Ilustrasi - Jubi/IST |
Jayapura, Jubi – Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Wasior, Papua tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.
“Secara nonyudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Rabu (13/5/2015), seperti dikutip Kantor Berita Antara.
Dilaporkan juga oleh Antara, keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Talangsari, Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Dikatakan, kendala penanganan ke-7 kasus itu, kejadiaannya sudah berlangsung lama hampir 50 tahun, hingga sulit mencari bukti-bukti dan saksi, termasuk tersangkanya.
Karena itu, kata dia, Kejagung sudah mengambil langkah mengundang Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk mencari solusi agar mekanisme penyelesaiannya bisa diterima semua pihak.
“Langkah lainnya memilah-milah kasus yang nonyuridis,” ucapnya.
“Langkah lainnya memilah-milah kasus yang nonyuridis,” ucapnya.
Pihaknya mengklaim sudah melakukan pembahasan awal yang selanjutnya untuk membahas penyelesaian teknis.
“Nanti bersama Komnas HAM akan ada sekretariat bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut,” ujarnya.
“Nanti bersama Komnas HAM akan ada sekretariat bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut,” ujarnya.
Peristiwa Wasior yang dikenal sebagai Wasior Berdarah ini terjadi pada 13 Juni 2001. Ratusan orang tak berdosa tewas dalam rangkaian peristiwa Wasior Berdarah ini.
Peristiwa ini bermula dari aksi masyarakat menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang rampok oleh perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seperti PT. Darma Mukti Persada (DMP), P.T Wapoga Mutiara Timber (WMT), C.V Vatika Papuan Perkasa (VPP). Aksi yang dilakukan pada pertengahan Maret 2001 memberikan batas waktu kepada PT. DMP sampai dengan 30 Maret 2001 untuk segera membayar ganti rugi hak ulayat. Namun P.T DMP di Wondama, kantor cabang di Manokwari maupun Jakarta tidak merespon tuntutan masyarakat, dan bahkan masyarakat yang menuntut hak-hak dasar itu di cap sebagai pengacau keamanan di tangkap, disiksa dibunuh dan menghilangkan secara paksa.
sehingga tanggal 31 Maret 2001 masyarakat melakukan penutupan jalan P.T DMP dan hanya bertahan sehari karena tanggal 31 Maret “kelompok tidak dikenal bersenjata” menembak mati 3 orang karyawan P.T DMP. Akibat peristiwa tersebut pada tanggal 1-2 April 2001, pasukan Brimob didatangkan dari Kabupaten Sorong, Biak, Manokwari dan Bintuni. Dalam rangka pencarian kelompok TPN/OPM yang diduga melakukan penembakan, Aparat Kepolisian Brimob melakukan penyisiran di daerah Wombu, daerah seluruh Wondama, Kecamatan Wasior dan sekitarnya.
Paska penembakan, Polda Papua dengan di dukung Kodam XVII Trikora segera melakukan operasi penyisiran “Operasi Tuntas Matoa”. Dalam operasi tersebut, penduduk sipil yang tidak tahu menahu tentang penyeragnan tersebut dan pembunuhan terhadap Brimob menjadi sasaran penembakan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan secara kilat dan penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat Brimob, selain itu 51 rumah dibakar dengan harta bendanya di 8 lokasi yg berbedah (Wasior kota, kampung Wondamawi, Kampung Wondaboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba. Operasi tersebut juga memakan korban secara meluas ke beberapa daerah luar teluk Wondama seperti Yopanggar bagian utara teluk wondama, wilayah kepulauan Roon, Kecamatan Windesi, kecamatan ransiki, Bintuni, kota Manokwari dan Nabire. (Victor Mambor)
http://tabloidjubi.com/2015/05/13/kejaksaan-agung-kasus-wasior-akan-direkonsiliasi/