Felix Minggus Degei (Dok. Pribadi) |
(Sebuah Catatan Penting untuk Pemahaman Bersama.Terlebih Khusus bagi Semua Stakeholder yang Berperan Penting dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Tanah Papua)
Oleh. Felix Minggus Degei*
Tulisan pemahaman tentang pendekatan ini dirasa sangat penting karena sampai saat ini, pendidikan di Papua dan secara umum di Indonesia
masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber
utama pengetahuan(teacher centered).Sehingga realitas yang selama ini
terjadi adalah seorang guru cenderung berceramah dan siswa hanya sebagai
pendengar setia.Selain itu, pemberian contoh dan pembahasan materipun
selalu berangkat dari yang tersurat dalam buku-buku cetak ataupun
paket. Padahal idealnya adalah pembelajaran harus dimulai dari apa yang
dilihat dan dirasakan oleh siswa itu sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa keluhan yang perna diutarakan oleh
beberapa siswa saat sharing pengalaman dengan penulis pada kesempatan
yang berbeda. Keluhan itupun datang dari siswa yang berasal dari
tingkatan sekolah yang berbeda. Aneh tetapi nyatanya adalah bahwa bunyi
keluhan-keluhan tersebut dengan maksud yang sama. Berikut ini adalah dua
contoh kutipan yang perna diutarakan oleh siswa sebagai korban dari
metode yang hanya berpusat pada guru tersebut.
“Setiap kali guru mengajar di kelas itu saya bingun sekali karena mereka selalu memberikan contoh-contoh dalam pelajaran itu tentang Jakarta dan gaya hidup dari orang-orang di sana saja.Hal yang menjadi pertanyaan saya selama ini adalah guru-guru ini mengajar kami untuk belajar gila atau tidak.Karena yang kami belajar adalah hal yang sama sekali tidak terbayang di pikiran kami.” Ujar Moses Degei, Siswa Kelas XI IPS 1 SMA Gabungan Jayapura Papua, belum lama ini.
Selain itu, tepatnya pada tahun 2010 silam, penulis bertemu dengan salah seorang Siswa Kelas 2SD YPPK Don Bosco Modio Kabupaten Dogiyai Papua.Ia mengeluh tentang soal ulangan harian yang diberikan oleh gurunya yakni “Sebutkan masing-masing tiga contoh kendaraan roda dua dan empat!”ia pun hanya bisa menggarut kepala karena tidak bisa menjawabnya. Alasannya tentu karena disana jalan raya saja tidak ada, apalagi kendaraan dengan berbagai merk.
Apakah aksi dari siswa tersebut di atas ini salah?. Ataukah, metode
atau pendekatan belajarnya yang salah?.Hal ini agak aneh, akan tetapi
itulah yang sudah dan sedang terjadi dalam pembelajaran saat ini.Padahal
idealnya, mereka diberikan materi dengan contoh-contoh yang ada di
sekitar siswa itu tinggal dan hidup.
Keluhan dari kedua siswa di atas adalah salah satu potret terkecil
dari sekian banyak masalah yang dialami oleh para peserta didik saat
ini,terlebih khusus di Tanah Papua.Sehingga, dipahami bahwa dengan model
pendidikan seperti ini membuat siswa pasif dan tinggal menerima input
dari guru saja. Padahal, pada hakekatnya pendidikan yang harus
diharapkan sesuai kurikulum saat ini yakni Pembelajaran yang Aktif
Inovatif Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM). Sehingga dalam pembelajaran
tersebut siswa sendirilah yang menganalisis serta menghubungkan antara
teori yang diterimanya dengan dengan kondisi realitas di sekitar siswa
itu berada.
Hal ini dirasa penting karena berhasil atau tidaknya proses Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) dalam suatu kelas sangatlah ditentukan oleh
metode atau pendekatan belajar yang diterapkan oleh seorang pendidik.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin membahas tentang salah
satu metode yang dirasa sangat efektif dalam pembelajaran saat ini untuk
diterapkan di setiap sekolah.Hal ini kadang dilalaikan oleh seorang
guru dalam mendidik.Padahal metode ini adalah tentang bagaimana siswa
sendiri aktif dan kreatif dalam belajar berdasarkan pengalaman mereka
sehari-hari.
