Peringatan 16 Tahun Biak Berdarah (Jubi/Aprila) |
Jayapura,
6/7 (Jubi) – Dua bulan pasca tumbangnya rezim Orde Baru, tepatnya pada 6
Juli 1998, terjadi pembantaian besar-besaran atas orang Papua di Pulau
Biak, Papua. Negara lupa pada peristiwa ini tetapi korban tidak lupa.
Lembaga
Advokasi dan Studi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, KontraS Papua,
KPKC Sinode GKI di Tanah Papua dan Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua
memperingati kembali peristiwa tragis yang menelan banyak korban jiwa
karena pengibaran bendera Bintang Kejora di Tower Air, Biak 16 tahun
yang lalu.
“Pemimpin
berganti pemimpin di Indonesia tetapi tidak ada yang bicara soal rasa
keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di Tanah Papua. Negara bisa
lupa dan tidak peduli tapi kami tidak bisa lupa,” ungkap Thineke
Rumkambu dalam testimoninya di Kantor Elsham Papua, Padangbulan,
Jayapura, Minggu (6/7).
Tragedi
Biak Berdarah, 6 Juli 1998, sebuah ukiran penderitaan di hati Orang
Papua. Sebuah tragedi kemanusiaan. Tindakan biadab yang diterima rakyat
sipil, hanya karena mempertahankan Sang Bintang Fajar yang dikibarkan
pada sebuah menara air setinggi 35 di dekat pelabuhan laut Kota Biak.
Aksi damai yang dilakukan 500 – 1.000 masa itu berakhir dengan apa yang
dikenal dengan peristiwa Biak Berdarah, 6 Juli 1998.
Aksi
penaikan Bendera Bintang Kejora ini dinilai sebagai tindakan melanggar
hukum sehingga ditangani dengan kekerasan oleh aparat TNI/Polri. Ratusan
demonstran sipil tak bersenjata yang bertahan di sekitar menara air itu
dikepung dan ditembaki pada 6 Juli 1998 subuh.
Warga
sipil di Kelurahan Pna, Kelurahan Waupnor dan Kelurahan Saramom,
Kecamatan Biak kota digiring oleh aparat ke Pelabuhan laut Biak lalu
dianiaya. Terjadi penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan kilat,
penyiksaan, penghilangan paksa dan berbagai tindakan tidak manusiawi
lainnya.
“Ada
sebagian korban yang diangkut dengan truk-truk brimob, juga sebuah
mobil container ke RSUD dan RSAL Biak namun mereka tidak mendapatkan
layanan medi yang serius,” kata Thineke lagi.
Lanjutnya,
ada sekitar 6 orang korban meninggal yang diangkut ke RSAL Biak saat
itu namun hingga kini jenazah mereka belum kembali ke tangan keluarga.
Beberapa
waktu setelah peristiwa itu, ditemukan puluhan mayat di perairan
(pesisir pantai) Biak. Ironisnya, tanpa dilakukan penyelidikan, aparat
menyatakan mayat-mayat tersebut adalah korban bencana Tsunami di Aitape,
PNG pada 17 Juli 1998 meski di antara mayat-mayat itu ada yang tubuhnya
terbungkus pakaian Pramuka dan kostum Golkar.
“Dari
peristiwa ini, tercatat 230 korban. 8 orang meninggal, 3 orang hilang; 4
korban luka berat dievakuasi ke Makassar, 33 orang ditahan
sewenang-wenang dan 150 orang mengalami penyiksaan dan 32 mayat
misterius,” kata Sandra Mambrasar, dari Desk Perempuan, Elsham Papua.
Untuk
berbagai persoalan pelanggaran HAM yang semakin memburuk di tanah
Papua, komponen-komponen masyarakat sipil ini meminta pemerinta Republik
Indonesia untuk bertanggung jawab terhadap seluruh kasus pelanggaran
HAM di Tanah Papua. Pemerintah juga harus mengusut dan mengadili pelaku
pelanggaran HAM pada peristiwa Biak Berdarah 1998 ini melalui Pengadilan
HAM Ad-hoc dengan membuka kembali hasilkeja Tim Gabungan Pencari Fakta
Peristiwa ini yang dikoordinir Komnas HAM RI.
“Dalam
rangka penyelesaian hukum dimaksud, negara wajib memberikan
perlindungan dan jaminan keamanan terhadap para korban dan keluarganya,
termasuk juga memberikan rehabilitasi dan restitusi kepada para korban,”
kata Sandra Mambrasar . (Jubi/Aprila)
Sumber : www.tabloidjubi.com