Pages

Pages

Rabu, 22 Oktober 2014

Dua Jurnalis Perancis Tidak Langgar Izin Visa


Pengadilan Jurnalis Perancis: Tiga saksi dari pihak penuntut umum di Pengadilan Negeri Klas IIA Abepura, Jayapura, Papua pada Selasa (21/10). Kikan: Areki Wanimbo, Frengky Nalenan dan Klaus Makabory. (Jubi/ Yuliana Lantipo)
Pengadilan Jurnalis Perancis: Tiga saksi dari pihak penuntut umum di Pengadilan Negeri Klas IIA Abepura, Jayapura, Papua pada Selasa (21/10). Kikan: Areki Wanimbo, Frengky Nalenan dan Klaus Makabory. (Jubi/ Yuliana Lantipo)
Jayapura, Jubi – Tiga saksi dari pihak penuntut umum dalam persidangan dua wartawan Perancis—Thomas Dandois dan Valentine Bourrat—justeru meringankan terdakwa. Kedua wartawan dinyatakan, seharusnya di deportasi (dipulangkan) ke negara asal.
Sidang lanjutan dua wartawan Perancis pada hari kedua, Selasa (21/10) dengan agenda mendengarkan tiga saksi dari pihak penuntut umum. Pertama adalah Areki Wanimbo, Sekretaris Dewan Adat Baliem yang juga menjadi tersangka dan ditangkap usai dikunjungi Thomas dan Valentine, pada 7 Agustus lalu. Serta dua saksi lainnya yakni staf seksi pengawasan dan penindakan Keimigrasian Jayapura, Papua yaitu Klaus Makabory dan Frengky Nalenan.
Bagi Kuasa Hukum kedua wartawan, Aristo Pangaribuan, kesaksian mereka bertiga dapat dipahami tidak terlalu memberatkan kedua kliennya. Hal tersebut terlontar dari pernyataan dan jawaban para saksi. Dirinya juga menilai, defini aktifitas jurnalistik dan wisatawan belum jelas.
“Orang (saksi) imigrasi nggak tahu apa-apa, Areki Wanimbo nggak tahu apa-apa, dan pertanyaan jaksa juga ke mana-mana,” kata Aristo saat ditemui Jubi usai sidang, di PN Klas IIA Abepura, Jayapura, Selasa (21/10).
Thomas dan Valetine dinyatakan bersalah karena melanggar undang-undang keimigrasian Indonesia dengan menyalahgunakan visa wisatawan dan dituding melakukan kegiatan jurnalistik. Dalam pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Thomas dan Valentine yang mengantongi izin wisatawan dinyatakan salah karena telah mengambil gambar video dan foto-foto dibeberapa lokasi di Jayapura. Salah satunya adalah Kampung Sabron, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura.
Aristo menjelaskan, perbedaan kegiatan jurnalistik dengan hanya berfoto-foto saja sebagaimana aktifitas wisatawan adalah bahwa, kalau kegiatan jurnalistik itu, informasinya harus disampaikan kepada masyarakat luas dan dimuat di media. “Artinya, publicity-nya harus terpenuhi. Nah, pertanyaan saya, apakah publicity-nya atas foto-foto klien saya sudah terpenuhi?” Aristo mempertanyakan.
“Kalau hanya foto-foto dengan alat secanggih apapun, tapi foto-foto hanya buat saya pribadi, apakah itu (dikatakan) kegiatan jurnalistik? Kalau saya buat tonton misalnya, kan itu bukan kegiatan jurnalistik,” pungkasnya lagi.
Menurut Aristo, penegak hukum seperti pihak imigrasi pun seharusnya mengerti betul perbedaan kegiatan jurnalistik dan kegiatan pengambilan gambar oleh wisatawan bahkan masyarakat biasa. Sehingga, tidak melakukan kesalahan dengan menahan orang.
“Mereka nggak tahu, saya tanya bedanya foto-foto sama peliputan. Nggak tahu jurnalistik itu apa? Anda kan penegak hukum, bagaimana Anda membedakan foto-foto itu, apakah ini orang lagi melakukan kegiatan jurnalistik atau wisata,” ujar Aristo.
Sidang lanjutan akan dilaksanakan Rabu (22/10) ditempat yang sama. Sidang tersebut mengagendakan dengar pendapat saksi ahli dari pihak penuntut umum. Saksi ahli tersebut berasal dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dan Kementerian Hukum dan HAM RI.  (Yuliana Lantipo)