Negara tunduk
pada kapitalisme, itu hal umum yang terjadi dan sering dijumpai pada era
globalisasi. Bagaimana jika konflik berkepanjangan di areal industri
kakap, tak mampu diatasi oleh negara, dalam hal ini Indonesia kalah
menyelesaikan konflik berkepanjangan di daerah Timika Papua.
Korban masih terus berjatuhan, fasilitas umum seperti gereja, sudah ada 11 rumah ibadat tutup disini. Sementara, pemerintah pusat sibuk membangun opini tentang kepres penanganan konflik, yang membebankan kepada pemda setempat untuk mengatasinya.
Bahwa Undang-undang RI N0. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial dilapisi dengan Inpres N0. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.
139897103011561237871398971053454101445
UU Penanganan Konflik, disini. Inpres Penanganan Gangguan Konflik, disini.
Negara Hukum Kesatuan, pemerintah pusat punya andil kuat mengatasi apa saja, termasuk gangguan keamanan. Pada jalur otsus pun, pemerintahan daerah tak urus urusan hankam/fiskal/moneter, urusan luar negeri dan perhubungan.
Sementara SBY kasi instruksi agar kepala daerah bersama kementerian terkait membentuk tim terpadu atasi konflik. Kepala daerah otsus bingung, kami diamanatkan tidak urus hankam dalam otsus, tetapi inpres suruh kami urus hankam.
Sekertaris menkopolhukam pada suatu pertemuan sosialisasi penanganan konflik wilayah timur Indonesia di Jayapura, menanggapi konflik di Timika, dia mengatakan, pemda setempat harus berperan aktif atasi konflik sesuai Inpres 2013.
Kekalahan NKRI di Papua salah satunya, saling tabrak kewenangan, akibatnya pejabat negara yang berwenang baku harap dan baku nonton terkait suatu konflik sosial.
Tahun 2007 silam, sewaktu konflik berlangsung selama 6 bulan lebih di TKP yang sama sekarang, masa kepemimpinan SBY waktu itu, perang suku di Kwamki ini dihabisi (diredakan) dengan cara mobilisasi tank tempur dan aparat gabungan kepung titik konflik. Sejak itu konflik seperti ini tak pernah ada sampai akhirnya muncul lagi. Cuman, kemarahan aparat waktu itu ketika mobil freeport ditembak OTK. Imbas konflik sosial berdampak pada gangguan perusahaan asing, ini yang buat pemerintah gerah.
Kasus di Timika, bagaimana seluruh perangkat negara, dari pusat hingga daerah, sampai pada hut integrasi Papua kali ini pun, tak ada peran sama sekali pada konflik ini. Padahal, ratusan ribu aparat negara justru diterjunkan amankan aset vital negara, diluar dari aset vital sedang terjadi gejolak sosial. Trus untuk apa UU dan Inpres dikeluarkan kalau saja trada giginya? Indonesia (pemerintah) nyantanya kalah disini. (Arki B.)
Korban masih terus berjatuhan, fasilitas umum seperti gereja, sudah ada 11 rumah ibadat tutup disini. Sementara, pemerintah pusat sibuk membangun opini tentang kepres penanganan konflik, yang membebankan kepada pemda setempat untuk mengatasinya.
Bahwa Undang-undang RI N0. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik sosial dilapisi dengan Inpres N0. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.
139897103011561237871398971053454101445
UU Penanganan Konflik, disini. Inpres Penanganan Gangguan Konflik, disini.
Negara Hukum Kesatuan, pemerintah pusat punya andil kuat mengatasi apa saja, termasuk gangguan keamanan. Pada jalur otsus pun, pemerintahan daerah tak urus urusan hankam/fiskal/moneter, urusan luar negeri dan perhubungan.
Sementara SBY kasi instruksi agar kepala daerah bersama kementerian terkait membentuk tim terpadu atasi konflik. Kepala daerah otsus bingung, kami diamanatkan tidak urus hankam dalam otsus, tetapi inpres suruh kami urus hankam.
Sekertaris menkopolhukam pada suatu pertemuan sosialisasi penanganan konflik wilayah timur Indonesia di Jayapura, menanggapi konflik di Timika, dia mengatakan, pemda setempat harus berperan aktif atasi konflik sesuai Inpres 2013.
Kekalahan NKRI di Papua salah satunya, saling tabrak kewenangan, akibatnya pejabat negara yang berwenang baku harap dan baku nonton terkait suatu konflik sosial.
Tahun 2007 silam, sewaktu konflik berlangsung selama 6 bulan lebih di TKP yang sama sekarang, masa kepemimpinan SBY waktu itu, perang suku di Kwamki ini dihabisi (diredakan) dengan cara mobilisasi tank tempur dan aparat gabungan kepung titik konflik. Sejak itu konflik seperti ini tak pernah ada sampai akhirnya muncul lagi. Cuman, kemarahan aparat waktu itu ketika mobil freeport ditembak OTK. Imbas konflik sosial berdampak pada gangguan perusahaan asing, ini yang buat pemerintah gerah.
Kasus di Timika, bagaimana seluruh perangkat negara, dari pusat hingga daerah, sampai pada hut integrasi Papua kali ini pun, tak ada peran sama sekali pada konflik ini. Padahal, ratusan ribu aparat negara justru diterjunkan amankan aset vital negara, diluar dari aset vital sedang terjadi gejolak sosial. Trus untuk apa UU dan Inpres dikeluarkan kalau saja trada giginya? Indonesia (pemerintah) nyantanya kalah disini. (Arki B.)
Sumber: Kompasiana/Arki