Naftali Edoway |
Oleh : Naftali Edoway#
Akselerasi peran TNI di ranah sipil tak pernah sepi di Papua. Seruan ABRI must back to barack yang berembus sejak reformasi rupanya tak terjadi di Papua. Mereka bukannya kembali ke barack, tapi justru lebih menancapkan cakarnya dalam dunia orang sipil. Maka reformasi hanya sebuah slogan kosong di tanah Papua.
Jika kita menyimak sejarah perjalanan bangsa Indonesia, TNI/Militer selalu dikerahkan ketika negara menilai sebuah gerakan mengancam kedaulatan negara atau ketika keadaan dianggap darurat. Misalnya, penumpasan PKI, DI/TII, Permesta, GAM, dll. Aturan keadaan darurat di Indonesia sebenarnya telah dicabut secara resmi sejak tanggal 1 Mei 1963, namun demikian tindakan pemerintah dan militer dengan alasan keamanan dan ketertiban terus saja bergulir.
Di jaman rezim Soeharto, ABRI menggunakan istilah dwi fungsi ABRI sebagai jalan masuk untuk menguasai wilayah sipil. Selain keterlibatan mereka di dalam dunia politik, salah satu program mereka yang paling terkenal yaitu ABRI Masuk Desa (AMD). Menurut Mochtar Pabottingi dari LIPI saat itu, program ini dibuat dengan alasan Darurat. Artinya, kata darurat digunakan oleh pihak ABRI untuk menguasai wilayah sipil. Dominasi militer seperti itu telah benar-benar melumpuhkan kelompok sipil.
Sebenarnya operasi militer sedang dilakukan TNI di Papua. Hal ini terungkap lewat pengakuan Panglima TNI, Laksamana Agus Suharono usai melepas 1.034 personel TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Kontingen Garuda United Nation Interim Force in Lebanon (UNFIL) di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Saat itu panglima mengatakan, "Memang benar bahwa kami saat ini sedang melakukan operasi militer di Papua. Tapi operasi militer yang kami lakukan hanya di perbatasan di provinsi tersebut." (okezone, Kamis 11/11/2010).
TNI pun masih saja melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Kekerasan yang dilakukan oleh TNI itu salah satunya terlihat melalui video kekerasa terhadap Kiwo tahun 2010 oleh Letnan Dua Infantri Kosmos, Praka Syahmin Lubis, Prada Joko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto, Anggota TNI dari Kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire Kodam XVII Cendrawasih. Keempat tentara itu dibawa ke Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih. Namun, Pengadilan Militer hanya menghukum tujuh bulan penjara untuk Kosmos, sang komandan, sedangkan tiga anak buahnya masing-masing lima bulan penjara dengan dalil tidak berbuat baik dengan masyarakat. (tabloidjubi.com, 24 November 2010). Namun demikian, TNI dipercaya oleh Presiden SBY untuk melaksanakan proyek jalan trans dalam situasi rakyat yang masih trauma.
Setelah orang asli Papua menyatakan Otsus gagal melalui Mubes MRP bersama rakyat dalam bulan Juni 2010, pemerintah melahirkan UP4B yang dipimpin oleh seorang petinggi TNI, Bambang Darmono. Sejak awal rakyat Papua mempertanyakan Bambang Darmono dan program ini. Rakyat curiga dan menolak unit ini, karena menurut mereka, itu bukan jawab yang tepat dari pengembalian Otsus yang mereka nilai gagal itu. Yang rakyat tuntut dari 11 rekomendasi itu diantaranya, dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral, referendum atau pengakuan kedaulatan.
Penunjukkan Bambang Darmono yang berlatar militer untuk mengepalai UP4B menunjukkan jelas bahwa di Papua militer masih mengintervensi urusan-urusan sipil. Bukan hanya itu, belakangan yang lagi santer adalah proyek pembangunan jalan yang dipercayakan langsung oleh Presiden kepada TNI Kodam XVIII Cenderawasih melalui Perpres No. 40/2013.
