Oktovianus Pogau – ist |
Yesus berkata, “Janganlah gelisah
hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah
Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku
mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat
bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan
tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku,
supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (Yoh 14:1-3).
OKTOVIANUS POGAU yang sering disapa Okto, jurnalis
muda Papua, sekaligus editor dan pemimpin redaksi (Pemred)
suarapapua.com telah meninggal dunia pada hari Minggu, 31 Januari 2016
di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Kota Jayapura, Papua. Dia meninggal
pada usia sangat muda, 23 tahun karena sakit komplikasi paru-paru,
ginjal dan hipo albumin.
Jurnalis yang kritis dalam advokasi pelanggaran HAM di Papua ini
lahir di Kampung Mbamgo, distrik Agisiga, Kabupaten Intan Jaya, Papua
pada 05 April 1992 dari pasangan bapak Petrus Pogau dan mama Juliana
Nabelau.
Pada usia 3 tahun ia masuk pendidikan usia dini, atau yang dikenal
Taman Kanak-kanak (TK) Cenderawasih milik Yayasan Pesat di Sugapa. Ia
masuk TK bersama teman-temannya, yakni Mianus Yatrinap, Apniel Sani,
Henes Belau, Elle Belau, Yuspina Belau, Natalia Sani, Aminar Maiseni dan
Lerina Kogoya.
Setelah menyelesaikan TK pada tahun 1998, ia dan teman-temannya
berangkat ke Kabupaten Nabire untuk melanjutkan Sekolah Dasar (SD).
Di SD Kristen Anak Panah Kali Bobo Nabire ia belajar selama 6 tahun.
Pada tahun 2004 ia melanjutkan SMP Kristen Anak Panah dan tahun 2007
lulus dari SMP tersebut. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di SMA Kristen
Anak Panah milik Yayasan Pesat itu hingga tahun 2010.
Okto sudah menjadi yatim piatu sejak usia yang sangat belia. Ayahnya
meninggal pada saat dia duduk di kelas 1 SD. Ibunya menyusul ketika dia
berada di kelas 5 SD. Untunglah dia kemudian tidak mendapat kesulitan
melanjutkan sekolahnya. Dia tinggal di asrama sekolah dan mendapat
beasiswa karena kecerdasannya.
Sejak TK hingga SMA Okto tinggal bersama teman-teman dan adik-adik di
asrama milik Yayasan Pesat yang dipimpin oleh Pdt. Daniel Alexander dan
hidup di asrama bersama teman-teman dan adik-adik. Mereka hidup ibarat
satu keluarga kandung. Mereka rasakan sakit, rasakan susah, suka, duka
dan menderita bersama-sama. Mereka hidup sangat dekat dan hidup sebagai
keluarga besar. Di asrama mereka hidup dengan mama-mama dan bapak-bapak
pengasuh di asrama serta para guru-guru di sekolah yang mengajar dan
mendidik Oktovianus Pogau bersama teman-temannya hingga selesai SMA.
Sejak di
bangku SMA kelas 1, Okto aktif dalam dunia jurnalistik dan dia selalu
menang (juara) dalam lomba tulis menulis, seperti mengarang dan
sejenisnya yang dilakukan Pemda setempat antar sekolah di Nabire. Pada
saat itu, tulisannya bahkan sering dimuat di beberapa media lokal,
seperti Papuapos Nabire, Majalah Selangkah, Suara Perempuan dan di
sejumlah media nasional di bawah asuhan Markus You, salah satu wartawan
senior yang bekerja di Papuapos Nabire dan Tablod Jubi Papua. Oleh
karena melalui tulisannya itu, Pogau mulai dikenal oleh media-media di
Indonesia dan dunia.
