Buku Quo Vadis Papua Karya Fredi Numberi. Foto: Dok MS |
(Catatan Dr. Benny Giay atas Bedah Buku Quo Vadis Papua Karya Fredi Numberi)
Dalam catatan sebelumnya, saya katakan: jawabn terhadap pertanyaan Pak Numberi: "Ke mana Papua atau Quo Vadis Papua" sudah kita tahu tadi malam (27 Februari 2014 lalu).
Jawaban Jakarta terhadap keprihatinan: Ya sudah 'Papua kou mati di situ'. Who cares. Itu jawaban dari Prof. Dr Dewi Fortuna Anwar (dengan cara penyampaian yang amat defensif tadi malam (27 Februari 2014 lalu), dia tidak membuka diri untuk bicara dan berefleksi "50 tahun Papua dalan NKRI".
Saat mendengar pemaparan Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar tadi malam, yang bernada demikian, saya teringat akan penyampaian Presidn SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada tanggal 16 Desember 2011 di depan pimpinan gereja Papua, di mana SBY mengaku ada 'hardliners' dalam tubuh pemerintah 'yang tidak mau dialog, yang tidak mau demokrasi, yang mau terus pertahankan pemerintahan yang sentralistis.
Pernyataan ini yang dikeluarkan SBY saat itu sebagai jawaban terhadap pertanyaan pimpinan gereja Papua, mengapa Presiden SBY tidak bisa implementasikan pidato-pidatonya untuk 'memabangun Papua dengan hati' (yang juga disebutkan tadi malam, 27 Februari 2014 lalu, oleh Pak Numberi).
SBY (saya kira jujur) bahwa dalam mewujudkan janjinya untuk membangun Papua dengan hati, dia berhadapan dengan kelompok garis keras dalam negara ini yang sudah membangun tembok membendung demokrasi.
Saya kira kelompok garis keras yang Presden SBY maksudkan dalam pertemuan itu terdiri dari akademisi, parlemen, pemilik media, wartawan, Megawati Sukarno Putri, kalangan agama dan wartawan, perguruan tinggi, milisi-milisi, dan lain-lain yang "ultra nasionalis" yang membuat SBY tidak bisa wujudkan janji-janjinya.
Karena itu di Papua saat saya didatangi Bapak Pangdam, Kapolda dan Diplomat, saya katakan ada kelompok yang SBY sebut "hardliners". Selama kelompok ini ada dia akan kondisikan supaya Papua tetap konflik sebagai agenda sementara untuk menyuburkan aspirasi Papua merdeka supaya pada gilirannya jerat orang Papua dengan pasal makar yang dijaga oleh kelompok ini.
Sehigga aspirasi Papua merdeka ini tidak hanya dihidupkan lewat kekerasan yang terus menerus dilakukan aparat negara tetapi juga lewat kebijkan-kebijakan yang dibuat secara sepihak oleh Jakarta (seperti UP4B), tetapi juga dengan pembiaran terhadap kondisi orang Papua dalam bidang kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang terus memburuk sambil perbanyak provinsi dan kabupten yang tidak diibutuhkan orang Papua.
Dua catatan sebelum akhiri catatan ini. Pertama, saya kira forum tadi malam (27 Februari 2014 lalu) seharusnya bentuk suatu tim atau rekomendasi untuk bongkar sepak terjang kelompok ultra nasionalis apapun ideologinya: agama atau etnis. Ini yang bermain di belakang layar untuk hancurkan kelompok-kelompok minoritas, yang tidak kehendaki damai, dialog, kemajemukan.
Kedua, memang salah kalau saya juga sebagai Pimpinan Gereja lemparkan semua kesalahan kepada Jakarta atau kelompok garis keras tadi. Saya sebagai pimpinan Gereja juga ambil tanggung jawab untuk sebagian dari kegagalan di Papua; saya meminta maaf bahwa kami sebagai gereja Papua yang terjebak dalam kondisi ini gagal dalam tugas pastoralnya menghasilkan generasi Papua/kader yang bea
Dalam catatan sebelumnya, saya katakan: jawabn terhadap pertanyaan Pak Numberi: "Ke mana Papua atau Quo Vadis Papua" sudah kita tahu tadi malam (27 Februari 2014 lalu).