Anehnya, dari daftar 26 titik proyek yang dijalankan TNI di Propinsi Papua itu diutamakan di daerah-daerah yang selama ini dianggap sebagai kantong OPM (Organisasi Papua Merdeka). Barangkali ini yang disebut dengan "jalan tertentu" dalam pasal 3 ayat 1-3 Perpres itu (suarapapua.com/2013/08/ini-daftar-proyek-ruas-jalan-trans-papua-dan-papua-barat-yang-dikerjakan-tni). Dengan melihat keanehan ini, Dorus Wakum (Kordinator Kampak Papua) dan Elias Petege (aktivis HAM) melayangkan protes.
"Jangan pakai alasan keamanan atau alasan wilayah yang terisolasi sehingga TNI dan Polri yang dapat jatah pengerjaan proyek tersebut. Kita juga tidak heran, karena kepala UP4B mantan Jenderal Bintang Tiga dari TNI," tegas Dorus. Sementara itu, Petege berkata, "Kita harus lihat persoalan ini secara menyeluruh, tidak hanya sebatas pembangunan jalan, yakni tujuan utama aparat TNI dan Polri adalah memantau seluruh pergerakan dan aktivitas warga sipil di kampung-kampung yang telah mereka curigai sebagai gerakan pemberontak." (suarapapua.com/2013/08/ironis-26-proyek-ruas-jalan-di-papua-dikerjakan-tni)
Protes yang lain datang dari pengusaha asli Papua, Johny Haluk. Ia mengatakan, "UP4B telah melakukan penipuan. Awalnya mereka mengeluarkan Perpres No. 84/2012, dimana pengusaha Asli Papua dilibatkan dalam menangani proyek bernilai Rp. 500-1 Milyar, namun belakangan mengeluarkan Perpres yang lain dengan dana mencapai triliunan rupiah kepada TNI."
Dengan melihat ketidakadilan ini, KAPP meminta supaya Presiden menarik kembali proyek dan dana yang dikerjakan UP4B kepada Gubernur Papua dan Papua Barat agar nantinya mereka sebagai pemilik hak ulayat dapat terlibat di dalamnya. Mereka juga menuding TNI dikerahkan untuk main proyek pembangunan jalan. Yan Mandenas, Ketua Komisi Infrastruktur pun ikut memprotes karena ia menilai bahwa proyek yang dijalankan UP4B itu tumpang tindih dengan apa yang sudah dijalankan pemerintah daerah, (portalkbr.com/nusantara/papua/3031877_4263.html).
Walaupun ada penolakan seperti itu, proyek tetap dijalankan karena misi negara tidak boleh gagal. Misi apa? 1) Misi menjaga keutuhan NKRI, sebab tidak mungkin TNI melakukan perang terbuka melawan OPM yang dianggap separatis; 2) upaya menghapus citra buruk Negara di mata dunia seiring seruan rakyat Papua bahwa pemerintah gagal bangun Papua; 3) secara khusus UP4B berupaya meloloskan diri dari cap gagal mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat karena masa bakti akan segera berakhir, dan 4) Upaya negara mengalihkan isu dialog ataupun barangkali adalah jawaban atas usulan dialog Jakarta-Papua yang diajukan rakyat Papua.
Di Papua, OPM dan ideologi yang diembannya dianggap berbahaya, sehingga harus ditumpas. Caranya, dengan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Sebab hanya dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri dari jerat pelanggaran HAM. Padahal kalau dirunut ke belakang OPM dan ideologinya ini sebenarnya disuburkan oleh TNI/Polri/Militer sendiri.
