Pages

Pages

Sabtu, 16 Agustus 2014

Novela Nawipa, You Are Amazing; Nilai Moral dan Pemihakan Politik Bangsa Papua (1)

Novela Nawipa, saksi Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi (Foto: facebook.com).
Oleh:Octovianus Mote*

Seorang teman memberi info bahwa Novela Nawipa, seorang perempuan Mee menjadi pembicaraan seantero orang Indonesia. Luar biasa karena dia menjadi buah bibir lebih dari 250 juta manusia di muka bumi ini. 

Tentu saja menarik, sayapun kemudian membaca sejumlah komentar mencaci maki dan yang memuji. Saya meminta adik Oktovianus Pogau untuk teruskan gambarnya di TV agar saya bisa tonton.  

Saya juga membaca dua tulisan elok dan obyektif dari adik Oktovianus Pogau dan Made Supriatma –  di wall facebook mereka – yang menyoroti dari sudut yang berbeda. 

Saya dibantu oleh sejumlah media Indonesia yang menggambarkan siapa Novela Nawipa yang tiba-tiba menjadi bintang dan membuat banyak orang Papua bangga dan tidak sedikit yang iri hati dan mencaci maki.

Otak saya sebelum menonton rekaman TV adalah sudah bayangkan penampilan seorang perempuan gunung yang digambarkan: tidak tahu adat, sopan santun dan tidak hargai hakim, memalukan suku Mee dan orang Papua dan sebagainya. 

Tetapi semua itu musnah seketika. Karena yang saya saksikan adalah penampilan seorang perempuan Papua yang tampil penuh percaya diri, stick to the point dan tidak terpancing pertanyaan hakim yang memutar kiri-kanan. 

Jawabannya jelas laksana seorang lawyer yang cerdik dan ia uraikan dalam tutur kata yang sungguh hidup, tidak kaku dan terperangkap feodalisme beku. Tentu saja ada kekeliruan menyangkut jarak: dari 300 Km ... tapi who care, karena di Papua orang Papua tidak terbiasa dengan main angka dalam mengukur jarak. 

Penguasa kolonial Indonesia pun jarang sekali memasang papan jarak di tanah Papua dan orang Papua terbiasa dengan menunjuk apa yang ada yakni dibalik gunung, dibalik sungai, dibalik pohon dan sebagainya sebagai patok.

Banyak sekali orang Papua, terutama mereka yang merasa diri dan terdidik dan tahu politik, tata krama etika sopan santun termasuk perempuan Papua yang mencaci maki Novela. 

Saya tidak perduli dengan komentar kaum lelaki Papua. Saya juga lebih tidak perduli dengan ungkapan orang Indonesia, entah itu yang bermukim di Papua maupun dari mereka yang lahir besar di tanah Papua yang datang dan cari makan sejak 1 Mei 1963, saat Indonesia resmi menjajah Papua. 

Yang saya peduli, dan karenanya hendak memberikan catatan adalah komentar sesama perempuan Papua terhadap Novela.

Saya hendak mengajak pembaca untuk menonton Beatrix Wanane, anggota KPU Propinsi Papua di Youtube dengan tulis namanya dan nonton yang full. 

Lihat penampilan dan jawaban dari perempuan yang mengaku dirinya senior dan intelektua di Papua. Dia menuduh Novela tidak sopan, tidak jawab pertanyaan Hakim, dan sebagainya. Tetapi lihat apa yang dia lakukan sendiri, dia tidak mampu jawab pertanyaan sederhana wartawan tentang kampung yang menjadi sengketa. 

Soal tidak sopan, apakah karena Novela tidak pakai kebaya milik penjajah sebagaimana yang ibu Beatrix gunakan? Ataukah karena dia perempuan gunung, sehingga Beatrix omong penuh emosi di depan 250 juta penduduk Indonesia melalui TV, katakan :.... siapa yang perbodoh.....?

Saya bersyukur ada TV Indonesia yang memutar balik cuplikan gaya dan bahasa Novela dalam menjawab hakim dan memperlihatkan reaksi Beatrix menyaksikan cuplikan itu. 

Jelas sekali disana, justru Beatrix yang penuh emosi dan omong terus habiskan waktu dan tidak jawab pertanyaan wartawan. Padahal, wartawan Metro TV yang dikenal TV pendukung Jokowi sudah mengirim begitu sederhana sesuai skenario kepentingan politik kubu jokowi pun Beatrix, sang intelektual Papua itu tidak mampu jawab. 

Dia lari kepada analisa dia bahwa tidak tahu nama tete nya – padahal saya tidak dengar hakim tanya nama tete dan kalaupun dia tanya itu tidak relevan –  misalnya. Beatrix juga tidak mampu jelaskan apa yang terjadi di kampung awabutu. 

