Pages

Pages

Senin, 08 Februari 2016

Oktovianus Pogau, Wartawan Muda Yang Kritis dan Tajam

Oktovianus Pogau – ist
Yesus berkata, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (Yoh 14:1-3).
OKTOVIANUS POGAU yang sering disapa Okto, jurnalis muda Papua, sekaligus editor dan pemimpin redaksi (Pemred) suarapapua.com telah meninggal dunia pada hari Minggu, 31 Januari 2016 di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Kota Jayapura, Papua. Dia meninggal pada usia sangat muda, 23 tahun karena sakit komplikasi paru-paru, ginjal dan hipo albumin.
Jurnalis yang kritis dalam advokasi pelanggaran HAM di Papua ini lahir di Kampung Mbamgo, distrik Agisiga, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 05 April 1992 dari pasangan bapak Petrus Pogau dan mama Juliana Nabelau.

Pada usia 3 tahun ia masuk pendidikan usia dini, atau yang dikenal Taman Kanak-kanak (TK) Cenderawasih milik Yayasan Pesat di Sugapa. Ia masuk TK bersama teman-temannya, yakni Mianus Yatrinap, Apniel Sani, Henes Belau, Elle Belau, Yuspina Belau, Natalia Sani, Aminar Maiseni dan Lerina Kogoya.
Setelah menyelesaikan TK pada tahun 1998, ia dan teman-temannya berangkat ke Kabupaten Nabire untuk melanjutkan Sekolah Dasar (SD).
Di SD Kristen Anak Panah Kali Bobo Nabire ia belajar selama 6 tahun. Pada tahun 2004 ia melanjutkan SMP Kristen Anak Panah dan tahun 2007 lulus dari SMP tersebut. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di SMA Kristen Anak Panah milik Yayasan Pesat itu hingga tahun 2010.
Okto sudah menjadi yatim piatu sejak usia yang sangat belia. Ayahnya meninggal pada saat dia duduk di kelas 1 SD. Ibunya menyusul ketika dia berada di kelas 5 SD. Untunglah dia kemudian tidak mendapat kesulitan melanjutkan sekolahnya. Dia tinggal di asrama sekolah dan mendapat beasiswa karena kecerdasannya.
Sejak TK hingga SMA Okto tinggal bersama teman-teman dan adik-adik di asrama milik Yayasan Pesat yang dipimpin oleh Pdt. Daniel Alexander dan hidup di asrama bersama teman-teman dan adik-adik. Mereka hidup ibarat satu keluarga kandung. Mereka rasakan sakit, rasakan susah, suka, duka dan menderita bersama-sama. Mereka hidup sangat dekat dan hidup sebagai keluarga besar. Di asrama mereka hidup dengan mama-mama dan bapak-bapak pengasuh di asrama serta para guru-guru di sekolah yang mengajar dan mendidik Oktovianus Pogau bersama teman-temannya hingga selesai SMA.

Sejak di bangku SMA kelas 1, Okto aktif dalam dunia jurnalistik dan dia selalu menang (juara) dalam lomba tulis menulis, seperti mengarang dan sejenisnya yang dilakukan Pemda setempat antar sekolah di Nabire. Pada saat itu, tulisannya bahkan sering dimuat di beberapa media lokal, seperti Papuapos Nabire, Majalah Selangkah, Suara Perempuan dan di sejumlah media nasional di bawah asuhan Markus You, salah satu wartawan senior yang bekerja di Papuapos Nabire dan Tablod Jubi Papua. Oleh karena melalui tulisannya itu, Pogau mulai dikenal oleh media-media di Indonesia dan dunia.
Oktovianus Pogau (jongkok, kedua dari kiri) saat merayakan kelulusannya dari SMA di Nabire - facebook
Oktovianus Pogau (jongkok, kedua dari kiri) saat merayakan kelulusannya dari SMA di Nabire – facebook

