Robertino Anebora, Sekretaris Suku Besar Yerisiam kepada wartawan mengatakan, sejak 2010 hingga saat ini, PT.Nabire Baru beroperasi tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat adat suku Yerisiam dan juga mengabaikan aturan yang berlaku terkait dengan Amdal dan lainnya.
“Pengabaian adat yakni dengan adanya pelepasan yang dilakukan sepihak oleh oknum masyarakat Yerisiam, padahal dia (oknum tersebut -red) bukan siapa-siapa dan tidak melibatkan seluruh tokoh adat atau masyarakat
Yerisiam yang lain, sehingga tidak sah. Sejak tahun beroperasi, Amdal baru ada pada 2013 dimana aktivitas perusahaan berjalan namun hak guna usaha (HGU) baru keluar pada Januari 2015 dan berlaku selama 35 tahun. Bagaimana kami menuntut pemerintah tidak menutup mata atas kasus ini,” ujarnya di Padangbulan, Jayapura, Papua, Rabu (3/6).
Oleh karena itu pihaknya menuntut adanya Memorandum of Understanding (MoU) sehingga jelas, lahan yang digunakan seluas 17.000 hektar ini apakah sewa pakai atau pinjam pakai untuk melindungi hak masyarakat adat.
“Persoalan belum selesai, HGU sudah keluar dan berlaku 35 tahun lagi. Ini ada apa?” tanyanya kesal.
Pihaknya menganggap PT. Nabire Baru melakukan pelecehan kepada masyarakat adat suku Yerisiam yang diakuinya berjumlah lebih kurang 500 KK ini. Masalahnya, baik fasilitas rumah, pendidikan dan kesehatan tidak diperoleh dari perusahaan dimana perusahaan menutup diri dan bersembunyi dibalik PAM Swakarsa Brimob Polda Papua.
“Sudah sekian tahun kami berjuang sendiri untuk mendapatkan keadilan, namun usaha kami terus kandas hingga kami merasa lelah dan bosan akan itu, sehingga kami meminta kepada Koalisi untuk membantu menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Di tempat yang sama, John N.R. Gobay, Ketua Koalisi Peduli Korban Sawit di Nabire mengatakan, atas mandat yang diberikan oleh Dewan Adat Yeriesam, pihaknya telah melakukan beberapa langkah upaya penyelesaian, yakni telah dilayangkan surat akan kisruh lahan sawit tersebut ke DPR Papua yang dianggap mampu memberikan rekomendasi terhadap Gubernur Papua akan kasus ini. Pihaknya juga meminta agar perusahaan menghentikan aktivitas perusahaan sambil menunggu rekonsiliasi penyelesaian untuk membicarakan kerugian masyarakat dan membicarakan ke depannya seperti apa. Tidak hanya itu, pihaknya juga meminta kepada Polda Papua untuk ikut mendorong penyelesaian kasus ini.
“Kami meminta Pemerintah tidak menutup mata atas kasus yang sangat merugikan masyarakat adat Yeriesam ini dan tidak menutup kemungkinan ke depan kami akan menggugat Pemerintah, baik provinsi maupun Kabupaten Nabire atas ijin yang diberikan tidak sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku,” tegasnya.
Gobay juga mempertanyakan klaim lahan perusahaan yang hanya berdasar pada surat pelepasan lahan sepihak oleh Yunus Bonay karena lahan seluas 17.000 hektar tidak mungkin hanya dimiliki oleh satu marga saja.
“Tujuh belas ribu hektar ini adalah tanah komunal, dimiliki banyak orang, dan kepemilikannya adalah banyak sub suku. Untuk melepaskan lahan tersebut harusnya dilakukan oleh sub suku ataupun suku besar Yerisiam, namun ini sepihak,” katanya.
Oleh Karena itu, pihaknya meminta untuk segera dibuatkan MoU antara perusahaan dan masyarakat adat Yeriesam, perusahaan harus mengganti rugi kerusakan yang disebabkan selama Amdal belum keluar itu, dan untuk mencapai kesepakatan pemerintah harus melakukan moratorium atau pemberhentian sementara terhadap operasi perusahaan tersebut.
“Jika pemerintah menutup mata atas kasus ini, dan tidak mengindahkan tuntutan kami maka kami meminta Gubernur Papua untuk mencabut ijin operasi perusahaan ini,” tegasnya lagi.
Diakuinya, saat ini dari berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti, Pusaka Jakarta, SKP-KC Fransiskan, KPKC GKI, Greenpeace, ALDP, KontraS, Jer@t, Jasoil telah bergabung untuk mengadvokasi masyarakat Nabire ini agar permasalahan ini dapat segera selesai.
“Ini bukan kerja saya sendiri, namun merupakan kerja bersama, sehingga kami mengajak teman-teman lain untuk ikut peduli mendorong penyelesaian kasus ini,” katanya. (Edy Siswanto)
http://www.tapanews.com/2015/06/05/suku-yerisiam-pemerintah-jangan-tutup-mata/