Keterlibatan TNI dalam dunia sipil dapat juga dinilai sebagai bentuk lain dari upaya TNI mengambil alih kekuasaan di Papua, sebab pengusaha dan Pemerintah Daerah dianggap tak mampu meredam separatisme di Papua. Itu artinya, sebaik apa pun program yang dirumuskan Pemda (termasuk Otsus Plus) untuk membangun Papua tak akan berjalan baik, sebab akan disabotase oleh TNI/Militer dengan kepentingannya dengan alasan program separatisme gaya baru. Bagaimana mungkin Otsus Plus berjalan sementara Otsus saja dinyatakan gagal lantaran terlalu banyak campur tangan Jakarta.
Selain itu, masuknya TNI/Militer dalam dunia sipil merupakan bentuk sekuritisasi tanah Papua dan orang Papua dari isu Papua yang sudah terinternasionalisasi. Orang Asli Papua hendak dikurung dalam dunia yang didominasi TNI/Militer dan Polri agar tidak ada lagi suara-suara protes. Agar demokrasi ala TNI/Polri yang berjalan, bukan berdasarkan nurani rakyat. Jika sudah demikian tak ada demokrasi di tanah Papua.
Lainnya adalah bentuk pengingkaran terhadap slogan "kasih dan damai itu indah" yang dipajang di kantor-kantor mereka. Kehadiran TNI di kampung-kampung akan membangkitkan kembali luka lama/trauma, sehingga damai itu tidak tercipta dalam batin dan situasi nyata di kampung-kampung. Untuk kepentingan sekuriti itu isu pembangunan jalan menjadi pintu masuk.
Pendekatan pembangunan ala Jakarta akan terus dilakukan dengan berbagai model. Jika sudah demikian, tawaran apapun dari orang Papua rasanya akan sulit untuk diterima atau bahkan diulur-ulur. Buktinya, dialog yang diusulkan orang Papua saja hingga kini belum mendapat respon yang jelas. Akankah situasi ini terus begini? Entahlah! Tapi ketika TNI mulai terlibat tangani proyek jalan yang seharusnya dikerjakan sipil, adanya Operasi Militer, kekerasan terhadap rakyat sipil dan pembentukan Tim Anti Teror dalam kubu TNI (Cepos dan Binpa 06 Oktober 2012) ini menunjukkan bahwa Papua dalam keadaan darurat.
Naftali Edoway adalah Pemerhati masalah sospol di tanah Papua Barat.
Jika kita menyimak sejarah perjalanan bangsa Indonesia, TNI/Militer selalu dikerahkan ketika negara menilai sebuah gerakan mengancam kedaulatan negara atau ketika keadaan dianggap darurat. Misalnya, penumpasan PKI, DI/TII, Permesta, GAM, dll. Aturan keadaan darurat di Indonesia sebenarnya telah dicabut secara resmi sejak tanggal 1 Mei 1963, namun demikian tindakan pemerintah dan militer dengan alasan keamanan dan ketertiban terus saja bergulir.
Di jaman rezim Soeharto, ABRI menggunakan istilah dwi fungsi ABRI sebagai jalan masuk untuk menguasai wilayah sipil. Selain keterlibatan mereka di dalam dunia politik, salah satu program mereka yang paling terkenal yaitu ABRI Masuk Desa (AMD). Menurut Mochtar Pabottingi dari LIPI saat itu, program ini dibuat dengan alasan Darurat. Artinya, kata darurat digunakan oleh pihak ABRI untuk menguasai wilayah sipil. Dominasi militer seperti itu telah benar-benar melumpuhkan kelompok sipil.
Sebenarnya operasi militer sedang dilakukan TNI di Papua. Hal ini terungkap lewat pengakuan Panglima TNI, Laksamana Agus Suharono usai melepas 1.034 personel TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Kontingen Garuda United Nation Interim Force in Lebanon (UNFIL) di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Saat itu panglima mengatakan, "Memang benar bahwa kami saat ini sedang melakukan operasi militer di Papua. Tapi operasi militer yang kami lakukan hanya di perbatasan di provinsi tersebut." (okezone, Kamis 11/11/2010).
