Papua dan Media Massa (Foto.Ist) |
Sahabat saya, seorang
wartawan di sebuah media massa terkemuka di Jakarta pernah berkata
kepada saya, “Kawan, saya kadang heran dengan pemberitaan media massa di
Papua. Hampir semua media massa di Papua sepertinya telah menjadi ‘alat
penguasa’. Ada semacam pengontrolan media secara sistematis. Atau
jangan-jangan wartawannya saja yang mau jadi ‘alat penguasa’ untuk
kepentingan ‘cari makan’. Atau justru wartawannya saja yang tidak
profesional atau bodoh. Media massa di Papua rata-rata menjadi ‘media
propaganda’ penguasa. Banyak hal faktual yang direkayasa sedemikian rupa
dan disembunyikan dari pemberitaan. Kasihan sekali.”
Berangkat
dari pendapat saya dan pendapat sahabat saya di atas berkaitan dengan
fenomena pemberitaan media massa di Papua, ada lima catatan penting
sebagai berikut.
Pertama, segenap warna dunia telah mengakui
bahwa media massa merupakan “pilar demokrasi keempat” setelah eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dalam kedudukan seperti ini, seharusnya
media massa menjadi “alat penyeimbang” bagi kekuasaan dengan menjadi
corong rakyat untuk menciptakan partisipasi rakyat dalam pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan. Media massa seharusnya menyampaikan
hal-hal faktual yang benar-benar dirasakan, dipikirkan, dikatakan, dan
diinginkan oleh rakyat. Media massa di Papua semestinya menjadi “pilar
demokrasi” untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya dirasakan,
dipikirkan, dikatakan, dan diinginkan oleh rakyat, bukan menjadi “alat
penguasa” untuk membodohi, menipu, dan menindas rakyat.
Kedua,
wartawan wajib bersikap dan bertindak profesional. Profesi wartawan
ibarat “nabi”, yang tugasnya adalah “mewartakan suara kenabian”, yakni
“suara kebenaran”. Dalam kapasitas seperti itu, maka wartawan di Papua
harus mempunyai hati nurani untuk mengungkap hal-hal faktual dan
menghindari rekayasa fakta. Apa yang benar harus diwartakan sebagai
kebenaran. Apa yang salah harus diwartakan sebagai kesalahan. Jangan
membenarkan semua kesalahan dan menyalahkan semua kebenaran dengan hanya
menjadi “penguasa fans club”.
Ketiga, pemberitaan media massa
tergantung bayaran. Bukan menjadi rahasia bahwa sejumlah media massa
atau wartawan (entah sepengetahuan menajemen media massanya atau tidak)
seringkali mematok “harga berita” dengan jumlah uang tertentu. Kategori
berita tertentu dengan patokan harga tertentu. Maka wajar saja jika
hampir semua pemberitaan dikuasai oleh penguasa sebagai pihak yang
menguasai dan memiliki uang. Dan jelas wajar “suara rakyat” tidak
terberitakan karena rakyat kebanyakan tidak menguasai dan memiliki uang.
Karena ini yang terjadi, maka profesionalitas media massa di Papua
perlu diragukan. Peringatan media massa kepada wartawannya dan khalayak
bahwa, “Wartawan… tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun” yang gemar
disampaikan selama ini hanyalah pembohongan publik semata.
Keempat, Papua membutuhkan media massa hebat dan wartawan hebat. Media
massa yang hebat adalah media massa yang menjalankan tugas jurnalismenya
dengan profesional (baik dab benar). Wartawan yang hebat adalah
wartawan yang bekerja secara profesional (baik dan benar). Dalam situasi
Papua yang sudah “berhasil membangun kebohongan” diperlukan media massa
dan wartawan pendobrak kebohongan agar hal-hal faktual yang merupakan
suara kenabian benar-benar diwartakan. Rakyat Papua yang suara
kebenarannya “dibungkam” oleh rekayasa media massa selama ini pantas
bersyukur bahwa masih ada media massa alternatif. Ibaratan sebuah
perjalanan yang macet, jika jalan utama tak dapat dilalui, maka jalan
alternatif pun bisa. Kreativitas sejumlah anak muda Papua melalui
pendirian media massa online maupun membuka group diskusi melalui media
sosial telah menjadi “media massa baru” untuk melawan media massa
“mainstream” yang selama ini menguasai Papua untuk membodohi, menipu,
dan menindas rakyat Papua.
Kelima, kembali ke jalan yang benar.
Jika media massa di Papua dan wartawannya diibaratnya sebagai orang yang
tersesat di jalan yang salah, maka kita herharap agar mereka “kembali
ke jalan yang benar”. Lebih baik menyesal biar terlambat, dari pada
tidak sama sekali. Lebih baik menjadi “nabi” yang mewartakan suara
kebenaran, dari pada menjadi “agen neraka” yang mewartakan suara
kesalahan dan kebohongan. Lebih baik merintis jalan ke surga, dari pada
mengaspal jalan ke neraka.
Saya berharap semoga hal ini menjadi
perhatian bagi media massa dan wartawannya di Papua. Semoga hal ini
menjadi empedu yang menyembuhkan dan cambuk yang menyegarkan. Semoga
suara kebenaranlah yang diwartakan. Semoga ini merupakan jalan menuju
surga.
(Dumupa Odiyaipai)