Oleh karena itu, selanjutnya Pendekatan Kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL)adalah merupakan jawaban yang sangat
signifikan atas situasi seperti ini dalam dunia pendidikan.Karena
Pengertian secara harafiahnya pendekatan belajar ini merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.(US Departement of
Education, 2001).
Dasar filosofi dalam Penerapan Pendekatan Kontekstual atau Contextual
Teaching Learning (CTL)adalah pembelajaran berdasarkan apa saja yang
ada disekitar para siswa berada. Sehingga fokus utama dalam metode
belajar ini adalah para siswa(student centered),
bukan berfokus pada seorang guru (teacher centered).Seorang guru hanya
berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajarannya.
Sehingga dipahami bahwa dalam penerapan Pendekatan ini sangat
dimungkinkan untuk terjadinya beberapa bentuk belajar yang secara tidak
langsung dialami oleh siswa. Minimal secara ideal ada lima bentuk
belajar yang terjadi dalam Kegiatan Belajar Mengajarnya (KBM) antara
lain a). Mengaitkan (relating);b).Mengalami (experiencing);c).Menerapkan
(applying);d).Bekerjasama (cooperating); dan e).Mentransfer
(transferring).
a) Mengaitkan (Relating)
Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Seorang guru menggunakan strategi ini ketikaia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.Dalam konteks di Papua, setiap guru yang mendidik ia harus mampu dan mau mengaitkan konsep baru yang ada dalam teori dengan hal-hal apa saja yang ada di dalam Alam Papua. Harapannya supaya para siswa bisa aktif dan kreatif dalam memahaminya tanpa harus menghayal sesuatu yang sesungguhnya tidak ada di pikiran mereka.
Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Seorang guru menggunakan strategi ini ketikaia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.Dalam konteks di Papua, setiap guru yang mendidik ia harus mampu dan mau mengaitkan konsep baru yang ada dalam teori dengan hal-hal apa saja yang ada di dalam Alam Papua. Harapannya supaya para siswa bisa aktif dan kreatif dalam memahaminya tanpa harus menghayal sesuatu yang sesungguhnya tidak ada di pikiran mereka.
b) Mengalami (Experiencing)
Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahuan sebelumnya.Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.Dipahami bahwa setelah siswa mengaitkan dengan apa saja yang ada di sekitar mereka, sehingga sangat pasti mereka juga yang akan mengalaminya dalam memahami penerapan dari suatu teori tertentu. Dalam konteks di Papua juga demikian, bahwa contoh-contoh yang diberikan dalam materi harus mengenai hal-hal yang paling tidak bisa dialami oleh siswa karena ada di sekitar mereka.Dengan siswa mengalami sesuatu tentunya akan lebih susah untuk dilupakan, dari pada hanya menelaah teorinya saja.
c) Menerapkan (Applying)
Dalam bentuk belajar ini siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan suatu masalah. Seorang guru tugasnya hanya memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.Dalam konteks di Papua dipahami bahwa guru yang mengajar hanya bertugas dalam memberikan dorongan dengan praktik-praktik yang rill dan bersangkutan dengan apasaja yang ada juga di Papua. Hal ini dirasa sangat penting karena berhubungan dengan relevansi terhadap kemungkinan lapangan kerja bagi putra/I Asli Papua setelah selesai studi.
d) Bekerjasama (Cooperating)
Dalam bentuk belajar ini tentu siswa sendiri yang secara kelompok akan memecahkan suatu masalah berkat kerja sama dari kelompok kalangan siswa sendiri. Karena dalam hal ini seorang guru hanya sebagai motivator dan fasilitator dalam berlansungnya proses belajar dari siswa. Dalam konteks di Papua, pengalaman kerjasama ini tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan ajar.Akan tetapiharapannya supaya para siswa juga bisa konsisten dengan dunia nyata yakni alam sekitar siswa (Alam Papua).
e) Mentransfer (Transferring)
Dalam Pendekatan kontekstual salah satu hal yang secara otomatis akan terjadi pada siswa adalah mereka secara langsung memahami karena obyek yang dibicarakan ada di sekitar mereka.Bedanya dengan pendekatan lain adalah siswa mereka hanya dituntut untuk bagaimana bisa memahaminya dengan cara menghafal. Sehingga dalam konteks Papua dipahami bahwa ketika seorang guru memberikan contoh harus sesuai dengan apa saja yang ada di Papua, maka tentu hal yang akan terjadi dalam diri siswa adalah memahami bukan hanya menghafal.
