Capres RI, Joko Widodo saat berkampanye di Jayapura, Papua (Foto: Oktovianus Pogau/SP) |
PAPUAN, Australia --- Di tengah hiruk-pikuk
politik menjelang pemilihan presiden, Perkumpulan Pelajar Indonesia di
Australia (PPIA) cabang Flinders University, Adelaide, Australia
Selatan, ikut meramaikan pesta demokrasi dengan menggelar diskusi
bertema Menganalisa Indonesia melalui Pilpres 2014.
Pilpres 2014
Pilih Jokowi, Papua Bisa Merdeka?
Cegah Fundamentalisme Kekuasaan, WNI di Australia Deklarasikan Sobat Jokowi
Ini Isi Deklarasi RKIH Untuk Jokowi-JK di Merauke
Sobat Jokowi Dideklarasikan Masyarakat Indonesia di Australia Selatan
Diskusi yang digelar di Flinders University hari ini, Jumat 13
Juni pkl. 9.30–16.00, di antaranya menghadirkan analis Migrant Care
Wahyu Susilo, Direktur Pusat Kajian Asia Flinders University Dr.
Priyambudi Sulistiyanto, dan pengajar Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Malang Wawan Sobari yang sedang mengambil Research High Degree di
Department of Politics and Public Policy Flinders University.
Bagi Priyambudi Sulistyanto, siapapun yang terpilih menjadi presiden
dari dua pasangan yang bertarung dalam pemilu punya tanggung jawab
membawa Indonesia sebagai negara yang mampu membangun dan memelihara
stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara.
Namun begitu, rumusan dan pelaksanaan kebijakan politik luar negeri
Indonesia nantinya harus melibatkan peran, aspirasi, dan kepentingan
masyarakat.
“Banyak orang Australia yang bertanya kepada saya perihal
kekhawatiran mereka jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Mereka tahu
persis seluruh track record Prabowo di Timor Leste. Tetapi, masyarakat internasional juga tidak tahu banyak siapa Jokowi.”
“Sehingga, yang paling penting dalam menentukan pilihan adalah siapa
calon presiden yang memprioritaskan kepentingan masyarakat Indonesia,”
kata pria yang akrab disapa Budi yang juga pernah menjadi dosen di
National University of Singapore.
Wahyu Susilo sangat kecewa dengan penyelenggaraan pemilu yang
meminggirkan buruh migran Indonesia yang mayoritasnya adalah perempuan.
Dalam sejarah pelaksanaan pemilu, buruh migran mendapatkan diskriminasi
paling vulgar. Mereka tidak menjadi subjek dalam politik electoral.
“Kembalikan hak politik buruh migran!” demikian adik dari Widji Tukul
(aktivis korban penculikan 1998 yang sampai sekarang belum ditemukan)
ini menyampaikan tuntutan yang diperjuangkan melalui program Buruh
Migran Melek Pemilu 2014 di Migrant Care.
Ia melanjutkan, banyaknya persoalan pemilu legislatif kemarin
mengharuskan KPU dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) segera
memperbaiki DPT luar negeri dan melakukan sosialisasi waktu pemilihan
yang serius dan tidak mendadak.
Sementara itu, sebagai ahli ilmu politik Universitas Brawijaya Malang
yang melakukan penelitian di empat wilayah besar di Indonesia tentang
apa alasan masyarakat dalam memilih, Wawan Sobari sangat khawatir dengan
maraknya black campaign yang memakai isu agama.
“Di tingkat masyarakat menengah ke bawah dan rural area serangan darat sangat mempengaruhi kepada pasangan mana mereka akan menentukan pilihannya,” ujar Wawan.
Yang memprihatinkan menyebarnya sms-sms berbau isu agama (SARA)
menjelek-jelekkan calon presiden tertentu yang ia sebut aksi tidak
bertanggung jawab itu sebagai “serangan darat” terutama di Jawa Timur.
Terlebih, dari hasil penelitiannya, di Jawa Timur masyarakatnya masih
memegang kuat pola “anut grubyuk,” yakni mengikuti mayoritas yang
bentuknya adalah patuh pada tokoh-tokoh agama, kyai-kyai.
Ia pun menambahkan fakta bahwa dalam kasus Jawa Timur
pimpinan-pimpinan pesantren sudah banyak terinfiltrasi oleh isu dan
kampanye negatif menggunakan agama yang dihembuskan pihak-pihak dari
calon atau pasangan yang satu terhadap calon presiden yang difitnah
tidak mengakomodir aspirasi umat Islam dan malah memihak agama tertentu
di luar Islam.
Keprihatinan yang sama disampaikan peserta diskusi Mustafa, aktivis muda NU yang sedang belajar di Adelaide University.
“Saya berduka dengan politisasi agama yang mencuat menjelang pilpres.
Ini merusak proses demokrasi yang sedang kita bangun,” kata pria yang
mempunyai akun facebook Mochamad Mustafa ini merespon “serangan darat”
yang diterima oleh saudara-saudara dekatnya yang tinggal di Lamongan,
Jawa Timur.
Peserta diskusi lainnya, Sultan Fariz Syah, juga mempunyai kekhawatiran terhadap politisasi agama yang terjadi di Aceh.
Ia memberikan gambaran bahwa agama menjadi isu utama di Aceh. Karena
itu, calon presiden yang dianggap akan mendukung politisasi Qanun
Jinayat yang akan dipilih masyarakat Aceh.
“Ini sangat mengabaikan pluralisme, mengingat masyarakat Aceh terdiri
dari berbagai agama dan keyakinan,” sesal mahasiswa Flinders University
asal Aceh ini.
Aktivis disabilitas Jaka Anom Ahmad Yusuf Tanukusuma yang ikut aktif
dalam diskusi ini menyesalkan penyelenggaraan pemilu yang tidak sensitif
terhadap para penyandang disabilitas.
TPS serta alat-alat pemilu yang tidak ramah terhadap penyandang
disabilitas menjadi penyebabnya. Selain itu, sebagai penyandang
disabilitas ia juga merasa sangat kecewa dengan cara-cara kampanye, baik
dari kubu Prabowo-Hatta maupun Jokowi-Kalla, yang tidak memberikan
“bullet” atau pengetahuan tentang profil serta visi dan misi para
kontestan pilpres yang mudah diakses para penyandang disabilitas.
“Penyandang disabilitas tidak menjadi subjek atau target dalam
pemilu. Sebaliknya, kami hanya dijadikan objek kampanye saja,” beber
Jaka yang sedang mengambil Magister of Disability Study di Flinders
University.
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : www.suarapapua.com