Penyamatan tanda kebesaran Papua kepada Jokowi di Kampung Harapan, Sentani (Jubi/Mecky) |
Jayapura, 18/9 (Jubi) – Presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo
didesak untuk membubarkan unit khusus Percepatan Pembangunan di Papua
dan Papua Barat (UP4B) dan fokus menangani pelanggaran HAM di Papua.
Program UP4B yang lahir pada 2011 itu, dinilai gagal
mengimplementasikan penyelesaian masalah kemanusiaan di bumi
Cenderawasih. Berdasarkan laporan The Jakarta Globe, unit Khusus yang
dipimpin Bambang Dharmono telah gagal untuk mempromosikan dialog damai
antara Jakarta.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo
Pamungkas, memuji elemen dalam unit yang terbentuk melalui Perpres Nomor
65 tahun 2011 Pasal 10 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
Pasalnya, Pamungkas mengatakan 500 warga Papua telah dibantu belajar
di sekolah-sekolah tinggi di Bali dan Jawa per 2013, sedangkan 1.370
siswa melanjutkan belajarnya disejumlah universitas di Indonesia.
Namun, Pamungkas mengatakan masih ada persolan penting yang tidak
dikerjakan Jakarta. “Jakarta tidak menangani pelanggaran hak asasi
manusia di Papua, dan Presiden baru, Joko Widodo harus fokus pada hal
itu,” ungkap Pamungkas seperti dikutip The Jakarta Globe.
Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Papua,
Peneas Lokbere menyebutkan, paling sedikit terdapat lima kasus
penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap aktivis Komite Nasional
Papua Barat (KNPB) sejak 2012 hingga yang terbaru pada Agustus 2014
lalu.
Menurutnya, aparat kepolisian Papua yang semestinya melindungi dan
mencari pelaku penculikan hingga pembunuhan tersebut tak menunjukkan
itikad kuat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM itu.
Salah satunya, adalah kasus penculikan yang berujung pada pembunuhan
Ketua KNPB Sorong Raya, Marthinus Yohame (25). Jasadnya ditemukan pada
26 Agustus lalu atau lima hari setelah ia dinyatakan hilang oleh pihak
keluarga. Pihak keluarga dan penggiat isu kemanusiaan di Papua menduga,
penculikan dan pembunuhan Yohame dilatarbelakangi pernyataan Ketua KNPB
Sorong itu melalui media yang menyatakan “menolak kedatangan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ke Sorong” pada 23 Agustus untuk membuka acara
Sail Raja Ampat.
Kepada awak media di Sorong, (alm) Yohame juga mengungkapkan, “KNPB
akan menghalau kedatangan Presiden SBY dan meminta pembatalan kunjungan
ke Raja Ampat.”
“Sejak peristiwa ini, pemerintah Indonesia melalui aparat Kepolisian
Daerah (Polda) Papua tidak menunjukkan sikap yang serius untuk melakukan
penyelidikan dan mengungkap pelaku kasus tersebut,” ujar Peneas kepada
Jubi, Kamis (18/9).
Selain kasus Marthinus Yohame, SKP-HAM Papua mencatat beberapa kasus
serupa yang belum ada penyelidikan dari pemerintah Indonesia dan aparat
terkait adalah kasus pembunuhan Wakil Ketua I KNPB, Musa Tabuni pada 14
Juni 2012, Penembakan terhadap anggota KNPB Wamena, Hubert Mabel pada 16
Desember 2012, Pembunuhan terhadap Terijoli Weya, mahasiswa Sekolah
Tinggi Ekonomi (STIE) Port Numbay pada 1 Mei 2012, serta penembakan
terhadap Yesa Mirin, mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) pada 4
Juli 2012.
Selain aktivis KNPB, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat
139 kasus kekerasan di Papua yang terjadi pada tahun 2012 telah
menewaskan 40 penduduk setempat, sedangkan 151 kasus tahun 2013 telah
merenggut nyawa 106 orang.
SKP-HAM Papua menilai, berbagai kasus yang disebutkan di atas sudah
masuk kategori pelanggaran HAM berat sehingga diperlukan adanya respon
cepat penyelesaian kasus-kasus itu dengan melibatkan advokasi
pelanggaran HAM Internasional.
“(Pemerintah) Indonesia jelas-jelas tidak patuh pada aturan-aturan
hukum Indonesia dan terutama standar-standar hukum Internasional yang
telah ditetapkan, terutama dalam kasus penculikan, penyiksaan dan
pembunuhan kilat terhadap Marthinus Yohame di Sorong, Papua Barat.
“Untuk itu, kami desak Pelapor Khusus PBB Bidang Anti Penyiksaan dan
penghilangan paksa, Mr Juan Enesto Mendez untuk datang ke Papua
melakukan penyelidikan atas peristiwa itu,” ungkap Peneas yang juga
aktiv di organsisasi Bersatu untuk Kebenaran (BUK) Papua. (Jubi/Yuliana)
Sumber : www.tabloidjubi.com