Untuk mencurahkan kegelihannya tentang keadaan sosial di Nabire dan Papua umumnya, pada umur 16 tahun, Okto sudah membuat sebuah blog pribadinya, (https://pogauokto.wordpress.com). Selain ia menulis artikel di media cetak loka, di sanalah dia mengasah bakatnya. Lalu, ia juga mencetak bulletin milik SMA Kristen Anak Panah yang diterbitkan dua kali dalam sebulan. Karena tulisannya yang menggugah hati para pembaca, ia bahkan menjadi siswa Papua pertama yang diwawancarai Metro Papua TV yang kala itu baru hadir di Jayapura dan ditayangkan dalam bentuk feauture. Di situlah nama Oktovianus Pogau naik hingga Gubernur Papua, Barnabas Suebu menjanjikannya untuk kuliah di luar negeri. Namun, hal itu kandas entah apa alasannya.
Seusai menyelesaikan SMA tahun 2010 ia berangkat ke Jakarta guna melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Ketika itu Okto mendapatkan beasiswa untuk beajar di kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI). Di kampus ini dia memilih jurusan Hubungan Internasional (HI). Padahal, bidang yang ia tekuni semenjak masih remaja adalah jurnalistik, rupanya dia punya pertimbangan khusus memilih bidang ini. Sekalipun sangat mencintai dunia jurnalistik, Okto memikirkan masa depan bangsanya. Untuk dia, masa depan Papua ada pada diplomasi internasional. Perkuliahannya sampai semester III dan dia tidak melanjutkan pendidikannya hingga selesai, karena dia sangat sibuk dalam kerja dunia jurnalistik sehingga harus balik ke Jayapura dalam mengadvokasi berbagai hal

 Pogau pernah mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan kemudian mendapat undangan untuk mengikuti kursus Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau. Disanalah dia bertemu dengan Andreas Harsono, seorang jurnalis dan peneliti Human Rights Watch (HRW), yang sekaligus juga menjadi wali muridnya di Jakarta.

Oktovianus Pogau (kedua dari kiri) saat berdemonstrasi bersama jurnalis di Jayapura - Antara
Oktovianus Pogau (kedua dari kiri) saat berdemonstrasi bersama jurnalis di Jayapura – Antara

Pada tanggal 10 Desember 2011, Oktovianus Pogau mendirikan media online yang bernama suarapapua.com bersama rekannya dari Intan Jaya, Arnold Belau yang berkantor di Jayapura. Media suarapapua.com masih berjalan hingga saat ini dalam mempublikasikan berbagai informasi yang beragam dan berimbang dari tanah Papua dengan slogan menyuarakan kaum tak bersuara.
Didirikannya media tersebut adalah bentuk kecintaannya kepada tanah dan orang Papua untuk terus menyuarakan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Papua di atas tanahnya. Sebab, baginya hanya medialah sebagai satu-satunya “obat” ampuh untuk negeri ini.
Selain sibuk di jurnalistik, Oktovianus juga sibuk sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Jayapura dan melakukan advokasi berbagai pelanggaram HAM di tanah Papua.

Okto sangat mencintai negeri Cenderawasih yang penuh dengan susu dan madu ini. Semasa pendidikan di Jakarta, Okto tergabung ke dalam organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Bahkan dia sempat menjadi pengurus di bidang pendidikan dan pengembangan. Karena kebutuhan untuk melakukan aksi di tingkat nasional, dia bersama rekannya almarhum Victor Kogoya menjadi perwakilan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) konsulat Indonesia Barat. KNPB adalah sebuah organisasi pemuda, pelajar, dan mahasiswa Papua yang banyak mengangkat isu ketidakadilan di negerinya. Para pemuda Papua yang bergabung dalam organisasi ini sangat serius mempertanyakan masa lampau Papua termasuk proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang kontroversial itu. Tidak heran kalau para pemuda ini menuntut diadakannya referendum untuk menentukan masa depan Papua.
Okto memang pandai mengusik kenyamanan pikiran orang lain. Kepalanya selalu penuh ide dan rencana. Dia sangat ingin membuka celah agar orang-orang di Jakarta mendengar dan memperhatikan apa yang dialami oleh orang Papua. Dia tahu itu sulit, Namun dia tidak peduli. Anak belia ini paham betul akan peran dan posisi Jakarta sebagai jalan keluar banyak masalah di negerinya. Itulah sebabnya dia sangat serius mempelajari Indonesia, terutama politik di Jakarta.