Untuk mencurahkan kegelihannya tentang keadaan sosial di Nabire dan
Papua umumnya, pada umur 16 tahun, Okto sudah membuat sebuah blog
pribadinya, (https://pogauokto.wordpress.com). Selain ia menulis artikel
di media cetak loka, di sanalah dia mengasah bakatnya. Lalu, ia juga
mencetak bulletin milik SMA Kristen Anak Panah yang diterbitkan dua kali
dalam sebulan. Karena tulisannya yang menggugah hati para pembaca, ia
bahkan menjadi siswa Papua pertama yang diwawancarai Metro Papua TV yang
kala itu baru hadir di Jayapura dan ditayangkan dalam bentuk feauture.
Di situlah nama Oktovianus Pogau naik hingga Gubernur Papua, Barnabas
Suebu menjanjikannya untuk kuliah di luar negeri. Namun, hal itu kandas
entah apa alasannya.
Seusai menyelesaikan SMA tahun 2010 ia berangkat ke Jakarta guna
melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Ketika itu Okto mendapatkan
beasiswa untuk beajar di kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI). Di
kampus ini dia memilih jurusan Hubungan Internasional (HI). Padahal,
bidang yang ia tekuni semenjak masih remaja adalah jurnalistik, rupanya
dia punya pertimbangan khusus memilih bidang ini. Sekalipun sangat
mencintai dunia jurnalistik, Okto memikirkan masa depan bangsanya. Untuk
dia, masa depan Papua ada pada diplomasi internasional. Perkuliahannya
sampai semester III dan dia tidak melanjutkan pendidikannya hingga
selesai, karena dia sangat sibuk dalam kerja dunia jurnalistik sehingga
harus balik ke Jayapura dalam mengadvokasi berbagai hal
Pogau pernah mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), dan kemudian mendapat undangan untuk
mengikuti kursus Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau.
Disanalah dia bertemu dengan Andreas Harsono, seorang jurnalis dan
peneliti Human Rights Watch (HRW), yang sekaligus juga menjadi wali
muridnya di Jakarta.
Pada tanggal 10 Desember 2011, Oktovianus Pogau mendirikan media
online yang bernama suarapapua.com bersama rekannya dari Intan Jaya,
Arnold Belau yang berkantor di Jayapura. Media suarapapua.com masih
berjalan hingga saat ini dalam mempublikasikan berbagai informasi yang
beragam dan berimbang dari tanah Papua dengan slogan menyuarakan kaum
tak bersuara.
Didirikannya media tersebut adalah bentuk kecintaannya kepada tanah
dan orang Papua untuk terus menyuarakan berbagai persoalan yang dihadapi
bangsa Papua di atas tanahnya. Sebab, baginya hanya medialah sebagai
satu-satunya “obat” ampuh untuk negeri ini.
Selain sibuk di jurnalistik, Oktovianus juga sibuk sebagai aktivis
Hak Asasi Manusia (HAM) di Jayapura dan melakukan advokasi berbagai
pelanggaram HAM di tanah Papua.
Okto sangat mencintai negeri Cenderawasih yang penuh dengan susu dan
madu ini. Semasa pendidikan di Jakarta, Okto tergabung ke dalam
organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Bahkan dia sempat menjadi
pengurus di bidang pendidikan dan pengembangan. Karena kebutuhan untuk
melakukan aksi di tingkat nasional, dia bersama rekannya almarhum Victor
Kogoya menjadi perwakilan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) konsulat
Indonesia Barat. KNPB adalah sebuah organisasi pemuda, pelajar, dan
mahasiswa Papua yang banyak mengangkat isu ketidakadilan di negerinya.
Para pemuda Papua yang bergabung dalam organisasi ini sangat serius
mempertanyakan masa lampau Papua termasuk proses Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) 1969 yang kontroversial itu. Tidak heran kalau para
pemuda ini menuntut diadakannya referendum untuk menentukan masa depan
Papua.
