Novela Nawipa, saksi Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi (Foto: facebook.com). |
Oleh:Octovianus Mote*
Seorang teman memberi info bahwa Novela Nawipa, seorang
perempuan Mee menjadi pembicaraan seantero orang Indonesia. Luar biasa
karena dia menjadi buah bibir lebih dari 250 juta manusia di muka bumi
ini.
Tentu saja menarik, sayapun kemudian membaca sejumlah komentar
mencaci maki dan yang memuji. Saya meminta adik Oktovianus Pogau untuk
teruskan gambarnya di TV agar saya bisa tonton.
Saya juga membaca dua tulisan elok dan obyektif dari adik Oktovianus
Pogau dan Made Supriatma – di wall facebook mereka – yang menyoroti
dari sudut yang berbeda.
Saya dibantu oleh sejumlah media Indonesia yang menggambarkan siapa
Novela Nawipa yang tiba-tiba menjadi bintang dan membuat banyak orang
Papua bangga dan tidak sedikit yang iri hati dan mencaci maki.
Otak saya sebelum menonton rekaman TV adalah sudah bayangkan
penampilan seorang perempuan gunung yang digambarkan: tidak tahu adat,
sopan santun dan tidak hargai hakim, memalukan suku Mee dan orang Papua
dan sebagainya.
Tetapi semua itu musnah seketika. Karena yang saya saksikan adalah
penampilan seorang perempuan Papua yang tampil penuh percaya diri, stick
to the point dan tidak terpancing pertanyaan hakim yang memutar
kiri-kanan.
Jawabannya jelas laksana seorang lawyer yang cerdik dan ia uraikan
dalam tutur kata yang sungguh hidup, tidak kaku dan terperangkap
feodalisme beku. Tentu saja ada kekeliruan menyangkut jarak: dari 300 Km
... tapi who care, karena di Papua orang Papua tidak terbiasa dengan
main angka dalam mengukur jarak.
Penguasa kolonial Indonesia pun jarang sekali memasang papan jarak di
tanah Papua dan orang Papua terbiasa dengan menunjuk apa yang ada yakni
dibalik gunung, dibalik sungai, dibalik pohon dan sebagainya sebagai
patok.
Banyak sekali orang Papua, terutama mereka yang merasa diri dan
terdidik dan tahu politik, tata krama etika sopan santun termasuk
perempuan Papua yang mencaci maki Novela.
Saya tidak perduli dengan komentar kaum lelaki Papua. Saya juga lebih
tidak perduli dengan ungkapan orang Indonesia, entah itu yang bermukim
di Papua maupun dari mereka yang lahir besar di tanah Papua yang datang
dan cari makan sejak 1 Mei 1963, saat Indonesia resmi menjajah Papua.
Yang saya peduli, dan karenanya hendak memberikan catatan adalah komentar sesama perempuan Papua terhadap Novela.
Saya hendak mengajak pembaca untuk menonton Beatrix Wanane, anggota
KPU Propinsi Papua di Youtube dengan tulis namanya dan nonton yang
full.
Lihat penampilan dan jawaban dari perempuan yang mengaku dirinya
senior dan intelektua di Papua. Dia menuduh Novela tidak sopan, tidak
jawab pertanyaan Hakim, dan sebagainya. Tetapi lihat apa yang dia
lakukan sendiri, dia tidak mampu jawab pertanyaan sederhana wartawan
tentang kampung yang menjadi sengketa.
Soal tidak sopan, apakah karena Novela tidak pakai kebaya milik
penjajah sebagaimana yang ibu Beatrix gunakan? Ataukah karena dia
perempuan gunung, sehingga Beatrix omong penuh emosi di depan 250 juta
penduduk Indonesia melalui TV, katakan :.... siapa yang perbodoh.....?
Saya bersyukur ada TV Indonesia yang memutar balik cuplikan gaya dan
bahasa Novela dalam menjawab hakim dan memperlihatkan reaksi Beatrix
menyaksikan cuplikan itu.
Jelas sekali disana, justru Beatrix yang penuh emosi dan omong terus
habiskan waktu dan tidak jawab pertanyaan wartawan. Padahal, wartawan
Metro TV yang dikenal TV pendukung Jokowi sudah mengirim begitu
sederhana sesuai skenario kepentingan politik kubu jokowi pun Beatrix,
sang intelektual Papua itu tidak mampu jawab.
Dia lari kepada analisa dia bahwa tidak tahu nama tete nya – padahal
saya tidak dengar hakim tanya nama tete dan kalaupun dia tanya itu tidak
relevan – misalnya. Beatrix juga tidak mampu jelaskan apa yang terjadi
di kampung awabutu.
