Pages

Pages

Sabtu, 16 Agustus 2014

AMP JAWA TENGAH, GELAR AKSI Perjanjian New York Agreement 1962 Ilegal, DALAM TEKANAN MILITER & ORMAS INTELJEN


JAWA TENGAH--- Tepat pada Hari ini, Masyarakat dan Mahasiswa Papua yang  terorganisir oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sejawah Tengah, berdomisili di Jawa tengah yakni AMP Semarang, AMP Sala Tiga, AMP Solo dan AMP Jogya, menggelar Akis Nasional untuk Memperingati 52 Tahun Perjanjian New York/New York Agreement yang Ilegal dan AMP menuntut Hak menentukan Nasib sendiri solusi Demokrasi Bagi Rakyat Papua.

Aksi di mulai dari Rumah adat Papua longmarch sampai Titik Nol Kilo meter Depan kantor Pos Jogya dengan Pengawalan ketat Oleh TNI-POLRI Indonesia Ormas Intelejn pada hari ini 15 Agustus 2014.

Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreemnent) antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua. hal ini disampaikan oleh AMP ke media ini dengan Pernyataan Sikap aksi damai.

Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mendesak Indonesia dalam hal  kepada Rezim SBY-Boediono, atau pemerintahan baru Jokowi JK, Belanda dan PBB untuk segera : 1.    Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua. 2.    Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.3.    Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.

Alasan Amp,  Bahwa Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang ““Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB ‘UNTEA’ kepada Indonesia.

Setelah tranfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang diberi tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New york,

Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.

Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.

Keadaan yang demikian ; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasinya indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia. (Un/Admin)

  
 www.umaginews.com