PEMEKARAN AGIMUGA DAN DAMPAKNYA
Kantor Distrik Agimuka. Foto: Ist. |
Oleh : Frater Ibrani
Gwijangge
1. Proyek OTSUS-DOB di Papua
Program pembangunan semakin meningkat sejak
ditetapkannya OTSUS pada tanggal 21 November 2001 untuk Propinsi Papua.
Perkembangan selanjutnya dikeluarkan Isntruksi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada juli 2006 soal percepatan Pembangunan. Untuk menjalankan roda
pembangunan sebagai penjelasan teknis UU Otsus, 29 menteri dan pejabat
setingkat digerakkan untuk mendukung Inpres dan kemudian melahirkan UP4B di
tingkat Kabupaten. Hasil dari UP4B lebih pada spesifikasi ke tingkat distrik
Papua yang disebut DOB. Daerah Otonomi Baru (DOB) adalah daerah penggabungan
minimal 5 Distrik untuk menuju Kabupaten baru dan paling sedikit 5 Kabupaten
untuk Propinsi.
Proyek DOB sukses ditetapkan di mana-mana
dengan nilai Miliaran bahkan Triliunan uang mengalir. Upaya setiap pejabat
semakin meningkat untuk menggolkan status daerah mereka sebagai wilayah yang
pantas menjadi DOB. Sampai pada detik ini kabupaten-kabupaten baru tumbuh subur
bagai jamur di musim hujan. Syarat untuk lolos menjadi DOB, factor utama yang
diperhitungkan adalah potensi kekayaan alam yang ada untuk menjawab kebutuhan
nilai ekonomis yang semakin meningkat, penambahan arus penduduk, kelompok,
lembaga dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan perkembangan DOB, melalui Sumber Sinar Harapan, @ SHNEWS.CO,
Gubernur Propinsi Papua Lukas Enembe dalam kunjungannya ke Lembaga Adat Suku
Kamoro (LEMASKO)-Timika pada Kamis 25 Juli 2013, menjelaskan bahwa persyaratan
menyangkut Daerah Otonomi Baru (DOB) didasarkan pada Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2007: tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan
penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah
yang baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik
kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan
masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya
DOB. Secara administratif paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan
suatu provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan suatu
kabupaten, dan 4 empat kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon
ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
2. Perkembangan DOB di
Timika-Agimuga
Khususnya di Kabupaten Mimika, terdapat dua
Kabupaten baru yang diusulkan yaitu Kabupaten
Mimika Timur di wilayah Suku Sempan Timur, Amungme, Uncemol dan Amung-Nduga di
Agimuga dan Kabupaten Mimika Barat yang didiami oleh Suku Kamoro. Nantinya yang
akan disahkan adalah kabupaten-kabupaten yang memenuhi syarat
administrasi, syarat yuridis dan beberapa factor lain yang mendukung. Kedua kabupaten ini termasuk
dalam 22 Kabupaten di Daerah Otonom Baru yang juga menunggu keputusan dari
menteri untuk di SK-kan pada bulan Agustus 2013. Keseluruhan daerah baru yang
tergolong dalam DOB berjumlah 205 wilayah. Terakhir pada bulan April
2013, Pemerintah dan DPR telah mensahkan 19 DOB, 2 diantaranya berada di
Provinsi Papua Barat yakni
Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak.
Pada tahun 2011-2012 isu DOB semakin hangat
dibicarakan dalam elit politik local yang ingin memekarkan Agimuga sebagai
Kabupaten baru. Namun setelah penyelidikan ke dalam, ternyata kelompok yang
bergerak adalah terdiri dari orang-orang yang stress karena tidak mendapat
kursi orang nomor satu dan kursi DPRD di Kabupaten Timika. Atau disebut juga
mereka yang kalah dalam persaingan politik, seperti lazimnya gerakan sekelompok
yang nasipnya sama di Kabupaten-kabupaten lain di Papua. Perjuangan kekompok
pemekaran ini membujuk bupati Klemen Tinal dan mendesak untuk harus di mekarkan
Agimuga sebagai Kabupaten baru. Upaya ini berujung pada pertentangan antara
kelompok pemekaran dan tokoh Adat dan hukum bapak Nerius Katagame yang mewakili
seluruh komponen rakyat di Agimuga. Sampai pada tahun 20013, pembicaraan
tentang pemekaran masih ditolak rakyat karena mencium gerakan sekelompok yang
bisa membahayakan keutuhan masyarakat adat setempat-sebelum diskusi public dan
sosialisasi di akar rumput setiap suku yang ada. Namun sebelum kesepakatan di
akar rumput, kong-kali kong suda ada keputusan di tingkat pemerintahaan soal
DOB di Agimuga. Sesuai berita media Kabupaten Mimika dalam www.mimikakab.go.id,
usulan tentang Kabupaten Agimuga di SK-kan dengan Nomor 110 tahun 2012
oleh bupati Klemen Tinal, SE, MM pada tanggal 30 Aril 2012. Untuk proses
selanjutnya, Pemerintah Mimika sebagai Kabupaten induk menganggarkan Rp. 200
Miliar yang nantinya akan dikucurkan setiap semester 50 Miliar selama 2 tahun.
