Pages

Pages

Rabu, 25 Maret 2015

DAMPAK PEMEKARAN AGIMUGA

PEMEKARAN AGIMUGA DAN DAMPAKNYA

Kantor Distrik Agimuka. Foto: Ist.

Oleh : Frater Ibrani Gwijangge


1.      Proyek OTSUS-DOB di Papua
Program pembangunan semakin meningkat sejak ditetapkannya OTSUS pada tanggal 21 November 2001 untuk Propinsi Papua. Perkembangan selanjutnya dikeluarkan Isntruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada juli 2006 soal percepatan Pembangunan. Untuk menjalankan roda pembangunan sebagai penjelasan teknis UU Otsus, 29 menteri dan pejabat setingkat digerakkan untuk mendukung Inpres dan kemudian melahirkan UP4B di tingkat Kabupaten. Hasil dari UP4B lebih pada spesifikasi ke tingkat distrik Papua yang disebut DOB. Daerah Otonomi Baru (DOB) adalah daerah penggabungan minimal 5 Distrik untuk menuju Kabupaten baru dan paling sedikit 5 Kabupaten untuk Propinsi.
Proyek DOB sukses ditetapkan di mana-mana dengan nilai Miliaran bahkan Triliunan uang mengalir. Upaya setiap pejabat semakin meningkat untuk menggolkan status daerah mereka sebagai wilayah yang pantas menjadi DOB. Sampai pada detik ini kabupaten-kabupaten baru tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Syarat untuk lolos menjadi DOB, factor utama yang diperhitungkan adalah potensi kekayaan alam yang ada untuk menjawab kebutuhan nilai ekonomis yang semakin meningkat, penambahan arus penduduk, kelompok, lembaga dan lain sebagainya. 
Berkaitan dengan perkembangan DOB, melalui Sumber Sinar Harapan, @ SHNEWS.CO, Gubernur Propinsi Papua Lukas Enembe dalam kunjungannya ke Lembaga Adat Suku Kamoro (LEMASKO)-Timika pada Kamis 25 Juli 2013, menjelaskan bahwa persyaratan menyangkut Daerah Otonomi Baru (DOB) didasarkan pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007: tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah, diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya DOB. Secara administratif paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 empat kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan.