Selain itu, menurut Depdiknas untuk penerapannya, Pendekatan Kontektual (CTL) memiliki tujuh komponen utama, yaitu
a).Konstruktivisme (constructivism); b).Menemukan (Inquiry); c). Bertanya (Questioning); d).Masyarakat-belajar (Learning Community); e). Memodelan (Modeling); f).Refleksi (Reflection), dan g). Penilaian yang sebenarnya (Authentic).Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing komponen.
a) Konstruktivisme (Constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
b) Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual karenapengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri.Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hyphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
c) Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, 8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu.Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
e) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model.Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
f) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi
gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran
berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru
agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar.
Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan
kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Selanjutnya, setelah melihat, membaca, menelaah dan memahami sedikit
teori dari Pendeketan Belajar CTL, sangatlah jelas bahwa idealnya yang
perlu diberdayakan dalam KBM adalah siswa itu sendiri.Dan, memang hal
inilah yang sangat diharapkan dalam proses belajar. Sehinggakemerdekaan
bagi peserta didik dalam belajar itupun akan sangat nampak.
Sebenarnya, kurikulum belajar saat ini sangat menunjang untuk
penerapan pendekatan belajar ini.Karena dalam implementasi pendidikannya
diberikan kewenangan sepenuhnya pada satuan pendidikannya
masing-masing.Sehingga, setiap tingkatan pendidikan tersebut punya hak
dan wewenang untuk merancang kurikulum belajar yang sesuai dengan daerah
dimana sistem pendidikan itu dijalankan.
Kurikulum belajar tersebut adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).Dalam penyelenggaraannya, disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini, secara
yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP
oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar
Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar
dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun
2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) seperti yang dilansir
padahttp://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
standar isi, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai
dengan kebutuhan sekolah itu sendiri.KTSP terdiri dari tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.Pelaksanaan
KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Selanjutnya, untuk mengakhiri tulisan ini penulis hanya mau
memberikan dua buah tawaran solusi yang dialamatkan kepada kedua pihak
dan instansi terkait, pertama Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi
masing-masing kota terlebih khusus di Papua; dan keduapara tenaga
pendidik (guru) yang sedang bertugas dan kerja di setiap tingkatan
pendidikan.
Pertama,Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
tentunya telah diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap satuan
pendidikan untuk membuat kurikulum dalam belajar sesuai dengan kebutuhan
dan keberadaan dari sekolah tersebut (kontekstual).Oleh karena itu,
penulis merasa Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten Kota dan Para pakar
dalam manajemen pendidikan dan kurikulum harus melaksanakan lokakarya
besar-besaran untuk merancang pendidikan yang layak dan pantas
dilaksanakan di daerah tersebut, terlebih khusus di Tanah Papua.
Harapannya, supaya penyelenggaraan pendidikannya sesuai dengan kebutuhan
dari Sumber Daya Manusia (SDM) dari daerah tersebut.
Kedua, Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),tentu
diberikan ruang untuk para pendidik dalam merancang dan
menyelenggarakan pendidikan di setiap sekolah.Terlebih khusus adalah
dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan
hidup mereka.Hal tersebut dirasa sangat penting karena itulah amanat
dari pendekatan CTL itu sendiri.
Semoga, tulisan ini menjadi bahan inspirasi yang baik bagi semua
pihak yang berkecimpung dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
dan secara khusus di Papua.Salam perubahan!.
“Sesungguhnya, dunia memerlukan generasi yang cerdas.Dan, para guru sedang mengusahakan hal tersebut.”
Felix Minggus Degei adalah Asisten Dosen pada Program Studi
Bimbingan dan Konseling (Psikologi) FKIP Universitas Cenderawasih
Jayapura-Papua.
Sumber : http://tabloidjubi.com