papua. Dalam menjalani kehidupannya mereka mengolah alam sesuai keperluannya tanpa memperkosa alam yang seperti dilakukan oleh para kapitalis bermodal besar. Dengan cara hidup yang sederhana ini, suku zanegi dan suku merauke lainnya tak pernah mengalami kelaparan dan penyakit gizi buruk serta penyakit lainnya. Tetapi setelah proyek ini diresmikan malapetaka mengahampiri suku asli merauke.
Sebelum ada perusahaan, hampir tidak ada penyakit. Kami makan sagu dan pergi ke hutan sepanjang hari tanpa lelah. Sekarang sagu mati dan bumi tandus. Sungai-sungai di kampung menjadi keruh dan berminyak serta ikan menjadi korban polusi. Anak-anak sekarat karena tanah yang merupakan ibu kami direngut dari kami. Tidak lama lagi orang Malind akan tidak ada lagi. Ketika hutan hilang, orang Malind akan musnah.
Pemerintah Indonesia telah memberikan izin pengusahaan hutan industri di atas tanah adat komunitas Zanegi kepada perusahaan kayu PT Selaras Inti Semesta (SIS), anak perusahaan Medco Group, yang memiliki konsesi seluas lebih dari 169.400 ha. PT SIS adalah salah satu dari 80 lebih perusahaan yang beroperasi dalam proyek agroindustri raksasa MIFEE yang menjadi program pemerintah. Proyek MIFEE diresmikan pada tahun 2010 oleh Menteri Pertanian Suswono, yang didukung oleh sejumlah kebijakan, diantaranya Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Saat ini proyek tersebut mencakup wilayah 2,5 juta hektare, lebih dari separuh wilayah Merauke seluas 4,5 juta ha. Namun, bukannya pembangunan sosial dan bantuan ekonomi yang diperoleh sesuai janji, masyarakat Zanegi hari ini hidup dalam kepapaan luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Hampir tidak ada lagi lahan untuk berburu dan meramu bagi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Sumber : http://pembebasan.org/mifee-adalah-bencana-untuk-masyarakat-adat-merauke-pangan-dan-energi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar