JAWA TENGAH--- Tepat
pada Hari ini, Masyarakat dan Mahasiswa Papua yang terorganisir oleh
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sejawah Tengah, berdomisili di Jawa tengah
yakni AMP Semarang, AMP Sala Tiga, AMP Solo dan AMP Jogya, menggelar
Akis Nasional untuk Memperingati 52 Tahun Perjanjian New York/New York
Agreement yang Ilegal dan AMP menuntut Hak menentukan Nasib sendiri
solusi Demokrasi Bagi Rakyat Papua.
Aksi
di mulai dari Rumah adat Papua longmarch sampai Titik Nol Kilo meter
Depan kantor Pos Jogya dengan Pengawalan ketat Oleh TNI-POLRI Indonesia
Ormas Intelejn pada hari ini 15 Agustus 2014.
Penandatanganan
Perjanjian New York (New York Agreemnent) antara Belanda dan Indonesia
terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15
Agustus 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat
Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup
rakyat Papua. hal ini disampaikan oleh AMP ke media ini dengan
Pernyataan Sikap aksi damai.
Aliansi
Mahasiswa Papua [AMP] mendesak Indonesia dalam hal kepada Rezim
SBY-Boediono, atau pemerintahan baru Jokowi JK, Belanda dan PBB untuk
segera : 1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri
Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua. 2. Menuntup dan
menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National
Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG
Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah
Papua.3. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non
Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat
Papua.
Alasan
Amp, Bahwa Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang
terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21
mengatur tentang ““Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang
didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One
Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi
dari Badan Pemerintahan Sementara PBB ‘UNTEA’ kepada Indonesia.
Setelah
tranfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang diberi
tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan
pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam
Perjanjian New york,
Indonesia
malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan
penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum
proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan
pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani
Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.
Klaim
atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak
pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).
Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili
1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang
memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia
untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi
dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Keadaan
yang demikian ; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan
pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera
reformasinya indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi
Indonesia. (Un/Admin)
www.umaginews.com