2.      Perkembangan DOB di Timika-Agimuga
Khususnya di Kabupaten Mimika, terdapat dua Kabupaten baru yang diusulkan yaitu  Kabupaten Mimika Timur di wilayah Suku Sempan Timur, Amungme, Uncemol dan Amung-Nduga di Agimuga dan Kabupaten Mimika Barat yang didiami oleh Suku Kamoro. Nantinya yang akan disahkan adalah kabupaten-kabupaten yang memenuhi syarat  administrasi, syarat yuridis dan beberapa factor lain yang mendukung.  Kedua kabupaten ini termasuk dalam 22 Kabupaten di Daerah Otonom Baru yang juga menunggu keputusan dari menteri untuk di SK-kan pada bulan Agustus 2013. Keseluruhan daerah baru yang tergolong dalam DOB berjumlah 205 wilayah. Terakhir pada bulan April 2013,  Pemerintah dan DPR telah mensahkan 19 DOB, 2 diantaranya berada di Provinsi Papua Barat  yakni   Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Pegunungan Arfak.
Pada tahun 2011-2012 isu DOB semakin hangat dibicarakan dalam elit politik local yang ingin memekarkan Agimuga sebagai Kabupaten baru. Namun setelah penyelidikan ke dalam, ternyata kelompok yang bergerak adalah terdiri dari orang-orang yang stress karena tidak mendapat kursi orang nomor satu dan kursi DPRD di Kabupaten Timika. Atau disebut juga mereka yang kalah dalam persaingan politik, seperti lazimnya gerakan sekelompok yang nasipnya sama di Kabupaten-kabupaten lain di Papua. Perjuangan kekompok pemekaran ini membujuk bupati Klemen Tinal dan mendesak untuk harus di mekarkan Agimuga sebagai Kabupaten baru. Upaya ini berujung pada pertentangan antara kelompok pemekaran dan tokoh Adat dan hukum bapak Nerius Katagame yang mewakili seluruh komponen rakyat di Agimuga. Sampai pada tahun 20013, pembicaraan tentang pemekaran masih ditolak rakyat karena mencium gerakan sekelompok yang bisa membahayakan keutuhan masyarakat adat setempat-sebelum diskusi public dan sosialisasi di akar rumput setiap suku yang ada. Namun sebelum kesepakatan di akar rumput, kong-kali kong suda ada keputusan di tingkat pemerintahaan soal DOB di Agimuga. Sesuai berita media Kabupaten Mimika dalam www.mimikakab.go.id, usulan tentang Kabupaten Agimuga di SK-kan dengan Nomor 110 tahun 2012 oleh bupati Klemen Tinal, SE, MM pada tanggal 30 Aril 2012. Untuk proses selanjutnya, Pemerintah Mimika sebagai Kabupaten induk menganggarkan Rp. 200 Miliar yang nantinya akan dikucurkan setiap semester 50 Miliar selama 2 tahun. Dari 22 daerah DOB yang telah mengajukan usulan tersebut, sekarang tinggal menunggu hasil dari bapak menteri
3.      Kembali ke Kronologi Percepatan Pembangunan dan Dampaknya bagi pribumi
Menjelang 6 tahun terakhir dari tahun 2006-2013, proses percepatan Pembangunan semakin meningkat. Persiapan pemekaran Kabupaten baru ditetapkan setelah lolos seleksi dalam tahap DOB. Beberapa Kabupaten baru yang telah memenuhi syarat telah ditetapkan dan banyak pemekaran kabupaten definitive bermunculan di berbagai tempat pulau cenderawasih Papua. Instruksi percepatan  pembangunan yang diterjemahkan dalam kebijakan OTSUS-UP4B-DOB, telah mengarah ke perluasan wilayah Papua seccara besar-besaran. Peluang ini terus mendorong pergerakan penduduk non pribumi memadati semua tempat perkotaann maupun perkampungan. Keberadaan penduduk pribumi Papua yang hanya diitung dengan jari menjadi penduduk minoritas, sementara daerah pemekaran DOB semakin meluas. Perkembangan perdagangan ekonomi komersial dan menengah dikuasai oleh pendatang. Rakyat pribumi hanya bisa menjual pinang, makanan local, kerajinan tangan untuk kebutuhan harian. Sementara para elit local bisa menghambur-hamburkan uang ke kantong-kantong pengusaha komersial dan pedagang sukses.
Pembangunan perluasan wilayah terus berefek pada eksploitasi hutan lindung, wilayah adat, habitat hewan dan segala yang ada. Konflik horizontal dan vertical terus membara atas benturan kepentingan, segala penyakit social, wabah/penyakit/virus semakin meluas sejalan dengan akses transportasi yang menghubungkan ke berbagai tempat.  Perubahan dan desakan secara drastic terjadi tanpa persiapan SDM dan keahlian bagi rakyat pribumi. Rakyat asli Papua semakin kehilangan tatanan nilai hidup dan jati diri. Nilai dan tatanan hidup yang terpatri melalui adat dan agama misionaris semakin kabur. Pergeseran nilai hidup ini mengakibatkan mereka terjerumus dalam berbagai hal buruk: budaya miras, togel, prostitusi, aibon, kekerasan dan perang suku. Arus perubahan negative (walaupun sedikit positifnya) telah mengarah ke pembunuhan karakter ras dan bangsa. Sekarang kita tinggal menunggu apa yang di sebut sebagai “hukum alam atau seleksi alam: yang kuat dan mampu akan bertahan tetapi yang lemah akan punah”.

4.      Metode Konflik untuk DOB dan Pemekaran Kabupaten di Papua
Konflik berarti adanya benturan dari setiap keinginan, pendapat yang melibatkan dua pihak bahkan lebih. Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Jadi, konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang saling bertentangan dimana antara motif  yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif yang lain.
Metode konflik ini yang dipraktekan antara motif dari yang kuat terhadap yang lemah dan tentunya kuat pasti menang dengan berbagai upaya untuk melawan motif dari lemah yang pasti kalah. Realitas di Papua selama DOB dan Pemekaran Kabupaten berlangsung, metode konflik dijadikan sebagai penentu kebijakan dan selalu sukses di mana-mana. Strategi konflik di tengah wilayah rentang konflik dipilih sebagai senjata ampuh bagi pencapaian keinginan walaupun dapat mengorbankan nilai kemanusiaan. Konflik  dapat melahirkan konflik dan diselesaikan lewat konflik, tanpa metode konflik perluasan DOB tidak terselenggara baik. Pemerintah dengan kekuatan dan kekuasan, kepintaran dan berbagai macam keahlian mampu merancang konflik dan menyelesaikan konflik dengan menekan rakyat yang tidak berdaya. Pihak yang tidak berdaya seperti rakyat papua terus memberontak tetapi tidak ada keberpihakan hukum yang adil. Pihak yang lemah pastinya kalah, tetapi nilai kebenaran tidak pernah kalah. Ketika nilai kemanusiaan (pihak yang lemah) dilecekan, ditindas dengan kekerasan, semakin banyak pula benih kekerasan timbul untuk menggoncang kematangan pihak berkuasa oleh nilai kebenaran itu sendiri.