Sejak tahun 2014, Okto memulai jatuh sakit dan sembuh pada bulan Mei 2015 setelah melalukan pengobatan secara medis di rumah sakit Dian Harapan. Walaupun masih sakit, ia tekun dan fokus pada pekerjaannya yakni terus menyuarakan berbagai hal melalui tulisannya yang dijadikan berupa berita di media yang dia pimpin.
Walaupun bandannya masih lemas, bulan November 2015, Okto mengikuti Festival Media di Indonesia yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independent (AJI) di Jakarta bersama Arnold Belau, wartawan tabloidjubi.com dan Koran Jubi dan Indrayadi TH dari cendananews.com mewakili AJI Papua.
Meski butuh waktu untuk istrahat, pada akhir 2015, dia mendapat International Visitor Program di Amerika Serikat. Dia berjalan selama sebulan termasuk berkunjung ke Washington DC. Dia sempat ingin menulis kenangan dari perjalanan tersebut namun sakit membatalkan keinginan tersebut. Ini sebuah kehilangan besar buat masyarakat Papua.


Oktovianus Pogau (kedua dari kanan) saat mengikuti program International Visitor di AS - facebook
Oktovianus Pogau (kedua dari kanan) saat mengikuti program International Visitor di AS – facebook
Tidaklah terlalu mengherankan jika dia sangat marah dengan Komnas HAM karena sangat lambat bekerja dalam menindaklanjuti kasus pembantaian di Paniai pada Desember 2014. Ia mendokumentasikan perkembangan advokasi kasus ini di Jakarta dan Papua dengan sangat rinci. Dia juga mendorong kelompok-kelompok mahasiswa Papua untuk mengawal advokasi ini. “Kapan kalian aksi Paniai lagi di Jakarta?” demikian selalu pesan singkatnya. Seringkali datang tiba-tiba.

Pada tanggal 23 Desember 2015, Okto kembali dari AS. Setelah kembali, Okto sakit lagi. Terakhir Okto masuk di RS Dian Harapan Waena, Jayapura pada 17 Januari 2016. Setelah dua minggu lamanya opname di RS milik Katolik itu, tepat Minggu, 31 Januari 2016, pukul 21.00 WP Okto dipanggil Tuhan.

Sesaat kabar meninggalnya Okto tersebat, dalam waktu 3 menit berbagai kalangan yang dikenal Okto datang penuhi rumah sakit ini. Entah wartawan, LSM, aktivis kemanusiaan, tokoh agama, mahasiswa hingga mama-mama Papua.

Okto akhirnya dimakamkan di Yokatapa, Sugapa, Intan Jaya, hari Rabu, 04 Februari 2016. Sebelum dibawa ke kampug halamannya, sempat tawar mewar antara pihak keluarga dan para jurnalis serta aktivis HAM di Jayapura yang mengininkan ia dimakamkan di Jayapura. Namun, karena menghargai keinginan keluarga, kahirnya semua sepakat almarhum dimakamkan di  kampungnya.
Almarhum Okto adalah sosok pemuda Papua yang dikenal kritis, berani, cerdas dan sangat dikenal serta disegani oleh berbagai kalangan, entah lembaga pers, lembaga agama, LSM dan lainnya. Terutama dalam melihat dan mengkritisi hal-hal mendasar yang dihadapi oleh orang Papua seperti persoalan pelanggaran HAM dan dunia jurnalistik. Keberanian dan kecerdasannya Okto dalam hal ini menghantarkan mepa Pogai dikenal oleh masyarakat luas. Baik di Papua, secara nasional di Jakarta dan Indonesia maupun dunia internasional. Hingga Okto meninggal ia sangat tekun dan setia pada pekerjaannya sebagai jurnalis muda yang sangat krtitis dalam kondisi apapun. Okto terus mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM dan jurnalistik dengan tekun dan setia hingga Okto meninggal dunia.