Okto memang pandai mengusik kenyamanan pikiran orang lain. Kepalanya
selalu penuh ide dan rencana. Dia sangat ingin membuka celah agar
orang-orang di Jakarta mendengar dan memperhatikan apa yang dialami oleh
orang Papua. Dia tahu itu sulit, Namun dia tidak peduli. Anak belia ini
paham betul akan peran dan posisi Jakarta sebagai jalan keluar banyak
masalah di negerinya. Itulah sebabnya dia sangat serius mempelajari
Indonesia, terutama politik di Jakarta.
Sejak tahun 2014, Okto memulai jatuh sakit dan sembuh pada bulan Mei
2015 setelah melalukan pengobatan secara medis di rumah sakit Dian
Harapan. Walaupun masih sakit, ia tekun dan fokus pada pekerjaannya
yakni terus menyuarakan berbagai hal melalui tulisannya yang dijadikan
berupa berita di media yang dia pimpin.
Walaupun bandannya masih lemas, bulan November 2015, Okto mengikuti
Festival Media di Indonesia yang digelar oleh Aliansi Jurnalis
Independent (AJI) di Jakarta bersama Arnold Belau, wartawan
tabloidjubi.com dan Koran Jubi dan Indrayadi TH dari cendananews.com
mewakili AJI Papua.
Meski butuh waktu untuk istrahat, pada akhir 2015, dia mendapat
International Visitor Program di Amerika Serikat. Dia berjalan selama
sebulan termasuk berkunjung ke Washington DC. Dia sempat ingin menulis
kenangan dari perjalanan tersebut namun sakit membatalkan keinginan
tersebut. Ini sebuah kehilangan besar buat masyarakat Papua.
Tidaklah terlalu mengherankan jika dia sangat marah dengan Komnas HAM
karena sangat lambat bekerja dalam menindaklanjuti kasus pembantaian di
Paniai pada Desember 2014. Ia mendokumentasikan perkembangan advokasi
kasus ini di Jakarta dan Papua dengan sangat rinci. Dia juga mendorong
kelompok-kelompok mahasiswa Papua untuk mengawal advokasi ini. “Kapan
kalian aksi Paniai lagi di Jakarta?” demikian selalu pesan singkatnya.
Seringkali datang tiba-tiba.
Pada tanggal 23 Desember 2015, Okto kembali dari AS. Setelah kembali,
Okto sakit lagi. Terakhir Okto masuk di RS Dian Harapan Waena, Jayapura
pada 17 Januari 2016. Setelah dua minggu lamanya opname di RS milik
Katolik itu, tepat Minggu, 31 Januari 2016, pukul 21.00 WP Okto
dipanggil Tuhan.
Sesaat kabar meninggalnya Okto tersebat, dalam waktu 3 menit berbagai
kalangan yang dikenal Okto datang penuhi rumah sakit ini. Entah
wartawan, LSM, aktivis kemanusiaan, tokoh agama, mahasiswa hingga
mama-mama Papua.
Okto akhirnya dimakamkan di Yokatapa, Sugapa, Intan Jaya, hari Rabu,
04 Februari 2016. Sebelum dibawa ke kampug halamannya, sempat tawar
mewar antara pihak keluarga dan para jurnalis serta aktivis HAM di
Jayapura yang mengininkan ia dimakamkan di Jayapura. Namun, karena
menghargai keinginan keluarga, kahirnya semua sepakat almarhum
dimakamkan di kampungnya.
Almarhum Okto adalah sosok pemuda Papua yang dikenal kritis, berani,
cerdas dan sangat dikenal serta disegani oleh berbagai kalangan, entah
lembaga pers, lembaga agama, LSM dan lainnya. Terutama dalam melihat dan
mengkritisi hal-hal mendasar yang dihadapi oleh orang Papua seperti
persoalan pelanggaran HAM dan dunia jurnalistik. Keberanian dan
kecerdasannya Okto dalam hal ini menghantarkan mepa Pogai dikenal oleh
masyarakat luas. Baik di Papua, secara nasional di Jakarta dan Indonesia
maupun dunia internasional. Hingga Okto meninggal ia sangat tekun dan
setia pada pekerjaannya sebagai jurnalis muda yang sangat krtitis dalam
kondisi apapun. Okto terus mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM dan
jurnalistik dengan tekun dan setia hingga Okto meninggal dunia.