5.      Konflik di Timika tidak pernah redah: Kesenjangan Nilai Kebenaran
Konflik antar warga selalu membara karena kecemburuan social, kecemasan atas hak-hak ulayat, tanah adat, dusun/kekayaan alam dan sebagainya di peras, dirusak oleh pihak berkuasa secara tidak adil. Metode konflik adu domba diciptakan dengan cara mengotak-kotakan suku-suku yang dulunya hidup dalam satu honai, membangun kekerabatan lewat perkawinan silang dan membentuk satu peradaban sejarah setempat. Praktek pecah belah timbul lewat pihak ke tiga atas nama penguasa, pemodal, perusahan dan pemerintah. Realitas ini dirasahkan oleh suku Amungme dan Kamoro di Timika lewat kehadiran PT. Freeport  bersama pemerintah setempat.  Terkesan telah mengotakkan suku Amungme dari suku Amungme yang lain. Misalnya, perhatian penuh P.T.F.I terhadap WARSING yaitu 3 kampung suku Amungme yang namanya; Wa-Arowanop-Singa, dari kampung suku Amungme yang lain. Demikian juga 5 Kampung suku Kamoro dari kampung suku Kamoro yang lain. Di luar dari kedua suku asli ini apalagi. Nilai kebenaran tetap menuntut di tengah kebijakan yang tidak benar, tidak adil, tidak jujur dan lain sebagainya. Kalau saja menghilangkan kata “tidak” dan mengikuti beberapa nilai di atas maka pastinya terjadi kedamaian, ketenangan, persaudaraan dan kesejahteraan universal teralami.

6.      Posisi Gereja di Tengah Pelecehan Nilai Kemanusiaan di Papua
Melalui kutipan dokumen Konsili Vatikin 2, Gereja menjunjung tinggi nilai kemanusiaan selagi Gereja Kristus bergumul di dunia nyata. Dalam Gaudium et Spes(GS. No.90), ditegaskan bahwa:
,Akan tetapi dengan memperhatikan dahsyatnya malapetaka yang menyiksa bagian terbesar umat manusia sekarang ini, dan memupuk di mana-mana keadilan dan cinta kasih Kristen terhadap orang miskin, maka Konsili menganggap sangat tepat didirikannya satu organ Gereja sedunia yang bertujuan memacu masyarakat Katolik untuk memajukan wilayah-wilayah yang miskin dan mengembangkan keadilan social antarnegara”
Menterjemahkan maksud di atas ke dalam realitas kekerasan di Papua, maka keadilan, perdamaian, kebenaran, kebebasan dan kasih sayang merupakan nilai utama yang terus ditegakkan sebagai bagian dari komitmen Gereja dalam perjalanannya menuju Kerajaan Allah. Gereja merupakan tanda yang jelas dari komunitas kaum beriman yang berjalan menuju Kerajaan Allah (keselamatan semua orang). Apabila di dalam perjalanan tersebut sungguh-sungguh peduli terhadap sesama umat, lebih-lebih mereka yang mengalami penderitaan, ditindas oleh system, ditindas oleh kekerasan, ditindas oleh kepentingan sehingga mereka menjadi miskin segalanya. Untuk mereka dan dengan mereka inilah kita, Gereja, membulatkan tekad dan pengabdian di bidang Keadilan dan Perdamaian.
Posisi Gereja jelas bahwa dengan cara apapun tetap memihak pada nilai kemanusiaan dengan memperjuangkan nilai yang selalu melekat pada hakekat manusia. Gereja berada pada posisi perutusan di tengah dunia umat manusia, dimana Gereja sedang dan akan berjumpa dengan berbagai keprihatinan manusia. Yesus mengutus Gereja, (Mat. 9:7-8): Pergilah dan beritahkanlah Kerajaan surga sudah dekat. Menegakkan Kerajaan Allah, ditengah budaya manusia kekerasan, perubahan zaman, gejolak dan bentrokan kepentingan, kaum tertindaks dan lain sebagainya.  Gereja di Papua tak jarang, nada kenabian selalu membumbung tinggi, ini merupakan suara kebenaran yang perlu direalisir ke sendi-sendi system permainan manusia.
Agimuga adalah wilayah misi yang beberapa tahun yang silam pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM 1977 dan membawa luka dan traumatis di hati masyarakat. Sampai pada saat ini isu pemekaran dan persiapannya seakan-akan memaksakan sesuatu yang simple diselesaikan melalui banjirnya uang dari Jakarta dan Freeport. Kemajuan menuju Kabupaten dengan menggabungkan wilayah beberapa Distrik Mimika Timur yaitu; Kliarma, Jita, Jila, Hoeya dan Manasari. Kalau gabungan terjadi sesuai DOB, maka tenaga kerja dan penduduk pribumi lebih sedikit di banding penduduk non pribumi memadatinya. Apalagi penduduk Mimika yang padat dapat menstransfer serta sebagian didatangkan dari luar Papua yang siap dipake. Atas kecemburuan dengan pribumi, berpotensi pada konflik kekerasan atau pula demi kepentingan menguasai perang suku pun timbul. Jadi masyarakat agimuga harus siap menerima apapun setelah SK Kabupaten diterbitkan.  Selanjutnya kita bersama-sama meramalkan 

“AGIMUGA AMAN ATAU HANCUR?...Amolongo, wiwao, saipa,