TNI pun masih saja melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Kekerasan yang dilakukan oleh TNI itu salah satunya terlihat melalui video kekerasa terhadap Kiwo tahun 2010 oleh Letnan Dua Infantri Kosmos, Praka Syahmin Lubis, Prada Joko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto, Anggota TNI dari Kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire Kodam XVII Cendrawasih. Keempat tentara itu dibawa ke Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih. Namun, Pengadilan Militer hanya menghukum tujuh bulan penjara untuk Kosmos, sang komandan, sedangkan tiga anak buahnya masing-masing lima bulan penjara dengan dalil tidak berbuat baik dengan masyarakat. (tabloidjubi.com, 24 November 2010). Namun demikian, TNI dipercaya oleh Presiden SBY untuk melaksanakan proyek jalan trans dalam situasi rakyat yang masih trauma.
Setelah orang asli Papua menyatakan Otsus gagal melalui Mubes MRP bersama rakyat dalam bulan Juni 2010, pemerintah melahirkan UP4B yang dipimpin oleh seorang petinggi TNI, Bambang Darmono. Sejak awal rakyat Papua mempertanyakan Bambang Darmono dan program ini. Rakyat curiga dan menolak unit ini, karena menurut mereka, itu bukan jawab yang tepat dari pengembalian Otsus yang mereka nilai gagal itu. Yang rakyat tuntut dari 11 rekomendasi itu diantaranya, dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral, referendum atau pengakuan kedaulatan.
Penunjukkan Bambang Darmono yang berlatar militer untuk mengepalai UP4B menunjukkan jelas bahwa di Papua militer masih mengintervensi urusan-urusan sipil. Bukan hanya itu, belakangan yang lagi santer adalah proyek pembangunan jalan yang dipercayakan langsung oleh Presiden kepada TNI Kodam XVIII Cenderawasih melalui Perpres No. 40/2013.
Anehnya, dari daftar 26 titik proyek yang dijalankan TNI di Propinsi Papua itu diutamakan di daerah-daerah yang selama ini dianggap sebagai kantong OPM (Organisasi Papua Merdeka). Barangkali ini yang disebut dengan "jalan tertentu" dalam pasal 3 ayat 1-3 Perpres itu (suarapapua.com/2013/08/ini-daftar-proyek-ruas-jalan-trans-papua-dan-papua-barat-yang-dikerjakan-tni). Dengan melihat keanehan ini, Dorus Wakum (Kordinator Kampak Papua) dan Elias Petege (aktivis HAM) melayangkan protes.
"Jangan pakai alasan keamanan atau alasan wilayah yang terisolasi sehingga TNI dan Polri yang dapat jatah pengerjaan proyek tersebut. Kita juga tidak heran, karena kepala UP4B mantan Jenderal Bintang Tiga dari TNI," tegas Dorus. Sementara itu, Petege berkata, "Kita harus lihat persoalan ini secara menyeluruh, tidak hanya sebatas pembangunan jalan, yakni tujuan utama aparat TNI dan Polri adalah memantau seluruh pergerakan dan aktivitas warga sipil di kampung-kampung yang telah mereka curigai sebagai gerakan pemberontak." (suarapapua.com/2013/08/ironis-26-proyek-ruas-jalan-di-papua-dikerjakan-tni)
Protes yang lain datang dari pengusaha asli Papua, Johny Haluk. Ia mengatakan, "UP4B telah melakukan penipuan. Awalnya mereka mengeluarkan Perpres No. 84/2012, dimana pengusaha Asli Papua dilibatkan dalam menangani proyek bernilai Rp. 500-1 Milyar, namun belakangan mengeluarkan Perpres yang lain dengan dana mencapai triliunan rupiah kepada TNI."