Kalau kita membuka arsip tulisan-tulisan Okto Pogau, kita seperti
menemukan harta karun pemikiran anak-anak muda Papua kontemporer.
Tulisan-tulisan yang datang dari pikiran jujur seorang anak muda yang
bersemangat itu seakan membuka lebar-lebar jendela pemahaman bagi
orang-orang non Papua akan kegelisahan dan keinginan untuk merdeka.
Sebagian besar orang mungkin mengenal Okto hanya sebagai seorang
jurnalis. Namun sesungguhnya lebih dari itu. Ia adalah penulis dan
pejuang progresif Papua merdeka.
Masa depan suarapapua.com ada di rekan-rekannya yang
ditinggalkan Alm. Okto. Karena, suarapapua.com hadir untuk melihat
banyak persoalan di tanah Papua, mulai dari masalah pendidikan,
kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, dan persoalan politik yang semakin
runyam. Dalam peliknya persoalan tersebut, media di Papua juga dituntut
untuk memberitakan apa yang terjadi secara berimbang, objektif, dan
dengan standar-standar jurnalisme yang baku.
Media
di Papua juga dituntut mampu mengangkat “suara lain” dari masyarakat
akar rumput di tanpa diintervensi pihak manapun. Selama ini, suara-suara
masyarakat Papua selalu “diabaikan”, sehingga terkesan situasi Papua
aman-aman saja. Masyarakat Papua juga bias pembangunan, karena
pemberitaan yang tidak bermutu.
Akumulasi dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, juga
ditambah dengan pemberitaan di berbagai media massa yang menempatkan
masyarakat Papua sebagai pihak yang “bersalah”, menghasilkan perlawanan
yang semakin masif. Dan bahkan, beberapa aktivis dan pengamat di Papua
pernah menyerukan agar media di Papua diboikotkan karena pemberitaannya
selalu tak selalu covert both sides.
Dalam rumitnya persoalan di tanah Papua, media ini diharapkan mampu
berperan dalam mengabarkan dan memberitakan berbagai persoalan di tanah
Papua sesuai dengan fakta yang terjadi.
Di sisi ini, masih ada editornya, Mary Nabelau yang tahu admin media
ini. Oleh karena itu, suara papua tidak berhenti sampai di sini, tapi
masih terus berkembang dan hidup bagi bangsa Papua.
Apa kata mereka:
Andreas Harzono, peneliti Human Rights Watch (HRW) sekaligus wali muridnya di Jakarta: Oktovianus
Pogau memiliki naluri yang sangat baik. Dia orang pertama yang
melaporkan kedatangan Hashim Djojohadikusumo, adik calon presiden
Prabowo Subianto, ke Papua seusai pemilihan presiden Indonesia 2014.
Kedatangan Hashim ini sangat penting karena Papua bisa menjadi kunci
kemenangan dalam pemilihan presiden yang saat itu diramalkan akan
berlangsung ketat. Tidak seperti daerah-daerah Indonesia lainnya, sistem
pemilihan di Papua menggunakan ‘sistem Noken’ dimana para tetua adat
atau mereka yang berkuasa memilih mewakili penduduk wilayahnya. Sistem
ini tentu sangat rawan dengan manipulasi dan kecurangan. Namun akhirnya
Jokowilah yang memenangi Papua.
Victor Yeimo, Ketua KNPB Pusat: percuma menulis dan menangis
untukmu Oktovianus Pogau. Itu tak akan menghilangkan rasa bersalah kami
rakyatmu yang selalu lupa memperhatikan kesehatanmu. Yang kami bisa
hanya nikmati sajian berita yang kau liput dengan penuh pengorbanan.
