Sekjend Presedium Dewan Papua (PDP), Thaha Alhamid (ditengah) bersama Yoris Raweyai (Foto: portalkbr.com) |
PAPUAN, Jayapura— “Saya pikir Papua
masuk ke dalam NKRI ini merupakan kecelakaan. Kecelakaan sejarah,
kecelakaan politik, kecelakaan sosial maupun kecelakaan budaya. Setelah
50 tahun dalam NKRI, nyatanya nasib Papua bukan lebih baik, tetapi malah
lebih buruk.”
Demikian penegasan Sekjen Presedium Dewan Papua (PDP), Mohammad Thaha Alhamid, belum lama ini saat dihubungi suarapapua.com, via telepon selulernya dari Jayapura, Papua.
“Lebih kacau balau dan nyaris tak berpengharapan. Tahun 1969, Indonesia menolak one man one vote
dengan alasan orang Papua masih primitif dan bodoh. Tahun 2013, bahkan
2014 ini juga Pilkada dan Pileg masih pake sistem noken. Apa artinya ?
50 tahun ini, Indonesia bikin apa? Sehingga orang Papua masih tetap
primitif dan bodoh.”
“Saya kira, banyak hal mesti dibicarakan dengan cermat. Dengan hati
dan kepala dingin. Jangan biasakan diri larut dalam upacara yang
simbolik tapi tanpa perubahan nasib yang nyata,” katanya.
Menurut Thaha, perasaan Orang Asli papua hari ini setelah bersama Indonesia adalah ada tiga kelompok besar. Pertama,
sebagian besar rakyat jelas merasa tertindas dan teraniaya, miskin,
hidup tidak layak dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang buruk.
Di lapisan ini, umumnya mereka faham keadaannya, tapi mereka tidak
bisa merumuskan apa akar masalah dan bagaimana jalan keluar dari masalah
itu.
Dilapisan kedua, orang Papua yang masih terjebak himpitan ekonomi,
tapi umunya yang sudah cukup makan, pendidikan, bisa bekerja dan
berusaha.
“Mereka inilah yang selama ini, coba rumuskan masalah serta berupaya
mencari jalan keluar. Termasuk lewat tuntutan politik, emansipasi soaial
maupun keadilan ekonomi. Jumlah lapisan ini, sangat terbatas dan selalu
jadi sasaran,” tegasnya.
Dan kelompok yang ketiga, lapisan ini adalah elit-elit politik dan
birokrat Papua. “Mereka umumnya pegang kekuasaan atau dekat dengan
kekuasaan. Mereka tahu dan faham bahwa mayoritas rakyat di
kampung-kampung masih tertindas, hidup tidak layak dan serba terbatas,
tetapi mereka justru sedang menikmatinya.”
“Mereka suka upacara, suka retorika, suka pulang pergi Jakarta dan
luar negeri. Suka hidup mewah dan sangat menikmati situasi ini.”
“Dan dari berbagai persolan yang terjadi pada orang Papua setelah
dianeksasi secara paksa ke Indonesia atau dikawinpaksakan kepada
Indoensia, Papua telah menjadi anak tiri. Sehingga segalah upaya yang
dilakukan oleh Iundonesia terhadap Papua tidak pernah dengan sepenuh
hati.”
“Selalu dengan setengah-setengah. Ada indikasi, Pemerintah tidak
ingin membangun Papua. Pemerintah indonesia hanya menginginkan kekayaan
alam dari perut bumi Papua yang melimpah,” tegasnya.
Sehingga, lanjut Thaha, yang diperjuangkan oleh Indonesia untuk tetap
mempertahankan Papua bersama Indonesia adalah bukan karena manusia
Papuanya, tetapi karena ingin merebut dan mengeruk terus kekeayaan yang
ada di dalam perut bumi pulau, yang berbentuk paruh burung surga atau
Cenderwasih ini.
Dari berbagai persoalan itu, menurut Thaha, solusi yang terbaik bagi
orang Asli Papua hari ini adalah Dialog. “Saya kira, jalan utama yang
elegan, orang Papua sendiri, dari seluruh lapisan dan tingkatan, dari
seluruh latar belakang mesti berkontemplasi, merenung dan berdialog
dengan diri sendiri. Barulah, ambil langkah untk duduk bersama, cari
jalan terbaik. Perkara pola hubungan Papua dengan Jakarta, saya rasa
semua kita sudah tahu.”
“Jalan terbaik dan mulia cuma Dialog. Jangan perang, jangan baku
marah, jangan usir orang lain, jangan bunuh rakyat seenaknya. Yang
paling Mulia adalah dialog. Menjadi pertanyaan bersama, apakah
Pemerintahan baru nanti, Papua masih menjadi perhatian unt terus
mendorong jalan damai? Ataukah akan datang lagi praktek kekerasan dan
pembantaian seperti di masa lalu?” tutup Thaha.
ARNOLD BELAUSumber : www.suarapapua.com