Pages

Pages

Jumat, 23 Oktober 2015

Brigjend Richard Joweni, Sosok Tentara dan Diplomat Revolusioner

Ketua LIDIK Papua, Hendrik Abnil Gwijangge - IST

Jayapura, Jubi – Lembaga Investigasi dan Informasi Kemasyarakatan (LIDIK) Papua menilai belum adanya kepastian kontrak karya PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia menjadikan peluang besar bagi aktivis Papua Mereka di United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk melobi ke Amerika. 

Ketua LIDIK Papua, Hendrik Abnil Gwijangge mengatakan, belum pastinya kontrak perusahaan raksasa Amerika itu merupakan salah satu konspirasi yang dimainkan Amerika melalui agen intelijen Central Intelligence Agency (CIA) untuk menekan Indonesia.

“Apalagi isu Pelanggaran HAM di Papua, sudah dibahas di Forum PBB oleh beberapa negara kawasan pasifik,” kata Hendrik melalui pesan tertulis yang diterima Jubi di Kota Jayapura, Kamis (22/10/2015).

Menurut Hendrik, Amerika sebagai negara kapitalis bisa saja membantu bangsa Papua untuk menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan memberikan pengakuan terhadap status sejarah politik Papua sebagai wilayah yang belum memiliki pemerintahan sendiri di forum PBB.

Aktivis Papua bukan negara, lanjutnya, tentunya tidak bisa menggugat, tetapi dengan alasan ada pelanggaran HAM yang terus mereka tuntut, negara-negara lain bisa saja membantu orang Papua menggugat Pepera.

“Apalagi kita ketahui, bahwa Komite Khusus PBB tentang dekolonisasi telah mengesahkan secara aklamasi menyangkut masalah penentuan nasib sendiri beberapa bangsa termasuk West Papua,” katanya.

Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat, Victor Yeimo mengungkapkan, pihaknya bersama massa rakyat Papua akan menutup operasi pertambangan PT. FI di Timika.

“Bagi KNPB tidak ada yang namanya kontrak karya baru lagi, kami akan mengkoordinir rakyat West Papua untuk turun jalan menutup operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia,” ujar Victor Yeimo.

Sebelumnya, tokoh pemuda suku Amungme dan Kamoro di Timika, Hans Magal menilai kehadiran PT. Freeport Indonesia merupakan awal penindasan bagi Hak Asasi Manusia (HAM) orang Papua, secara khusus masyarakat milik hak ulayatnya, yakni Amungme dan Kamoro.

“Sejak Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan di tahun 1967, sejak itu PT. Freeport masuk di tanah Amungsa, dan ini adalah awal penderitaan bagi orang Papua, karena tidak melibatkan pemilik hak ulayat,” tegas Hans Magal.

Dikatakan Hans Magal, saat UU PMA disahkan, Indonesia berada dibawah rezim Soeharto yang sangat pro-kapitalis, dan mendapatkan bantuan dari Central Intelligence Agency (CIA) yang berhasil menjatuhkan rezim Soekarno.
“Bagi Amerika Serikat, pemberian izin penambangan kepada Freeport merupakan utang budi yang harus ditebus Soeharto, padahal sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat, ini yang kami sesalkan,” katanya.

Dilansir kompas.com, Selasa (20/10/2015), istana belum bisa memberikan kepastian kelanjutan kontrak karena terkendala regulasi.

“Soal Freeport, Presiden punya sikap cukup jelas. Berdasar undang-undang, pembahasan perpanjangan baru dilakukan dua tahun sebelum berakhir pada tahun 2021,” ujar Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Selasa (20/10/2015).

Dengan demikian, pembahasan perpanjangan kontrak seharusnya baru bisa dilakukan pada tahun 2019. Namun, dengan kondisi itu, Teten menyebutkan tidak ada perusahaan tambang yang mau menanamkan investasinya karena tidak ada kepastian perpanjangan kontrak.

“Ada enggak yang mau bisnis Rp 10 miliar dollar, tambang dalam 2 tahun, tambang akan turun, eksplorasi misalnya. Ada enggak yang mau kalau ternyata tidak pasti ada perpanjangan. Nah ini dilemtis,” kata dia.

Presiden menekankan lima hal harus dipenuhi Freeport jika ingin melanjutkan kontrak di Indonesia, seperti royalti, divestasi usaha, kandungan lokal, pembangunan industri smelter, dan pembangunan Papua. Untuk menyiasati kendala regulasi itu, kelima poin itu pun dibahas lebih dulu dalam proses pranegosiasi yang dilakukan mulai sekarang.

Meski terhambat regulasi, Teten menyebutkan pemerintah juga berkepentingan untuk dalam bisnis Freeport di Indonesia.

“Pemerintah berkepentingan agar produksi terus bertambah. Kalau enggak, APBN langung collapse karena gede banget kan. Maka ini harus disiasati,” ucap Teten. (Abeth You)

http://tabloidjubi.com/2015/10/22/belum-pastinya-kontrak-freeport-peluang-besar-ulmwp-lobi-amerika/