Sejak 2011 Saya beli dan bikin suarapapua.com karena hanya kau jurnalis
muda yang punya komitmen, bakat, dan cita-cita untuk mengabarkan suara
rakyat dan perjuangan yang dipasung penguasa kolonial. Ko sudah buat itu
dan menjadikan media ini sebagai media yang kredibel dan besar. Kau
tinggakan kesenangan ibukota kolonial, sempat menjadi sekjen KNPB
konsulat. Kau jenius dan teman diskusi yang kaya informasi. Terlalu dini
(sejak bangku SMU) kau mulai baktimu pada negeri ini, tapi juga terlalu
dini kau pergi. maafkan kami yang hanya memanfaatkanmu dan tidak pernah
memperhatikanmu hingga tubuh dan jiwa kau korbankan bagi negeri ini.
Jujur di mata saya kau lelaki moni yang hebat. Okto, rasa bersalah dan
pesan di inbox itu akan selalu menyayat batin ini setiap waktu. Seperti
yang biasa kita bicara saat-saat itu, memang benar bahwa rakyat kita
hanya tau menceritaan satu hal buruk yang kita buat dibanding seribu
pengorbanan yang kita berikan bagi negeri ini. Saya sangat yakin Tuhan
lebih tau dan memperhitungkan jiwa tulus kita pada jalan kebenaran
perjuangan ini. Selamat jalan mepa, okto sayang eeeee.
Victor Mambor, pemimpin umum tabloidjubi.com dan Koran Jubi: Oktovianus
Pogau bukan sekedar teman dan adik buat saya. Dia adalah tandem
sekaligus rival buat saya. Dia adalah “otak kiri” saya dalam dunia
jurnalistik. Dia adalah “separuh jiwa” saya dalam dunia jurnalistik. Dia
tak ada bandingnya. Dia tak ada tandingnya. Dia membuka lebar mata
banyak orang tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Dia pantas
dikenang sebagai pejuang pembebasan, karena di adalah legenda. Amakane.
RIP Mepa!
Nelius Wneda, Presiden Mahasiswa USTJ Papua: Sioooo kaka sayang
secepat ini, Tuhan yang memberi Pula yg mengambil terpujilah Nama Tuhan
semesta alam. RIP KK Oktovianus Pogau.
Mariana Kabey, anggota DPRD Kota Jayapura: RIP – Tuhan telah menyiapkan tempat bagimu. Istirahatlah dalam damai. Amin.
Nick Chesterfield, Redaktur West Papua Media: Okto, saudara muda
yang terkasih, Anda adalah teman, seorang wartawan kawan, dan manusia
luar biasa berani. dedikasi Anda untuk kebenaran adalah sebuah inspirasi
bagi banyak anak muda Papua yang telah mengikuti Anda ke dalam
jurnalisme baru yang menceritakan kebenaran pengalaman dan aspirasi
Papua. kata-kata Anda menyuarakan suara ditekan pemuda, dan Anda menolak
terus-menerus ancaman dari negara Indonesia untuk mengingatkan dunia
untuk kedua mimpi kebebasan dan teriakan menderita di Papua Barat. Okto,
Anda adalah seorang pelopor dalam banyak cara, dan bertanggung jawab
untuk bersinar cahaya pada beberapa rahasia tergelap penderitaan Papua
Barat di bawah Indonesia. Anda mencuri begitu banyak menderita diri dari
Negara, tapi masih berhasil menceritakan kisah tentang orang lain.
Sebagai sumber pendiri, wartawan dan penasihat jaringan WestPapuaMedia
internasional terfokus, Anda menciptakan kesadaran tingkat baru situasi
di Papua dan di seluruh dunia. Sebagai anak dari Mee Pago, Anda telah
membuat orang-orang Anda sangat bangga. Simpati saya yang terdalam pergi
ke keluarga dan teman-teman, dan suku Anda. Papua telah kehilangan
semalam bintang terang, tetapi bintang akan tetap bersinar bagi banyak
orang lain untuk mengikuti.
