Pages

Pages

Kamis, 27 Agustus 2015

Media Massa dan Wartawan di Papua: Profesionalkah?

Papua dan Media Massa (Foto.Ist)
Kadangkala saya merasa heran dengan pemberitaan media massa di Papua. Baik media cetak maupun elektronik hanya gemar dan cenderung memberitakan “kebaikan” pemerintah. Coba tengok saja pemberitaannya, pasti isinya kurang lebih begini misalnya, “pemerintah telah berhasil membangun rakyat Papua”, “pemerintah daerah kabupaten… telah meningkatkan kesejahteraan rakyat”, “program… telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat”, “karena keberpihakan pemerintah maka angka kemiskinan orang asli Papua menurun dratis”, “pemerintah Kabupaten… telah berhasil menurunkan angka kematian ibu dan anak”, “pertumbuhan ekonomi di Papua meningkat dengan tajam dan tertinggi di Indonesia”, “program… untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua”, “TNI dan POLRI telah menjamin keselamatan orang asli Papua”, “pemerintah telah bekerja sama dengan… untuk membangun dan mensejahterakan rakyat”, dan sebagainya.

Sahabat saya, seorang wartawan di sebuah media massa terkemuka di Jakarta pernah berkata kepada saya, “Kawan, saya kadang heran dengan pemberitaan media massa di Papua. Hampir semua media massa di Papua sepertinya telah menjadi ‘alat penguasa’. Ada semacam pengontrolan media secara sistematis. Atau jangan-jangan wartawannya saja yang mau jadi ‘alat penguasa’ untuk kepentingan ‘cari makan’. Atau justru wartawannya saja yang tidak profesional atau bodoh. Media massa di Papua rata-rata menjadi ‘media propaganda’ penguasa. Banyak hal faktual yang direkayasa sedemikian rupa dan disembunyikan dari pemberitaan. Kasihan sekali.”

Berangkat dari pendapat saya dan pendapat sahabat saya di atas berkaitan dengan fenomena pemberitaan media massa di Papua, ada lima catatan penting sebagai berikut.

Pertama, segenap warna dunia telah mengakui bahwa media massa merupakan “pilar demokrasi keempat” setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam kedudukan seperti ini, seharusnya media massa menjadi “alat penyeimbang” bagi kekuasaan dengan menjadi corong rakyat untuk menciptakan partisipasi rakyat dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Media massa seharusnya menyampaikan hal-hal faktual yang benar-benar dirasakan, dipikirkan, dikatakan, dan diinginkan oleh rakyat. Media massa di Papua semestinya menjadi “pilar demokrasi” untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya dirasakan, dipikirkan, dikatakan, dan diinginkan oleh rakyat, bukan menjadi “alat penguasa” untuk membodohi, menipu, dan menindas rakyat.

Kedua, wartawan wajib bersikap dan bertindak profesional. Profesi wartawan ibarat “nabi”, yang tugasnya adalah “mewartakan suara kenabian”, yakni “suara kebenaran”. Dalam kapasitas seperti itu, maka wartawan di Papua harus mempunyai hati nurani untuk mengungkap hal-hal faktual dan menghindari rekayasa fakta. Apa yang benar harus diwartakan sebagai kebenaran. Apa yang salah harus diwartakan sebagai kesalahan. Jangan membenarkan semua kesalahan dan menyalahkan semua kebenaran dengan hanya menjadi “penguasa fans club”.

Ketiga, pemberitaan media massa tergantung bayaran. Bukan menjadi rahasia bahwa sejumlah media massa atau wartawan (entah sepengetahuan menajemen media massanya atau tidak) seringkali mematok “harga berita” dengan jumlah uang tertentu. Kategori berita tertentu dengan patokan harga tertentu. Maka wajar saja jika hampir semua pemberitaan dikuasai oleh penguasa sebagai pihak yang menguasai dan memiliki uang. Dan jelas wajar “suara rakyat” tidak terberitakan karena rakyat kebanyakan tidak menguasai dan memiliki uang. Karena ini yang terjadi, maka profesionalitas media massa di Papua perlu diragukan. Peringatan media massa kepada wartawannya dan khalayak bahwa, “Wartawan… tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun” yang gemar disampaikan selama ini hanyalah pembohongan publik semata.

Keempat, Papua membutuhkan media massa hebat dan wartawan hebat. Media massa yang hebat adalah media massa yang menjalankan tugas jurnalismenya dengan profesional (baik dab benar). Wartawan yang hebat adalah wartawan yang bekerja secara profesional (baik dan benar). Dalam situasi Papua yang sudah “berhasil membangun kebohongan” diperlukan media massa dan wartawan pendobrak kebohongan agar hal-hal faktual yang merupakan suara kenabian benar-benar diwartakan. Rakyat Papua yang suara kebenarannya “dibungkam” oleh rekayasa media massa selama ini pantas bersyukur bahwa masih ada media massa alternatif. Ibaratan sebuah perjalanan yang macet, jika jalan utama tak dapat dilalui, maka jalan alternatif pun bisa. Kreativitas sejumlah anak muda Papua melalui pendirian media massa online maupun membuka group diskusi melalui media sosial telah menjadi “media massa baru” untuk melawan media massa “mainstream” yang selama ini menguasai Papua untuk membodohi, menipu, dan menindas rakyat Papua.

Kelima, kembali ke jalan yang benar. Jika media massa di Papua dan wartawannya diibaratnya sebagai orang yang tersesat di jalan yang salah, maka kita herharap agar mereka “kembali ke jalan yang benar”. Lebih baik menyesal biar terlambat, dari pada tidak sama sekali. Lebih baik menjadi “nabi” yang mewartakan suara kebenaran, dari pada menjadi “agen neraka” yang mewartakan suara kesalahan dan kebohongan. Lebih baik merintis jalan ke surga, dari pada mengaspal jalan ke neraka.

Saya berharap semoga hal ini menjadi perhatian bagi media massa dan wartawannya di Papua. Semoga hal ini menjadi empedu yang menyembuhkan dan cambuk yang menyegarkan. Semoga suara kebenaranlah yang diwartakan. Semoga ini merupakan jalan menuju surga.

(Dumupa Odiyaipai)