Beatrix hanya berdalih sesuai laporan daerah.... Sekali lagi ukuran
tahu adat yang Beatrix gunakan adalah sekedar apakah tahu nama kepala
kampung atau tokoh kampung termasuk yang Beatrix karang sendiri nama
tetenya.
Yang menarik Beatrix Wanane, perempuan Papua intelektual senior itu
tidak tahu bahwa Novela punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang
dia (Novela) menilai tidak relevan.
Sementara Novela jawab pertanyaan Hakim dengan santai dan tetap
focus. Dan yang paling penting adalah Novela jawab dengan wajah ceriah
dan senyum. Karena focus maka dia tanya balik hakim ketika dia merasa
belum menjawab secara tuntas.
Gaya bertanya balik dari Novela yang ditafsir berlebihan oleh orang
yang tidak kenal orang Papua yang otaknya masih bersih dan belum
terkontaminasi budaya feodal dan penjajahan Indonesia.
Orang Papua yang irih hati, dan pendukung Jokowi maupun orang Papua
yang asal bunyi pun komentari negative. Padahal novela hanya bilang:....
maksudnya? hanya kata itu yang dia ungkapkan.
Gaya tanya jawab ini sungguh menyegarkan suasana sidang dan itu bisa
dilihat dari gelak tawa para hakim. Kalau mereka merasa penting, mereka
akan sambung kejar dengan pertanyaan lain.
Dan apapun jawabannya, apapun yang keluar dari mulut Novela adalah bahan dalam pengambilan keputusan.
Maka pertanyaan saya adalah dimana unsur marahnya dari pertanyaan
balik Novela tersebut? Apakah karena intonasinya, ataukah karena saat
dia bertanya Novela tidak menunduk atau lihat tempat lain – sebagaimana
dilakukan banyak orang Indonesia yang mewarisi budaya feudal – tidak
menatap mata hakim.
Beatrix mempraktekkan apa yang Yesus katakan bahwa mampu lihat sebuah
jarum kecil di mata Novela namun ular besar yang keluar dari mulutnya
dalam menjawab pertanyaan wartawan TV itu bukan saja dia tidak lihat
melainkan dia mengalir deras laksana arus sungai Mamberamo dari
mulutnya.
Komentar kedua yang hendak saya pakai adalah yang di ungkapkan
seorang aktivis perempuan Papua yang notabene dia sendiri orang gunung,
dari wilayah selatan, suku Muyu.
Dia tuli: Novela dan Nowela, dua bintang dalam TV yang memalukan
bangsa Papua. Ia menilai mereka tampil bukan untuk membela Papua, tetapi
menjadi mainan Prabowo.
Saya menegur dalam facebooknya agar dia hapus kata hinaan itu yakni
"mainan" dari komentar itu karena tidak pantas keluar dari seorang
aktivis perempuan Papua yang saya ikut hormati selama ini.
Dia minta maaf kepada saya bila saya tersinggung dengan ungkapan itu.
Saya jawab bukan maaf kepada saya, tetapi kepada dua perempuan Papua
yang dia sebutkan namun tidak hapus. Penjelasan saya kepadanya bahwa
Novela dan Nowela adalah dua orang yang profesional dalam bidangnya:
satu penyanyi dan satu politisi sehingga mereka bukan mainan Prabowo.
Saya jelaskan kepadanya, apa yang Novela lakukan adalah benar dan
secara profesional dia membela partai politik yang dia pimpin. Soal apa
yang dia sampaikan itu benar atau tidak bukan urusan siapa-siapa, itu
hak hakim dalam pengambilan keputusan atas kasus ini.
Tetapi, perempuan aktivis Papua yang senior ini tetap tidak merubah
posisinya bahwa dua anak perempuan Papua yang menjadi pembicaraan
Indonesia karena kehebatan mereka. Di mata aktivis perempuan Papua ini
adalah sekedar mainan prabowo.
Sekali lagi, kalau yang katakan itu seorang lelaki Papua, saya tidak
peduli karena banyak yang tidak tahu hormati hak perempuan Papua,
apalagi yang otaknya bodok dan kalah dari kaum perempuan Papua.
Tetapi once again ini perempuan Papua sendiri yang menghina
kaumnya, sesama perempua Papua. Itulah sebanya dua contoh ini saya
soroti mewakili mereka yang bernada sama.
Kini catatan umum kepada bangsa papua entah orang gunung atau pantai apapun pemihakkan politiknya. (Bersambung).
*Octovianus Mote adalah warga Papua, bermukim di Amerika Serikat
Sumber : www.suarapapua.com