Suasana Seminar oleh AMPTPI di Gereja Baptis Ramogo Pos 7 Sentani (Jubi/Mecky) |
Sentani,
26/5 (Jubi) – Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sama sekali tidak membawa perubahan bagi orang Papua.
Karena itu Orang Papua harus bersatu untuk membangun daerahnya sendiri
bila tidak ingin menjadi penonton. Salah satunya, orang Papua secara
kelompok mengumpulkan data sebagai bentuk evaluasi kerja pimpinan
Pernyataan
di atas merupakan penggalan paragraf kesimpulan dari seminar yang
diselenggarakan oleh Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua
Se-Indonesia (AMPTPI) DPC Kabupaten Jayapura yang bertajuk ‘‘Apa Yang
Dilakukan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono Selama Dua Periode (10
tahun) Bagi Rakyat Bangsa Papua “ di Gereja Baptis Ramogo Pos 7,
Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu, 24/5 kemarin.
Indikator
pertama mengenai kegagalan lebih banyak dipaparkan oleh Markus Haluk
dengan penemuan 12 bentuk kekerasan; penyiksaan berat, penangkapan
sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan terhadap
perempuan, pembakaran dan penghancuran harta milik warga, pengekangan
demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan aksi, penahanan warga
sipil Papua dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota Parlemen,
Kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman jurnalis
internasional, media nasional, dan lokal serta ancaman terhadap pembela
HAM.
Dari
bentuk kekerasan di atas, jumlah terbanyak terjadi pada penangkapan
sewenang-wenang sebanyak 560 korban orang Papua dan lima korban warga
Negara asing (WNA) yang pelakunya TNI sebanyak 2 kali dan Polisi
sebanyak 20 kali. Sedangkan untuk korban terendah ada pada bentuk
kekerasan pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis dan ancaman terhadap
pembela HAM sebanyak delapan korban dengan pelakunya Polisi dan orang
tidak dikenal (OTK).
“Pemerintahan
ini gagal membangun orang Papua dan sekarang orang Papua mesti sadar
siapa teman dan lawan. Jangan lawan jadikan teman lalu kerja sama, pasti
ujungnya kita akan sakit hati”, ungkapnya.
Pemateri
lain, Theo kossay, Dosen STFT Fajar Timur dan Atropolog Muda Papua,
lebih menekankan pada dampak pemekaran kabupaten /Kota dan Provinsi.
Dalam
materi yang berjudul “Maraknya Pemekaran Kabupaten Dan Provinsi
Mengancam Kepunahan Manusia Dan Kebudayaan Asli Papua” dijelaskan bahwa
dalam pemerintahan SBY telah tumbuh subur Daerah Otonom Baru (DOB)
berjumlah 84 baik yang sudah ada maupun yang sedang diupayakan oleh
masing-masing tim sukses.
Dampak
lain adalah munculnya TUM (Transmigrasi, Urbanisasi dan Migrasi) yang
mana mendatangkan orang luar Papua ke Papua untuk mengisi daerah-daerah
pemekaran baru itu. Kedua hal ini berdampak buruk pada hilangnya manusia
dan identitas kepapuaan di tanah Papua.
Bruder
Eddy OFM dalam tulisan yang berjudul “Suasana Yang Dialami Orang Asli
Papua Terkait Perlindungan Atas Hak Dasar Selama Sepuluh Tahun
Kepemimpinan SBY [2004-2014]” mengulas seputar Ekonomi, Sosial, Budaya,
Politik, dan Pertahanan Keamanan sesuai kronologinya.
Dari
tulisan yang berjumlah 26 halaman itu dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang Negara terhadap rakyat bangsa Papua belum berubah dari 1960an
dan saat ini, karena stigma, terror, pembunuhan, penangkapan,
pemerkosaan masih ada di sekitar kehidupan rakyat Papua.
Kasus-kasus
seperti diatas dikemukakan juga oleh Fien Yarangga dalam ulasannya
dengan spesifik pada gender dalam tulisan berjudul “Penegakan Gender dan
Perlindungan dan Penghargaan Atas Hak-Hak Perempuan Papua pada Masa
Pemerintahan SBY”.
Menurutnya
tidak ada perubahan yang signifikan karena mama-mama papua masih
berjualan di tanah milik orang, masih ada stigma bahwa mama Papua
merupakan keturunan pejuang Papua merdeka.
Bapak
Pendeta Sofyan Yoman dalam kesempatan ini lebih menekankan agar
mahasiswa Papua lebih kritis lagi dalam menulis, mengambil dan mengolah
data,”Saya tidak bicara masalah karena para pemateri terdahulu sudah
sampaikan yang intinya, kami (Papua:red) tidak akan pernah ada kebebasan
bila dijajah terus. Kami sudah terhimpit di atas tanah kita sendiri
oleh kepentingan investor maupun kepentingan orang mencari makan. Maka,
kita harus sadar akan situasi ini dan mulai mengatur langkah bersama
kita. Hal terpenting adalah kita bersatu dan mencari data untuk
mengatakan kepada dunia kalau selama dengan pemerintah Indonesia kami
tidak mengalami perubahan” ditutupnya seraya disambut aplaus yang meriah
oleh puluhan peserta yang hadir.
Kelima
pemateri diatas sepakat bahwa sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono tidak memberikan kontribusi yang signifikan walaupun ada
Otonomi Khusus (Otsus), Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua
Barat (UP4B), pelipatgandaan Daerah Pemekaran Baru (DOB).
Hal ini mengindikasikan bahwa siapapun Presidennya tidak mampu merubah Papua selama tidak merubah pola pendekatan.
Lain
dari biasanya, dalam seminar kali ini, pemateri lebih menyarankan
kepada pemuda dan masyarakat Papua agar mendokumentasikan semua
peristiwa sekitar untuk mendukung kerja-kerja kemanusiaan. (Jubi/Mecky)
sumber : www.tabloidjubi.com