Dengan melihat ketidakadilan ini, KAPP meminta supaya Presiden menarik kembali proyek dan dana yang dikerjakan UP4B kepada Gubernur Papua dan Papua Barat agar nantinya mereka sebagai pemilik hak ulayat dapat terlibat di dalamnya. Mereka juga menuding TNI dikerahkan untuk main proyek pembangunan jalan. Yan Mandenas, Ketua Komisi Infrastruktur pun ikut memprotes karena ia menilai bahwa proyek yang dijalankan UP4B itu tumpang tindih dengan apa yang sudah dijalankan pemerintah daerah, (portalkbr.com/nusantara/papua/3031877_4263.html).
Walaupun ada penolakan seperti itu, proyek tetap dijalankan karena misi negara tidak boleh gagal. Misi apa? 1) Misi menjaga keutuhan NKRI, sebab tidak mungkin TNI melakukan perang terbuka melawan OPM yang dianggap separatis; 2) upaya menghapus citra buruk Negara di mata dunia seiring seruan rakyat Papua bahwa pemerintah gagal bangun Papua; 3) secara khusus UP4B berupaya meloloskan diri dari cap gagal mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat karena masa bakti akan segera berakhir, dan 4) Upaya negara mengalihkan isu dialog ataupun barangkali adalah jawaban atas usulan dialog Jakarta-Papua yang diajukan rakyat Papua.
Di Papua, OPM dan ideologi yang diembannya dianggap berbahaya, sehingga harus ditumpas. Caranya, dengan pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Sebab hanya dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri dari jerat pelanggaran HAM. Padahal kalau dirunut ke belakang OPM dan ideologinya ini sebenarnya disuburkan oleh TNI/Polri/Militer sendiri.
Keterlibatan TNI dalam dunia sipil dapat juga dinilai sebagai bentuk lain dari upaya TNI mengambil alih kekuasaan di Papua, sebab pengusaha dan Pemerintah Daerah dianggap tak mampu meredam separatisme di Papua. Itu artinya, sebaik apa pun program yang dirumuskan Pemda (termasuk Otsus Plus) untuk membangun Papua tak akan berjalan baik, sebab akan disabotase oleh TNI/Militer dengan kepentingannya dengan alasan program separatisme gaya baru. Bagaimana mungkin Otsus Plus berjalan sementara Otsus saja dinyatakan gagal lantaran terlalu banyak campur tangan Jakarta.
Selain itu, masuknya TNI/Militer dalam dunia sipil merupakan bentuk sekuritisasi tanah Papua dan orang Papua dari isu Papua yang sudah terinternasionalisasi. Orang Asli Papua hendak dikurung dalam dunia yang didominasi TNI/Militer dan Polri agar tidak ada lagi suara-suara protes. Agar demokrasi ala TNI/Polri yang berjalan, bukan berdasarkan nurani rakyat. Jika sudah demikian tak ada demokrasi di tanah Papua.
Lainnya adalah bentuk pengingkaran terhadap slogan "kasih dan damai itu indah" yang dipajang di kantor-kantor mereka. Kehadiran TNI di kampung-kampung akan membangkitkan kembali luka lama/trauma, sehingga damai itu tidak tercipta dalam batin dan situasi nyata di kampung-kampung. Untuk kepentingan sekuriti itu isu pembangunan jalan menjadi pintu masuk.
Pendekatan pembangunan ala Jakarta akan terus dilakukan dengan berbagai model. Jika sudah demikian, tawaran apapun dari orang Papua rasanya akan sulit untuk diterima atau bahkan diulur-ulur. Buktinya, dialog yang diusulkan orang Papua saja hingga kini belum mendapat respon yang jelas. Akankah situasi ini terus begini? Entahlah! Tapi ketika TNI mulai terlibat tangani proyek jalan yang seharusnya dikerjakan sipil, adanya Operasi Militer, kekerasan terhadap rakyat sipil dan pembentukan Tim Anti Teror dalam kubu TNI (Cepos dan Binpa 06 Oktober 2012) ini menunjukkan bahwa Papua dalam keadaan darurat.
Naftali Edoway adalah Pemerhati masalah sospol di tanah Papua Barat.
Sumber : www.majalahselangkah.com