Jawaban Jakarta terhadap keprihatinan: Ya sudah 'Papua kou mati di situ'. Who cares. Itu jawaban dari Prof. Dr Dewi Fortuna Anwar (dengan cara penyampaian yang amat defensif tadi malam (27 Februari 2014 lalu), dia tidak membuka diri untuk bicara dan berefleksi "50 tahun Papua dalan NKRI".
Saat mendengar pemaparan Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar tadi malam, yang bernada demikian, saya teringat akan penyampaian Presidn SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pada tanggal 16 Desember 2011 di depan pimpinan gereja Papua, di mana SBY mengaku ada 'hardliners' dalam tubuh pemerintah 'yang tidak mau dialog, yang tidak mau demokrasi, yang mau terus pertahankan pemerintahan yang sentralistis.
Pernyataan ini yang dikeluarkan SBY saat itu sebagai jawaban terhadap pertanyaan pimpinan gereja Papua, mengapa Presiden SBY tidak bisa implementasikan pidato-pidatonya untuk 'memabangun Papua dengan hati' (yang juga disebutkan tadi malam, 27 Februari 2014 lalu, oleh Pak Numberi).
SBY (saya kira jujur) bahwa dalam mewujudkan janjinya untuk membangun Papua dengan hati, dia berhadapan dengan kelompok garis keras dalam negara ini yang sudah membangun tembok membendung demokrasi.
Saya kira kelompok garis keras yang Presden SBY maksudkan dalam pertemuan itu terdiri dari akademisi, parlemen, pemilik media, wartawan, Megawati Sukarno Putri, kalangan agama dan wartawan, perguruan tinggi, milisi-milisi, dan lain-lain yang "ultra nasionalis" yang membuat SBY tidak bisa wujudkan janji-janjinya.
Karena itu di Papua saat saya didatangi Bapak Pangdam, Kapolda dan Diplomat, saya katakan ada kelompok yang SBY sebut "hardliners". Selama kelompok ini ada dia akan kondisikan supaya Papua tetap konflik sebagai agenda sementara untuk menyuburkan aspirasi Papua merdeka supaya pada gilirannya jerat orang Papua dengan pasal makar yang dijaga oleh kelompok ini.
Sehigga aspirasi Papua merdeka ini tidak hanya dihidupkan lewat kekerasan yang terus menerus dilakukan aparat negara tetapi juga lewat kebijkan-kebijakan yang dibuat secara sepihak oleh Jakarta (seperti UP4B), tetapi juga dengan pembiaran terhadap kondisi orang Papua dalam bidang kesehatan, pendidikan dan lain-lain yang terus memburuk sambil perbanyak provinsi dan kabupten yang tidak diibutuhkan orang Papua.
Dua catatan sebelum akhiri catatan ini. Pertama, saya kira forum tadi malam (27 Februari 2014 lalu) seharusnya bentuk suatu tim atau rekomendasi untuk bongkar sepak terjang kelompok ultra nasionalis apapun ideologinya: agama atau etnis. Ini yang bermain di belakang layar untuk hancurkan kelompok-kelompok minoritas, yang tidak kehendaki damai, dialog, kemajemukan.
Kedua, memang salah kalau saya juga sebagai Pimpinan Gereja lemparkan semua kesalahan kepada Jakarta atau kelompok garis keras tadi. Saya sebagai pimpinan Gereja juga ambil tanggung jawab untuk sebagian dari kegagalan di Papua; saya meminta maaf bahwa kami sebagai gereja Papua yang terjebak dalam kondisi ini gagal dalam tugas pastoralnya menghasilkan generasi Papua/kader yang bea
Sumber : www.majalahselangkah.com