Kalau kita membuka arsip tulisan-tulisan Okto Pogau, kita seperti menemukan harta karun pemikiran anak-anak muda Papua kontemporer. Tulisan-tulisan yang datang dari pikiran jujur seorang anak muda yang bersemangat itu seakan membuka lebar-lebar jendela pemahaman bagi orang-orang non Papua akan kegelisahan dan keinginan untuk merdeka. Sebagian besar orang mungkin mengenal Okto hanya sebagai seorang jurnalis. Namun sesungguhnya lebih dari itu. Ia adalah penulis dan pejuang progresif Papua merdeka.


Masa depan suarapapua.com ada di rekan-rekannya yang ditinggalkan Alm. Okto. Karena, suarapapua.com hadir untuk melihat banyak persoalan di tanah Papua, mulai dari masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan persoalan politik yang semakin runyam. Dalam peliknya persoalan tersebut, media di Papua juga dituntut untuk memberitakan apa yang terjadi secara berimbang, objektif, dan dengan standar-standar jurnalisme yang baku.
okto ajiMedia di Papua juga dituntut mampu mengangkat “suara lain” dari masyarakat akar rumput di tanpa diintervensi pihak manapun. Selama ini, suara-suara masyarakat Papua selalu “diabaikan”, sehingga terkesan situasi Papua aman-aman saja. Masyarakat Papua juga bias pembangunan, karena pemberitaan yang tidak bermutu.
Akumulasi dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, juga ditambah dengan pemberitaan di berbagai media massa yang menempatkan masyarakat Papua sebagai pihak yang “bersalah”, menghasilkan perlawanan yang semakin masif. Dan bahkan, beberapa aktivis dan pengamat di Papua pernah menyerukan agar media di Papua diboikotkan karena pemberitaannya selalu tak selalu covert both sides.

Dalam rumitnya persoalan di tanah Papua, media ini diharapkan mampu berperan dalam mengabarkan dan memberitakan berbagai persoalan di tanah Papua sesuai dengan fakta yang terjadi.
Di sisi ini, masih ada editornya, Mary Nabelau yang tahu admin media ini. Oleh karena itu, suara papua tidak berhenti sampai di sini, tapi masih terus berkembang dan hidup bagi bangsa Papua.

Apa kata mereka:
Andreas Harzono, peneliti Human Rights Watch (HRW) sekaligus wali muridnya di Jakarta: Oktovianus Pogau memiliki naluri yang sangat baik. Dia orang pertama yang melaporkan kedatangan Hashim Djojohadikusumo, adik calon presiden Prabowo Subianto, ke Papua seusai pemilihan presiden Indonesia 2014. Kedatangan Hashim ini sangat penting karena Papua bisa menjadi kunci kemenangan dalam pemilihan presiden yang saat itu diramalkan akan berlangsung ketat. Tidak seperti daerah-daerah Indonesia lainnya, sistem pemilihan di Papua menggunakan ‘sistem Noken’ dimana para tetua adat atau mereka yang berkuasa memilih mewakili penduduk wilayahnya. Sistem ini tentu sangat rawan dengan manipulasi dan kecurangan. Namun akhirnya Jokowilah yang memenangi Papua.