Saya saudara sangat menyesal bahwa hari-hari terakhir Anda berada
di sakit seperti itu, tapi Anda mencapai begitu banyak dalam hidup muda
Anda. Ini adalah kejutan besar bagi kita semua. Hanya baik mati muda.
Perpisahan saudara muda, wartawan kawan. Anda akan sangat dirindukan.
Dengan cinta dan hormat untuk hidup penuh prestasi dipotong terlalu
pendek. Berjalan dengan baik ke dalam cahaya.
Bento Madubun, Pemimpin redaksi Harian Pagi Papua: Diks, sa tra
tau mo bilang apa, tidak ada lagi yang inbox sa tengah malam frown
emotikon tidak ada lagi yang curhat dari abe, bali, jakarta. kita semua
tau adik pu perjuangan, perjuangan hidup, perjuangan bangkitkan
suarapapua, dan perjuangan panjang hingga akhir hayat, SELAMAT JALAN
ADIK, SAHABAT dan JURNALIS TANGGUH yang tidak goyah oleh ‘badai’. Tuhan
tau yang terbaik, RIP.
Andy Yeimo, mahasiswa Papua di Yogyakarta: Kematian tak
memisahkan kau dengan kami, para pewarta yang menyalakan kata di
lorong-lorong yang terjangkau cahaya. Kematianmu telah membuka pintu
yang terkunci oleh tirani, oleh gentar dan takut kami. Pahlawanku,
Guruku, Jurnalis muda PAPUA. Selamat beristrahat di sisi kanan Allah
Bapa di surga.RIP: Oktovianus Pogau.
Zely Ariane, Kordinator PapuaItuKita: Hari ini memang hari duka.
Apalagi hujan tak berhenti. Tak apa, untuk sesaat menikmatinya. Sa
anggap Oktovianus Pogau su bertemu Victor Hara, dan mereka sedang dengar
album ini. Tak habis pikir anak satu ini. Dalam berbagai kesulitan di
Papua ia tumbuh menjadi begitu cemerlang dan gembira! Tak pernah saya
bertemu dia dalam keadaan putus asa atau sedih. Bicaranya penuh dengan
pesan dan rencana2, juga tawa–termasuk terus saja tambah-tambahi beban
kerja saya. smile emotikon Tapi menyenangkan, karena kita jadi temukan
harapan.
Terbuat dari apa anak ini? Dari 2008 (saat baru berumur 16th!) de
sudah menulis hal-hal sulit di https://pogauokto.wordpress.com (!) Dari
soal Bersabar Dalam Penderitaan sampai Fidel Castro, Gusdur, pancasila,
marhaenisme, dan komunisme. Siooo, Okto. Karena itukah au pasang foto
Castro di profil?
De tentu bukan malaikat. Tapi tra terlalu penting itu sekarang.
Semangatnya yang hingga akhir hayat tak berhenti pikir nasib dan
perjuangkan bangsanya, mesti jadi inspirasi. Yoo… tong lanjut~ SALUD,
Mepa!
Harun Rumbarar, wartawan suarapapua.com: Kaka adik sudah kirim
berita itu, sudah masuk di keranjang SuaraPapua kah? Kaka, knp tra balas
z punya sms ka. Kaka” hilang bersama waktu” Tinggal kaka punya
potrettttttttt. Diam membisu. Kemanapun aku pergi bayangmu mengejar.
Bersembunyi di manapun engkau ku temukan.
Nelius Tatogo, Kabag Humas Setda Kabupaten Paniai: Kami segenap
keluarga besar Humas Kabupaten Paniai menyampaikan turut berduka cita
atas meninggalnya saudara kita Oktopianus Pogau (pimred suarapapua.
com). Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan di surga. (Abeth You)
http://tabloidjubi.com/2016/02/07/oktovianus-pogau-wartawan-muda-yang-kritis-dan-tajam/6/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar