Denpasar, Jubi – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam
munculnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 482.3/4439/SJ tentang
penyesuaian prosedur kunjungan jurnalistik ke Indonesia. Surat Edaran
ini dikirimkan Menteri Dalam Negeri ke semua kepala daerah baik di
provinsi maupun kabupaten dan kota.
Hal itu tertuang dalam siaran pers AJI yang diterima Jubi melalui elektromail, Kamis (27/8/2015).
AJI menyebutkan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, menyatakan sebagaimana dilansir Tempo.co, jurnalis asing serta kru film yang hendak melakukan kegiatan di Indonesia harus memiliki izin dari Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing di Kementerian Luar Negeri, serta Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri.
Terdapat aturan tambahan yang menyatakan jurnalis asing yang meliput memerlukan izin dari pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Semua aktivitas ini di bawah kendali Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing yang merupakan sejenis satuan tugas di Kementerian Luar Negeri. Tim ini terdiri atas berbagai lembaga, seperti Badan Intelijen Negara, polisi, imigrasi, dan beberapa unsur pengawasan terkait.
Surat ini, menurut AJI, mencederai kebebasan pers di Indonesia. Surat tersebut justru mengukuhkan ketertutupan akses bagi setiap jurnalis asing yang hendak meliput atau melakukan dokumentasi. Jika dulu mekanisme semacam Clearing House ini terbatas di Papua, kini pemerintah memperluas pembatasannya ke seluruh Indonesia.
Menurut Ketua Bidang Advokasi AJI, Iman D. Nugroho, surat ini mencerminkan pemerintah yang tidak memahami prinsip kebebasan pers. Surat ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers.
“Saya pertanyakan apa dasar Mendagri mengeluarkan pembatasan terhadap aktivitas jurnalis?” kata Iman, di Jakarta, Rabu (26/8).
Surat Mendagri ini juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2015 lalu saat berkunjung ke Papua yang menyatakan Papua terbuka untuk jurnalis asing yang hendak meliput.
“Pembatasan ini jelas tidak sejalan dengan semangat yang disampaikan Presiden Jokowi saat di Papua yang membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing,” kata Iman.
Sementara itu, Ketua Umum AJI, Suwarjono, menyatakan, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini juga membuat kebebasan pers Indonesia tidak kondusif karena jurnalis-jurnalis asing tidak merasa bebas melakukan pekerjaannya.
“Padahal, tahun 2017 nanti, Indonesia akan menjadi tuan rumah perayaan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia,” kata Jono.
Jurnalis-jurnalis asing yang dibatasi kegiatannya ini akan membawa cerita buruk soal kebebasan pers di Indonesia ke dunia. Alih-alih mendapatkan cerita bagus mengenai Indonesia, tindakan birokratis atas jurnalis asing justru akan menghasilkan cerita negatif.
“Jelas, surat edaran yang membatasi akses jurnalis asing ini kontraproduktif dengan upaya Presiden Jokowi menggenjot investasi asing untuk membangun Indonesia,” kata Jono.
Suwarjono mengusulkan Pemerintah Indonesia sebaiknya menyiapkan regulasi untuk jurnalis asing yang lebih demokratis, modern, dan transparan. Regulasi untuk jurnalis asing ini semata-mata hanya terkait status ketenagakerjaan atau dokumen kunjungan, bukan pada peliputan atau konten apa yang mereka buat.
“AJI juga mendesak, pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, mempermudah visa jurnalis bagi setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Indonesia,” kata Jono.
“Justru dengan kemudahan itu, jurnalis asing akan memiliki kesan positif terhadap pemerintahan hari ini. Pesan positif itu akan tersiar luas di dunia internasional,” katanya. (Dominggus Mampioper)
http://tabloidjubi.com/2015/08/27/aji-kecam-pemerintah-jokowi-batasi-akses-jurnalis-asing/
Hal itu tertuang dalam siaran pers AJI yang diterima Jubi melalui elektromail, Kamis (27/8/2015).
AJI menyebutkan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo, menyatakan sebagaimana dilansir Tempo.co, jurnalis asing serta kru film yang hendak melakukan kegiatan di Indonesia harus memiliki izin dari Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing di Kementerian Luar Negeri, serta Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri.
Terdapat aturan tambahan yang menyatakan jurnalis asing yang meliput memerlukan izin dari pemerintah di tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Semua aktivitas ini di bawah kendali Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing yang merupakan sejenis satuan tugas di Kementerian Luar Negeri. Tim ini terdiri atas berbagai lembaga, seperti Badan Intelijen Negara, polisi, imigrasi, dan beberapa unsur pengawasan terkait.
Surat ini, menurut AJI, mencederai kebebasan pers di Indonesia. Surat tersebut justru mengukuhkan ketertutupan akses bagi setiap jurnalis asing yang hendak meliput atau melakukan dokumentasi. Jika dulu mekanisme semacam Clearing House ini terbatas di Papua, kini pemerintah memperluas pembatasannya ke seluruh Indonesia.
Menurut Ketua Bidang Advokasi AJI, Iman D. Nugroho, surat ini mencerminkan pemerintah yang tidak memahami prinsip kebebasan pers. Surat ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers.
“Saya pertanyakan apa dasar Mendagri mengeluarkan pembatasan terhadap aktivitas jurnalis?” kata Iman, di Jakarta, Rabu (26/8).
Surat Mendagri ini juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2015 lalu saat berkunjung ke Papua yang menyatakan Papua terbuka untuk jurnalis asing yang hendak meliput.
“Pembatasan ini jelas tidak sejalan dengan semangat yang disampaikan Presiden Jokowi saat di Papua yang membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing,” kata Iman.
Sementara itu, Ketua Umum AJI, Suwarjono, menyatakan, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini juga membuat kebebasan pers Indonesia tidak kondusif karena jurnalis-jurnalis asing tidak merasa bebas melakukan pekerjaannya.
“Padahal, tahun 2017 nanti, Indonesia akan menjadi tuan rumah perayaan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia,” kata Jono.
Jurnalis-jurnalis asing yang dibatasi kegiatannya ini akan membawa cerita buruk soal kebebasan pers di Indonesia ke dunia. Alih-alih mendapatkan cerita bagus mengenai Indonesia, tindakan birokratis atas jurnalis asing justru akan menghasilkan cerita negatif.
“Jelas, surat edaran yang membatasi akses jurnalis asing ini kontraproduktif dengan upaya Presiden Jokowi menggenjot investasi asing untuk membangun Indonesia,” kata Jono.
Suwarjono mengusulkan Pemerintah Indonesia sebaiknya menyiapkan regulasi untuk jurnalis asing yang lebih demokratis, modern, dan transparan. Regulasi untuk jurnalis asing ini semata-mata hanya terkait status ketenagakerjaan atau dokumen kunjungan, bukan pada peliputan atau konten apa yang mereka buat.
“AJI juga mendesak, pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, mempermudah visa jurnalis bagi setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Indonesia,” kata Jono.
“Justru dengan kemudahan itu, jurnalis asing akan memiliki kesan positif terhadap pemerintahan hari ini. Pesan positif itu akan tersiar luas di dunia internasional,” katanya. (Dominggus Mampioper)
http://tabloidjubi.com/2015/08/27/aji-kecam-pemerintah-jokowi-batasi-akses-jurnalis-asing/