Beatrix hanya berdalih sesuai laporan daerah.... Sekali lagi ukuran tahu adat yang Beatrix gunakan adalah sekedar apakah tahu nama kepala kampung atau tokoh kampung termasuk yang Beatrix karang sendiri nama tetenya. 

Yang menarik Beatrix Wanane, perempuan Papua intelektual senior itu tidak tahu bahwa Novela punya hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang dia (Novela) menilai tidak relevan.

Sementara Novela jawab pertanyaan Hakim dengan santai dan tetap focus. Dan yang paling penting adalah Novela jawab dengan wajah ceriah dan senyum. Karena focus maka dia tanya balik hakim ketika dia merasa belum menjawab secara tuntas. 

Gaya bertanya balik dari Novela yang ditafsir berlebihan oleh orang yang tidak kenal orang Papua yang otaknya masih bersih dan belum terkontaminasi budaya feodal dan penjajahan Indonesia. 

Orang Papua yang irih hati, dan pendukung Jokowi maupun orang Papua yang asal bunyi pun komentari negative. Padahal novela hanya bilang:.... maksudnya? hanya kata itu yang dia ungkapkan. 

Gaya tanya jawab ini sungguh menyegarkan suasana sidang dan itu bisa dilihat dari gelak tawa para hakim. Kalau mereka merasa penting, mereka akan sambung kejar dengan pertanyaan lain.

Dan apapun jawabannya, apapun yang keluar dari mulut Novela adalah bahan dalam pengambilan keputusan. 

Maka pertanyaan saya adalah dimana unsur marahnya dari pertanyaan balik Novela tersebut? Apakah karena intonasinya, ataukah karena saat dia bertanya Novela tidak menunduk atau lihat tempat lain – sebagaimana dilakukan banyak orang Indonesia yang mewarisi budaya feudal – tidak menatap mata hakim. 

Beatrix mempraktekkan apa yang Yesus katakan bahwa mampu lihat sebuah jarum kecil di mata Novela namun ular besar yang keluar dari mulutnya dalam menjawab pertanyaan wartawan TV itu bukan saja dia tidak lihat melainkan dia mengalir deras laksana arus sungai Mamberamo dari mulutnya.

Komentar kedua yang hendak saya pakai adalah yang di ungkapkan seorang aktivis perempuan Papua yang notabene dia sendiri orang gunung, dari wilayah selatan, suku Muyu. 

Dia tuli: Novela dan Nowela, dua bintang dalam TV yang memalukan bangsa Papua. Ia menilai mereka tampil bukan untuk membela Papua, tetapi menjadi mainan Prabowo.  

Saya menegur dalam facebooknya agar dia hapus kata hinaan itu yakni "mainan" dari komentar itu karena tidak pantas keluar dari seorang aktivis perempuan Papua yang saya ikut hormati selama ini. 

Dia minta maaf kepada saya bila saya tersinggung dengan ungkapan itu. Saya jawab bukan maaf kepada saya, tetapi kepada dua perempuan Papua yang dia sebutkan namun tidak hapus. Penjelasan saya kepadanya bahwa Novela dan Nowela adalah dua orang yang profesional dalam bidangnya: satu penyanyi dan satu politisi sehingga mereka bukan mainan Prabowo. 

Saya jelaskan kepadanya, apa yang Novela lakukan adalah benar dan secara profesional dia membela partai politik yang dia pimpin. Soal apa yang dia sampaikan itu benar atau tidak bukan urusan siapa-siapa, itu hak hakim dalam pengambilan keputusan atas kasus ini. 

Tetapi, perempuan aktivis Papua yang senior ini tetap tidak merubah posisinya bahwa dua anak perempuan Papua yang menjadi pembicaraan Indonesia karena kehebatan mereka. Di mata aktivis perempuan Papua ini adalah sekedar mainan prabowo.

Sekali lagi, kalau yang katakan itu seorang lelaki Papua, saya tidak peduli karena banyak yang tidak tahu hormati hak perempuan Papua, apalagi yang otaknya bodok dan kalah dari kaum perempuan Papua.

Tetapi once again ini perempuan Papua sendiri yang menghina kaumnya, sesama perempua Papua. Itulah sebanya dua contoh ini saya soroti mewakili mereka yang bernada sama.

Kini catatan umum kepada bangsa papua entah orang gunung atau pantai apapun pemihakkan politiknya. (Bersambung). 

*Octovianus Mote adalah warga Papua, bermukim di Amerika Serikat

Sumber :  www.suarapapua.com