Dari 22 daerah DOB yang telah mengajukan usulan tersebut, sekarang tinggal
menunggu hasil dari bapak menteri
3. Kembali ke Kronologi
Percepatan Pembangunan dan Dampaknya bagi pribumi
Menjelang 6 tahun terakhir dari tahun
2006-2013, proses percepatan Pembangunan semakin meningkat. Persiapan pemekaran
Kabupaten baru ditetapkan setelah lolos seleksi dalam tahap DOB. Beberapa
Kabupaten baru yang telah memenuhi syarat telah ditetapkan dan banyak pemekaran
kabupaten definitive bermunculan di berbagai tempat pulau cenderawasih Papua.
Instruksi percepatan pembangunan
yang diterjemahkan dalam kebijakan OTSUS-UP4B-DOB, telah mengarah ke perluasan
wilayah Papua seccara besar-besaran. Peluang ini terus mendorong pergerakan
penduduk non pribumi memadati semua tempat perkotaann maupun perkampungan.
Keberadaan penduduk pribumi Papua yang hanya diitung dengan jari menjadi
penduduk minoritas, sementara daerah pemekaran DOB semakin meluas. Perkembangan
perdagangan ekonomi komersial dan menengah dikuasai oleh pendatang. Rakyat
pribumi hanya bisa menjual pinang, makanan local, kerajinan tangan untuk
kebutuhan harian. Sementara para elit local bisa menghambur-hamburkan uang ke
kantong-kantong pengusaha komersial dan pedagang sukses.
Pembangunan perluasan wilayah terus berefek
pada eksploitasi hutan lindung, wilayah adat, habitat hewan dan segala yang
ada. Konflik horizontal dan vertical terus membara atas benturan kepentingan,
segala penyakit social, wabah/penyakit/virus semakin meluas sejalan dengan
akses transportasi yang menghubungkan ke berbagai tempat. Perubahan dan desakan secara drastic
terjadi tanpa persiapan SDM dan keahlian bagi rakyat pribumi. Rakyat asli Papua
semakin kehilangan tatanan nilai hidup dan jati diri. Nilai dan tatanan hidup
yang terpatri melalui adat dan agama misionaris semakin kabur. Pergeseran nilai
hidup ini mengakibatkan mereka terjerumus dalam berbagai hal buruk: budaya
miras, togel, prostitusi, aibon, kekerasan dan perang suku. Arus perubahan
negative (walaupun sedikit positifnya) telah mengarah ke pembunuhan karakter
ras dan bangsa. Sekarang kita tinggal menunggu apa yang di sebut sebagai “hukum
alam atau seleksi alam: yang kuat dan mampu akan bertahan tetapi yang lemah
akan punah”.
4. Metode Konflik untuk DOB dan
Pemekaran Kabupaten di Papua
Konflik berarti adanya benturan dari setiap
keinginan, pendapat yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Weiten (2004)
mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau
dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan.
Jadi, konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di
bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua
motif yang saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan
frustasi pada motif yang lain.
Metode konflik ini yang dipraktekan antara
motif dari yang kuat terhadap yang lemah dan tentunya kuat pasti menang dengan
berbagai upaya untuk melawan motif dari lemah yang pasti kalah. Realitas di
Papua selama DOB dan Pemekaran Kabupaten berlangsung, metode konflik dijadikan
sebagai penentu kebijakan dan selalu sukses di mana-mana. Strategi konflik di
tengah wilayah rentang konflik dipilih sebagai senjata ampuh bagi pencapaian
keinginan walaupun dapat mengorbankan nilai kemanusiaan. Konflik dapat melahirkan konflik dan
diselesaikan lewat konflik, tanpa metode konflik perluasan DOB tidak
terselenggara baik. Pemerintah dengan kekuatan dan kekuasan, kepintaran dan
berbagai macam keahlian mampu merancang konflik dan menyelesaikan konflik
dengan menekan rakyat yang tidak berdaya. Pihak yang tidak berdaya seperti
rakyat papua terus memberontak tetapi tidak ada keberpihakan hukum yang adil.
Pihak yang lemah pastinya kalah, tetapi nilai kebenaran tidak pernah kalah.
Ketika nilai kemanusiaan (pihak yang lemah) dilecekan, ditindas dengan
kekerasan, semakin banyak pula benih kekerasan timbul untuk menggoncang
kematangan pihak berkuasa oleh nilai kebenaran itu sendiri.
5. Konflik di Timika tidak
pernah redah: Kesenjangan Nilai Kebenaran
Konflik antar warga selalu membara karena
kecemburuan social, kecemasan atas hak-hak ulayat, tanah adat, dusun/kekayaan
alam dan sebagainya di peras, dirusak oleh pihak berkuasa secara tidak adil.
