Longginus Pekey, pendidik, pegiat sejarah, ketua Lembaga Pendidikan Papua (LPP). Foto: Dok. MS |
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Dalam
situasi terbelenggu dan tertindas dalam berbagai aspek hidup, orang
Papua saat ini membutuhkan pendidikan yang mencerdaskan. Mencerdaskan,
menurut Pekey, adalah ketika peserta didik dirangsang untuk dapat
memahami, menyikapi dan menyiasati kehidupan.
Setidaknya itu
yang menjadi inti artikelnya berjudul Penididikan Mencerdaskan yang
dimuat di Majalah Selangkah cetak edisi 13, Oktober-Desember 2008.
Pekey menilai,
penidididikan di Papua saat ini masih sentralistik, dan menampakkan
diri sebagai alat propaganda dogma penguasa, agama, dan negara sehingga
tidak mencerdaskan orang Papua. Hal ini yang membuat orang Papua miskin,
pemalas, karena pendidikan gaya sentralistik ini menanamkan
ketergantungan.
Meminjam
kata-kata Antonio Grasci, sekolah seperti ini identik sebagai lahan
subur untuk menanamkan ideologi milik yang berkuasa secara berlebhan.
Artinya, anak-anak dirampas kemerdekaan berpikirnya.
Atau
menggunakan kata-kata Erich Fromm, anak didik di Papua dibuat menjadi
pribadi automaton: individu yang bergerak serupa mesin, serba otomatis
sesuai rancangan, tanpa jiwa dan jati diri. Bahkan Chomsky mengejek
sistem pendidikan ini dengan mengatakan sistem ini menjadi mesin
pencetak anak didik sebagai intelektual pengabdi ideologi penguasa.
Sayangnya,
kata Ketua Lembaga Pendidikan Papua (LPP) ini, sistem pendidikan model
sentralistik dan automaton ini yang sedang diterapkan di tanah Papua.
Pegiat sejarah
dan pendidik di Papua ini memberi contoh. Candi misalnya, atau rel
kereta, atau kapal laut, juga sejarah kerajaan-kerajaan pada masa lalu
di tanah Jawa, yang masih kental dijumpai dalam buku-buku pelajaran
sekolah dasar di Papua. Padahal, semua itu tidak dapat ia bayangkan
karena tidak bersinggungan dengan kehidupannya.
Hal di atas
akan membuat siswa tidak terdidik untuk memahami kehidupannya: mengenal
siapa dia, dimana dia tinggal, bagaimana sejarah hidupnya dan bangsanya,
dan apa saja persoalan-persoalan hidup yang sedang terjadi di
sekitarnya, yang dialami kaumnya.
Anak Papua
dibuat lupa dengan kondisi nyata di Papua, dan dipaksa berimajinasi
jauh, menelaah kehidupan Jawa dan sejarahnya di seberang lautan.
Pendidikan gaya ini tidak mencerdaskan anak Papua, khususnya di poin
pertama, memahami kehidupanya.
Menurut Pekey,
karena kesalahan itu, banyak intelektual Papua saat ini tidak menyikapi
dan mesiasati kehidupannya dan kehidupan bangsanya dengan baik,
takut-takut, karena berasal dari pendidikan yang automaton dan
sentralistik, yang menjadikan dirinya intelektual pengabdi ideologi
penguasa yang lupa siapa dirinya.
Sekolah yang
ketat seperti itu mempraktekkan muatan kurikulum pusat yang sampai
sekarang melakukan penyemaian benih ketergantungan dengan berpegang
teguh pada peradigma industri pemerintah dan kapitalismenya. Dalam
sistem seperti ini, anak Papua menjadi ruang polos untuk diisi dengan
dogma ideologi negara dan kapitalis untuk kelestarian kekuasaan mereka
di tanah Papua.
Menurutnya,
pendidikan yang mencerdaskan yang bertitik pada tiga hal: memahami,
mensikapi untuk mensiasati kehidupan sejalan dengan pendidikan
kembebasan bagi kaum tertindas yang dicetuskan Paulo Fraire.
Kebebasan dari belenggu segala aspek hidup terwujud berkat kehendak dan derap langkah bersama dari rakyat.
Di sanalah
letak pendidikan yang mencerdaskan: pendidikan yang akan membantu anak
Papua memahami diri dan kehidupannya (siapa dirinya, bangsanya,
kehidupannya saat ini, dinamika masa lalunya) dan memahami taktik
menyiasati dan meyikapinya bersama-sama semua masalah kolektif tersebut
sebagai satu bangsa.
Menurut Pekey,
pergerakan rakyat Papua menuju kehidupan yang lebih baik dari semua
pergolakan hidup dan belenggu berbagai aspek hidup harus digerakkan dan
berjalan atas kehendak bersama karena kesadaran penuh rakyat sebagai
satu bangsa.
Dan itu dimulai dari sini: pendidikan yang mencerdaskan bagi segenap orang Papua. (Topilus B. Tebai/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com