Victor Yeimo, Ketua KNPB Pusat: percuma menulis dan menangis untukmu Oktovianus Pogau. Itu tak akan menghilangkan rasa bersalah kami rakyatmu yang selalu lupa memperhatikan kesehatanmu. Yang kami bisa hanya nikmati sajian berita yang kau liput dengan penuh pengorbanan. Sejak 2011 Saya beli dan bikin suarapapua.com karena hanya kau jurnalis muda yang punya komitmen, bakat, dan cita-cita untuk mengabarkan suara rakyat dan perjuangan yang dipasung penguasa kolonial. Ko sudah buat itu dan menjadikan media ini sebagai media yang kredibel dan besar. Kau tinggakan kesenangan ibukota kolonial, sempat menjadi sekjen KNPB konsulat. Kau jenius dan teman diskusi yang kaya informasi. Terlalu dini (sejak bangku SMU) kau mulai baktimu pada negeri ini, tapi juga terlalu dini kau pergi. maafkan kami yang hanya memanfaatkanmu dan tidak pernah memperhatikanmu hingga tubuh dan jiwa kau korbankan bagi negeri ini. Jujur di mata saya kau lelaki moni yang hebat. Okto, rasa bersalah dan pesan di inbox itu akan selalu menyayat batin ini setiap waktu. Seperti yang biasa kita bicara saat-saat itu, memang benar bahwa rakyat kita hanya tau menceritaan satu hal buruk yang kita buat dibanding seribu pengorbanan yang kita berikan bagi negeri ini. Saya sangat yakin Tuhan lebih tau dan memperhitungkan jiwa tulus kita pada jalan kebenaran perjuangan ini. Selamat jalan mepa, okto sayang eeeee.
okto baliVictor Mambor, pemimpin umum tabloidjubi.com dan Koran Jubi: Oktovianus Pogau bukan sekedar teman dan adik buat saya. Dia adalah tandem sekaligus rival buat saya. Dia adalah “otak kiri” saya dalam dunia jurnalistik. Dia adalah “separuh jiwa” saya dalam dunia jurnalistik. Dia tak ada bandingnya. Dia tak ada tandingnya. Dia membuka lebar mata banyak orang tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Dia pantas dikenang sebagai pejuang pembebasan, karena di adalah legenda. Amakane. RIP Mepa!
Nelius Wneda, Presiden Mahasiswa USTJ Papua: Sioooo kaka sayang secepat ini, Tuhan yang memberi Pula yg mengambil terpujilah Nama Tuhan semesta alam. RIP KK Oktovianus Pogau.
Mariana Kabey, anggota DPRD Kota Jayapura: RIP – Tuhan telah menyiapkan tempat bagimu. Istirahatlah dalam damai. Amin.
Nick Chesterfield, Redaktur West Papua Media: Okto, saudara muda yang terkasih, Anda adalah teman, seorang wartawan kawan, dan manusia luar biasa berani. dedikasi Anda untuk kebenaran adalah sebuah inspirasi bagi banyak anak muda Papua yang telah mengikuti Anda ke dalam jurnalisme baru yang menceritakan kebenaran pengalaman dan aspirasi Papua. kata-kata Anda menyuarakan suara ditekan pemuda, dan Anda menolak terus-menerus ancaman dari negara Indonesia untuk mengingatkan dunia untuk kedua mimpi kebebasan dan teriakan menderita di Papua Barat. Okto, Anda adalah seorang pelopor dalam banyak cara, dan bertanggung jawab untuk bersinar cahaya pada beberapa rahasia tergelap penderitaan Papua Barat di bawah Indonesia. Anda mencuri begitu banyak menderita diri dari Negara, tapi masih berhasil menceritakan kisah tentang orang lain. Sebagai sumber pendiri, wartawan dan penasihat jaringan WestPapuaMedia internasional terfokus, Anda menciptakan kesadaran tingkat baru situasi di Papua dan di seluruh dunia. Sebagai anak dari Mee Pago, Anda telah membuat orang-orang Anda sangat bangga. Simpati saya yang terdalam pergi ke keluarga dan teman-teman, dan suku Anda. Papua telah kehilangan semalam bintang terang, tetapi bintang akan tetap bersinar bagi banyak orang lain untuk mengikuti.