Metode konflik adu domba diciptakan dengan cara mengotak-kotakan suku-suku yang
dulunya hidup dalam satu honai, membangun kekerabatan lewat perkawinan silang
dan membentuk satu peradaban sejarah setempat. Praktek pecah belah timbul lewat
pihak ke tiga atas nama penguasa, pemodal, perusahan dan pemerintah. Realitas
ini dirasahkan oleh suku Amungme dan Kamoro di Timika lewat kehadiran PT.
Freeport bersama pemerintah
setempat. Terkesan telah
mengotakkan suku Amungme dari suku Amungme yang lain. Misalnya, perhatian penuh
P.T.F.I terhadap WARSING yaitu 3 kampung suku Amungme yang namanya;
Wa-Arowanop-Singa, dari kampung suku Amungme yang lain. Demikian juga 5 Kampung
suku Kamoro dari kampung suku Kamoro yang lain. Di luar dari kedua suku asli
ini apalagi. Nilai kebenaran tetap menuntut di tengah kebijakan yang tidak
benar, tidak adil, tidak jujur dan lain sebagainya. Kalau saja menghilangkan
kata “tidak” dan mengikuti beberapa nilai di atas maka pastinya terjadi
kedamaian, ketenangan, persaudaraan dan kesejahteraan universal teralami.
6. Posisi Gereja di Tengah
Pelecehan Nilai Kemanusiaan di Papua
Melalui kutipan dokumen Konsili Vatikin 2,
Gereja menjunjung tinggi nilai kemanusiaan selagi Gereja Kristus bergumul di
dunia nyata. Dalam Gaudium et
Spes(GS. No.90), ditegaskan
bahwa:
,Akan tetapi dengan memperhatikan dahsyatnya
malapetaka yang menyiksa bagian terbesar umat manusia sekarang ini, dan memupuk
di mana-mana keadilan dan cinta kasih Kristen terhadap orang miskin, maka
Konsili menganggap sangat tepat didirikannya satu organ Gereja sedunia yang
bertujuan memacu masyarakat Katolik untuk memajukan wilayah-wilayah yang miskin
dan mengembangkan keadilan social antarnegara”
Menterjemahkan maksud di atas ke dalam
realitas kekerasan di Papua, maka keadilan, perdamaian, kebenaran, kebebasan
dan kasih sayang merupakan nilai utama yang terus ditegakkan sebagai bagian
dari komitmen Gereja dalam perjalanannya menuju Kerajaan Allah. Gereja
merupakan tanda yang jelas dari komunitas kaum beriman yang berjalan menuju
Kerajaan Allah (keselamatan semua orang). Apabila di dalam perjalanan tersebut
sungguh-sungguh peduli terhadap sesama umat, lebih-lebih mereka yang mengalami
penderitaan, ditindas oleh system, ditindas oleh kekerasan, ditindas oleh
kepentingan sehingga mereka menjadi miskin segalanya. Untuk mereka dan dengan
mereka inilah kita, Gereja, membulatkan tekad dan pengabdian di bidang Keadilan
dan Perdamaian.
Posisi Gereja jelas bahwa dengan cara apapun
tetap memihak pada nilai kemanusiaan dengan memperjuangkan nilai yang selalu
melekat pada hakekat manusia. Gereja berada pada posisi perutusan di tengah
dunia umat manusia, dimana Gereja sedang dan akan berjumpa dengan berbagai
keprihatinan manusia. Yesus mengutus Gereja, (Mat. 9:7-8): Pergilah dan
beritahkanlah Kerajaan surga sudah dekat. Menegakkan Kerajaan Allah, ditengah
budaya manusia kekerasan, perubahan zaman, gejolak dan bentrokan kepentingan,
kaum tertindaks dan lain sebagainya. Gereja
di Papua tak jarang, nada kenabian selalu membumbung tinggi, ini merupakan
suara kebenaran yang perlu direalisir ke sendi-sendi system permainan manusia.
Agimuga adalah wilayah misi yang beberapa
tahun yang silam pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM 1977 dan membawa luka
dan traumatis di hati masyarakat. Sampai pada saat ini isu pemekaran dan
persiapannya seakan-akan memaksakan sesuatu yang simple diselesaikan melalui
banjirnya uang dari Jakarta dan Freeport. Kemajuan menuju Kabupaten dengan
menggabungkan wilayah beberapa Distrik Mimika Timur yaitu; Kliarma, Jita, Jila,
Hoeya dan Manasari. Kalau gabungan terjadi sesuai DOB, maka tenaga kerja dan
penduduk pribumi lebih sedikit di banding penduduk non pribumi memadatinya.
Apalagi penduduk Mimika yang padat dapat menstransfer serta sebagian didatangkan
dari luar Papua yang siap dipake. Atas kecemburuan dengan pribumi, berpotensi
pada konflik kekerasan atau pula demi kepentingan menguasai perang suku pun
timbul. Jadi masyarakat agimuga harus siap menerima apapun setelah SK Kabupaten
diterbitkan. Selanjutnya
kita bersama-sama meramalkan
“AGIMUGA AMAN ATAU HANCUR?...Amolongo, wiwao,
saipa,