Saya saudara sangat menyesal bahwa hari-hari terakhir Anda berada di sakit seperti itu, tapi Anda mencapai begitu banyak dalam hidup muda Anda. Ini adalah kejutan besar bagi kita semua. Hanya baik mati muda. Perpisahan saudara muda, wartawan kawan. Anda akan sangat dirindukan. Dengan cinta dan hormat untuk hidup penuh prestasi dipotong terlalu pendek. Berjalan dengan baik ke dalam cahaya.
Bento Madubun, Pemimpin redaksi Harian Pagi Papua: Diks, sa tra tau mo bilang apa, tidak ada lagi yang inbox sa tengah malam frown emotikon tidak ada lagi yang curhat dari abe, bali, jakarta. kita semua tau adik pu perjuangan, perjuangan hidup, perjuangan bangkitkan suarapapua, dan perjuangan panjang hingga akhir hayat, SELAMAT JALAN ADIK, SAHABAT dan JURNALIS TANGGUH yang tidak goyah oleh ‘badai’. Tuhan tau yang terbaik, RIP.
Andy Yeimo, mahasiswa Papua di Yogyakarta: Kematian tak memisahkan kau dengan kami, para pewarta yang menyalakan kata di lorong-lorong yang terjangkau cahaya. Kematianmu telah membuka pintu yang terkunci oleh tirani, oleh gentar dan takut kami. Pahlawanku, Guruku, Jurnalis muda PAPUA. Selamat beristrahat di sisi kanan Allah Bapa di surga.RIP: Oktovianus Pogau.
Zely Ariane, Kordinator PapuaItuKita: Hari ini memang hari duka. Apalagi hujan tak berhenti. Tak apa, untuk sesaat menikmatinya. Sa anggap Oktovianus Pogau su bertemu Victor Hara, dan mereka sedang dengar album ini. Tak habis pikir anak satu ini. Dalam berbagai kesulitan di Papua ia tumbuh menjadi begitu cemerlang dan gembira! Tak pernah saya bertemu dia dalam keadaan putus asa atau sedih. Bicaranya penuh dengan pesan dan rencana2, juga tawa–termasuk terus saja tambah-tambahi beban kerja saya. smile emotikon Tapi menyenangkan, karena kita jadi temukan harapan.
Terbuat dari apa anak ini? Dari 2008 (saat baru berumur 16th!) de sudah menulis hal-hal sulit di https://pogauokto.wordpress.com (!) Dari soal Bersabar Dalam Penderitaan sampai Fidel Castro, Gusdur, pancasila, marhaenisme, dan komunisme. Siooo, Okto. Karena itukah au pasang foto Castro di profil? 

De tentu bukan malaikat. Tapi tra terlalu penting itu sekarang. Semangatnya yang hingga akhir hayat tak berhenti pikir nasib dan perjuangkan bangsanya, mesti jadi inspirasi. Yoo… tong lanjut~ SALUD, Mepa!

Harun Rumbarar, wartawan suarapapua.com: Kaka adik sudah kirim berita itu, sudah masuk di keranjang SuaraPapua kah? Kaka, knp tra balas z punya sms ka. Kaka” hilang bersama waktu” Tinggal kaka punya potrettttttttt. Diam membisu. Kemanapun aku pergi bayangmu mengejar. Bersembunyi di manapun engkau ku temukan.

Nelius Tatogo, Kabag Humas Setda Kabupaten Paniai: Kami segenap keluarga besar Humas Kabupaten Paniai menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya saudara kita Oktopianus Pogau (pimred suarapapua. com). Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan di surga. (Abeth You)

http://tabloidjubi.com/2016/02/07/oktovianus-pogau-wartawan-muda-yang-kritis-dan-tajam/6/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar